Tanggal
30 Juni 2015, hari terakhir bulan Juni itu diwarnai duka. Ada sebuah pesawat
Hercules yang jatuh di dekat Medan. Ratusan orang yang menjadi penumpangnya
meninggal. Tidak ada yang selamat dalam kecelakaan ini.
Saya
tidak terlalu mengikuti perkembangannya. Di hari terakhir bulan Juni itu
pekerjaan sedang banyak-banyaknya. Jadi saya memang sengaja tidak mengalihkan
perhatian ke dunia luar. Apalagi sudah tidak ada harapan lagi untuk menemukan
yang hidup. Kalaupun mengikuti kisahnya, maka yang akan didapatkan adalah kisah
duka. Kisah tentang berpulangnya orang-orang yang dikasihi oleh keluarganya.
Perhatian
saya agak sedikit terarah pada musibah jatuhnya pesawat ini ketika mengetahui
ada 10 orang anggota Paskhas TNI AU yang ikut tewas dalam kecelakaan itu. Saya
ikut berduka dalam arti yang sebenarnya. Saya, tepatnya keluarga kami, memiliki
keterkaitan tersendiri dengan Paskhas. Ingatan saya langsung kembali kepada
kenangan akan keterlibatan Paskhas dan pesawat Herculesnya dalam keluarga kami.
Kakek
saya, adalah bagian dari TNI AU. Dia juga menjadi orang yang cukup berperan
dalam kelahiran Pasukan Khas TNI AU yang
berbaret oranye itu. Kakek saya mendapat pangkat Marsekal Pertama dari TNI AU. Dia
memiliki pakaian khas TNI AU . TNI AU juga berperan dalam pemakamannya yang
dilaksanakan secara militer.
Tidak
hanya dalam pemakaman kakek saya, dalam pemakaman nenek saya pun TNI AU
mengambil peran. Pasukan berbaret oranye itu terlihat dalam kedukaan dan turut
memberikan penghormatan. TNI AU bahkan memberikan izin menggunakan pesawat
Herculesnya untuk mengangkut jenazah nenek saya yang dimakamkan di Yogyakarta.
Saya
juga ikut dalam penerbangan Hercules itu. Itu adalah pengalaman pertama saya
naik pesawat Hercules. Pengalaman itu sangat berkesan, bahkan ketika saya
sedang diliputi duka seperti saat itu. Tempat duduknya ada di sepanjang dinding
pesawat. Tempat duduk itu dibentuk dari jaring-jaring. Sabuk pengamannya juga.
Selama duduk di situ, penumpangnya akan bergoyang-goyang mengikuti goyangan
pesawat.
Saya
masih ingat, saat itu sakit maag saya sedang kumat. Entah karena saya tidak
bisa makan atau karena stress ditinggal Eyang. Sebelumnya, saya sempat
muntah-muntah di rumah. Sepertinya saya juga muntah di dalam pesawat. Ingatan
tentang itu samar-samar.
Biasanya,
saya cukup menikmati yang namanya terbang dengan menggunakan pesawat. Namun
tidak yang kali ini. Hampir sepanjang penerbangan saya memejamkan mata. Kepala
saya pusing sekali. Saya bersandar pada orang sebelah saya supaya lebih enak
tidurnya. Memang tidak banyak yang saya ingat dalam penerbangan itu. Mungkin
karena saya memang tidak berniat mengingat-ingat dan membawa rasa duka itu
terus menerus. Atau mungkin juga karena kondisi saya yang kurang sehat dan
sedang dilanda duka.
Walaupun
tidak banyak yang diingat, saya tidak bisa melupakan peran Paskhas TNI AU dalam
penerbangan itu. Penghormatan mereka sangat terliha pada keluarga kami. Padahal
mereka, yang saat itu menjadi prajurit, mungkin belum pernah sama sekali
bertemu dengan kakek saya. Dapat dilihat dan dirasakan, kalau penghormatan itu
tidak hanya sekedar menjalankan tugas, tetapi juga perhatian yang tulus.
Ketika
mendengar ada beberapa Prajurit Paskhas TNI AU yang tewas, saya merasa turut
kehilangan. Rasa berduka tiba-tiba saja terasa padahal saya tidak mengenal 1
pun dari mereka. Semoga saja keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan dan
penghiburan seperti yang didapatkan oleh keluarga kami. {ST}