Liburan
Lebaran tahun ini saya lewatkan di rumah saja. Adik saya, yang dalam masa
pemulihan kesehatan, menemani saya di rumah. Pada kunjungan terakhirnya ke
dokter, dokter menyarankan beberapa menu makanan yang baik bagi pemulihan
kesehatannya. Salah satu menunya adalah sop ayam yang dimakan selagi panas.
Keluarga
kami yang berasal dari Kalimantan
memiliki menu sop ayam andalan. Namanya luntuh manuk. Terjemahan bebasnya
adalah rebus ayam. Cara memasaknya memang dengan merebus ayam dengan bumbu
bawang putih, sereh dan kunyit. Ayam yang digunakan sebaiknya ayam kampung.
Resep aslinya memang yang digunakan adalah ayam kampung yang menjadi bagian dari
kampung-kampung
di Kalimantan.
O iya, makanan ini dulunya bukanlah
makanan untuk manusia. Makanan ini adalah sesajen untuk leluhur dan para dewa.
Kami juga sering menyebutnya dengan makanan para dewa. Tampilannya berwarna
kuning karena pengaruh kunyit. Warna kuning juga digunakan pada kain-kain yang menjadi bagian
tempat sesaji untuk leluhur.
Kami merencanakan untuk membuat
luntuh manuk sebagai menu makanan kami sehari menjalang lebaran. Pagi itu, saya
memberikan uang belanja kepada pembantu rumah tangga kami dengan mandat khusus
untuk membeli ayam kampung di pasar dekat rumah. Tak lama kemudian, dia kembali
dengan tangan hampa. Katanya di pasar sudah tidak ada pedagang yang menjual
ayam kampung.
Adik saya yang berpengalaman membeli
ayam kampung tidak percaya begitu saja dengan berita itu. Ayam kampung dijual
dalam bentuk ayam hidup. Bila ada yang mau membelinya, barulah ayamnya diambil
dari kandang dan dipotong. Asisten rumah tangga kami segera kembali ke pasar
setelah mendapat mandat baru. Ternyata memang ada yang menjual ayam kampung
hidup. Harganya Rp 110.000 per ekor. Itu pun harus memotongnya sendiri.
Mendengar harga yang melebihi
anggaran yang saya berikan, dia kembali pulang tanpa hasil. Saya dan adik saya
tidak jadi membeli ayam kampung itu karena kami menilai harganya terlalu mahal.
Kami akan membuat luntuh manuk lain kali saja saat harga ayam kampung sudah
kembali normal. {ST}