Beberapa orang kenalan
saya, ada yang pernah konsultasi ke dokter syaraf. Ada yang agak malu-malu
mengatakannya, karena takut dikira gila. Padahal, kan, enggak begitu. Dokter
syaraf bukanlah orang yang mengurusi orang gila. Kata “syaraf” memang sering
dikonotasikan menjadi gila. Lebih tepatnya, sih, sarap. Bukan syaraf. Kata ini menjadi
semacam makian di negeri ini.
Saya pernah menemani ibu
saya ke dokter syaraf. Hasil diagnosanya ada syaraf yang terjepit. Mamah harus
mengikuti fisioterapi selama beberapa kali untuk menyembuhkannya. Selain itu, ada
juga beberapa jenis obat yang harus dikonsumsi selama beberapa hari.
Kondisi kesehatan Mamah
itu ternyata diketahui oleh beberapa kenalan kami. Berita itu makin bertambah
dramatis karena diceritakan oleh suaminya Mamah yang memang cukup gemar
menceritakan tentang “sakit”. Orang-orang yang mendengar berita itu jadi makin
perhatian pada keluarga kami.
Ada seorang kenalan yang bertanya
kepada saya tentang kondisi Mamah. Saya menjelaskan apa saja yang perlu diberi
tahu tanpa mengungkap seluruh kondisi yang sebenarnya adalah hak pasien untuk
mendapatkan kerahasiaan. Tanggapannya membuat saya agak kaget.
“Mungkin mamahmu stress karena anaknya pada belum menikah.
Makanya kalian cepat-cepat kawin aja supaya pikiran mamahmu beres,” begitu
katanya.
Sebaris kalimat itu, saya pikir hanya candaan. Namun,
ternyata tidak. Orang itu sepertinya benar-benar berpikiran yang sakit adalah
pikiran Mamah. Dengan sotoynya dia membuat diagnosa kalau itu adalah stress
karena anak-anaknya belum menikah. Tak lupa dia juga memberi saran untuk
solusinya.
Saat itu, saya jadi
agak mangkel. Perhatiannya malah sangat mengganggu. Kalau bentuk perhatiannya
adalah menganggap rendah orang dan menghakimi seperti itu, mendingan enggak
usah mendapat perhatian, deh. Orang yang sedang dalam pemulihan dan yang
mendampingi akan jauh lebih tenang.
Belakangan, setelah
rasa mangkel saya hilang, saya baru sadar kalau mungkin sebenarnya niat mereka
baik. Mungkin memang ada keterbatasan pengetahuan tentang syaraf dan
penyakitnya. Mungkin dia hanya tahu orang yang sakit syaraf itu artinya
terganggu pikirannya, alias gila. Mungkin juga cerita yang disampaikan secara
berantai menjadi berkembang dan berbumbu. Yeah…banyak lagi mungkin-mungkin
lainnya.
Baru-baru ini, saya menemani seorang
kerabat ke dokter syaraf. Kali ini, saya tidak berurusan dengan orang-orang
yang memiliki pemahaman salah tentang dokter syaraf. Kunjungan ke dokter syaraf
itu membangkitkan kembali ingatan tentang Mamah dan syaraf kejepitnya, lengkap
dengan perhatian yang saat itu membuat mangkel.
Saya jadi berniat
membuat tulisan tentang dokter-dokter spesialis dan apa saja yang menjadi
urusannya. Tentu saja termasuk dokter syaraf. Sepertinya saya perlu banyak
waktu untuk riset tentang ini. Apalagi tulisannya untuk anak-anak kecil, harus
ditulis dengan benar supaya pemahaman mereka tidak salah. Suatu saat nanti,
tidak akan ada lagi orang yang maksudnya memberi perhatian tapi jadinya malah
membuat mangkel. {ST}