Keponakan saya wajahnya mirip dengan
bapaknya. Bapaknya itu adalah kakak saya. Konon kabarnya, wajah saya mirip
dengan kakak saya, bapaknya anak ini. Itu artinya wajah keponakan saya itu
mirip saya. Apalagi anak itu perempuan.
Sudah banyak orang yang mengatakan
kalau wajah kami mirip. Kakak ipar saya, ibunya anak cantik ini, juga
mengatakan kalau anaknya mirip saya. Setelah saya lihat-lihat di cermin,
ternyata memang benar, kok. Wajah kami mirip. Paling enggak, orang yang melihat
sudah bisa menebak kalau ada hubungan keluarga di antara kami.
Suatu kali, anak cantik yang berusia
5 tahun ini mengirimkan foto selfie ke saya. Ya, kami memang sering berkirim
pesan dan foto. Saya kaget sekali ketika melihat foto itu. Wajahnya sangat
mirip saya, hanya yang ini versi anak kecilnya. Apalagi saat itu model rambut
kami mirip.
Saya membalas foto itu dengan kesan
saya tentang betapa miripnya kami. Tak disangka, anak ini malah marah besar.
Kemarahannya terlihat dari kata-kata yang dikirimkannya. Sepertinya setelah itu
dia mendapat nasehat khusus dari ibunya karena kata-katanya bisa dianggap
kurang sopan untuk seorang yang lebih tua.
Saya menanggapinya dengan biasa
saja. Apalagi anak ini memang pemarah. Kadang-kadang emosinya tidak terkendali.
Lama-lama saya kepikiran juga, kenapa dia bisa marah, ya? Kan, memang benar
kalau wajah kami mirip.
Saya jadi teringat pada diri saya
sendiri. Saya juga tidak terlalu suka bila dikatakan mirip dengan orang lain,
meskipun orang tersebut adalah orang tua saya sendiri. Saya bahkan pernah
ngambek karena salah seorang mantan pacar saya sering sekali mengulang-ulang
kalau wajah saya mirip Papah. Omongan tentang ini, kalau 1 kali aja, sih,
enggak apa-apa. Kalau berulang kali, bikin sebal. Apalagi kalau itu menjadi
topik obrolan saat ngedate.
Saya juga pernah
sebal karena salah seorang mantan pacar saya pernah punya pacar baru yang kata
orang-orang wajahnya mirip saya. Hiiiyyyy… Kalau yang ini benar-benar enggak
banget, deh. Apalagi sebelum menjadi pacar resmi, perempuan itu statusnya
adalah selingkuhan.
Ada masa-masanya saya meninggalkan
begitu saja saat orang lain berbicara tentang kemiripan saya dengan orang lain.
Ngeloyor pergi aja, gitu. Kalo dipikir-pikir, enggak sopan, sih. Tetapi saat
itu, pergi adalah pilihan terbaik dibandingkan dengan marah-marah enggak jelas.
Mendingan emngerjakan kegiatan lain daripada mendengarkan orang yang
berbuih-buih menjelaskan betapa miripnya saya dengan orang lain.
Saat mengingat-ingat bagaimana saya
dulunya, saya cukup memahami kemarahan keponakan kecil saya. Pasti dia mengira,
dia adalah satu-satunya orang yang berwajah begitu, seperti saya dulu. Mungkin
baru bertahun-tahun kemudian dia akan bisa mengerti kalau orang-orang bisa saja
berwajah mirip karena faktor genetik. Ada juga yang mirip bingit alias kembar
genetik. Walaupun demikian, setiap orang itu unik.
Sampai sekarang, sebenarnya saya
masih kurang suka disamakan dengan orang lain. Namun dengan bertambahnya usia,
saya lebih bisa mengelola reaksi saya. Saya tidak lagi ngembek atau marah. Bisa
dikatakan agak lebih bijaksana sedikitlah. {ST}