Gojek sudah menjadi pemandangan yang
umum di Jakarta. Saya cukup sering berjumpa dengan Gojek di rute-rute yang saya
lalui. Penampakan Gojek makin banyak ketika mendekati daerah Jalan MH Thamrin
yang dipadati oleh perkantoran.
Gojek dan dinamikanya turut menjadi
perhatian saya. Entah itu teknologinya, perkembangannya, atau juga
penampakannya di jalanan. Saya juga sering memperhatikan para penumpang Gojek
yang biasanya berpakaian pekerja kantoran.
Suatu kali, saya melihat Gojek yang
penumpangnya adalah seorang perempuan. Perempuan ini memegang erat abang Gojek
yang duduk di depannya. Memeluk mungkin kata kerja yang lebih tepat untuk
kejadian itu.
“Ihhh, itu kok peluk-peluk abang
Gojek? Ihhh,” kata adik saya yang juga melihat kejadian itu.
“Mungkin aja abangnya malah senang
dipeluk-peluk,” kata saya menanggapi.
Konon kabarnya, kebanyakan laki-laki
asyik-asyik aja kalau ada perempuan yang memeluknya. Beda dengan perempuan,
apalagi yang tubuhnya gelian seperti saya ini, kalau ada yang peluk-peluk,
pasti bakal geli. Kalau yang peluk-peluk
adalah orang yang tidak dikenal, mungkin saya akan menggebuk.
Ada juga perempuan yang memang harus
memeluk orang depannya ketika sedang membonceng kendaraan. Saya mengenal
beberapa orang yang seperti ini. Saya sendiri juga pernah seperti itu waktu
kecil dulu. Memeluk orang yang di depan juga menjadi pesan-pesan dari orang tua
saya ketika saya masih kecil dan mau menumpang sepeda motor. Tangan yang
memeluk fungsinya bisa disamakan dengan sabuk pengaman.
Mungkin, selain si mbak yang memeluk
abang gojek itu, banyak juga mbak-mbak lain yang memeluk abang ojek yang
mengantarnya. Pelukannya tidak menarik perhatian saya karena mungkin saja orang
yang mengemudikan sepeda motor itu adalah orang yang dikenalnya. Penampakannya
makin tersamar karena pakaian sang abang ojek mirip dengan kebanyakan
pengendara motor. Berbeda dengan Gojek, pengemudinya mengenakan pakaian khusus
yang menjadi identitasnya. Dengan sekali lihat, kita sudah tahu ada mbak-mbak
yang memeluk abang ojek. {ST}