Ana

Senin, 27 Juli 2015

Dokter Syaraf (?)




            Beberapa orang kenalan saya, ada yang pernah konsultasi ke dokter syaraf. Ada yang agak malu-malu mengatakannya, karena takut dikira gila. Padahal, kan, enggak begitu. Dokter syaraf bukanlah orang yang mengurusi orang gila. Kata “syaraf” memang sering dikonotasikan menjadi gila. Lebih tepatnya, sih, sarap. Bukan syaraf. Kata ini menjadi semacam makian di negeri ini.
            Saya pernah menemani ibu saya ke dokter syaraf. Hasil diagnosanya ada syaraf yang terjepit. Mamah harus mengikuti fisioterapi selama beberapa kali untuk menyembuhkannya. Selain itu, ada juga beberapa jenis obat yang harus dikonsumsi selama beberapa hari.
            Kondisi kesehatan Mamah itu ternyata diketahui oleh beberapa kenalan kami. Berita itu makin bertambah dramatis karena diceritakan oleh suaminya Mamah yang memang cukup gemar menceritakan tentang “sakit”. Orang-orang yang mendengar berita itu jadi makin perhatian pada keluarga kami.
Ada seorang kenalan yang bertanya kepada saya tentang kondisi Mamah. Saya menjelaskan apa saja yang perlu diberi tahu tanpa mengungkap seluruh kondisi yang sebenarnya adalah hak pasien untuk mendapatkan kerahasiaan. Tanggapannya membuat saya agak kaget.
“Mungkin mamahmu stress karena anaknya pada belum menikah. Makanya kalian cepat-cepat kawin aja supaya pikiran mamahmu beres,” begitu katanya.
Sebaris kalimat itu, saya pikir hanya candaan. Namun, ternyata tidak. Orang itu sepertinya benar-benar berpikiran yang sakit adalah pikiran Mamah. Dengan sotoynya dia membuat diagnosa kalau itu adalah stress karena anak-anaknya belum menikah. Tak lupa dia juga memberi saran untuk solusinya.
Saat itu, saya jadi agak mangkel. Perhatiannya malah sangat mengganggu. Kalau bentuk perhatiannya adalah menganggap rendah orang dan menghakimi seperti itu, mendingan enggak usah mendapat perhatian, deh. Orang yang sedang dalam pemulihan dan yang mendampingi akan jauh lebih tenang.
Belakangan, setelah rasa mangkel saya hilang, saya baru sadar kalau mungkin sebenarnya niat mereka baik. Mungkin memang ada keterbatasan pengetahuan tentang syaraf dan penyakitnya. Mungkin dia hanya tahu orang yang sakit syaraf itu artinya terganggu pikirannya, alias gila. Mungkin juga cerita yang disampaikan secara berantai menjadi berkembang dan berbumbu. Yeah…banyak lagi mungkin-mungkin lainnya.
            Baru-baru ini, saya menemani seorang kerabat ke dokter syaraf. Kali ini, saya tidak berurusan dengan orang-orang yang memiliki pemahaman salah tentang dokter syaraf. Kunjungan ke dokter syaraf itu membangkitkan kembali ingatan tentang Mamah dan syaraf kejepitnya, lengkap dengan perhatian yang saat itu membuat mangkel.
Saya jadi berniat membuat tulisan tentang dokter-dokter spesialis dan apa saja yang menjadi urusannya. Tentu saja termasuk dokter syaraf. Sepertinya saya perlu banyak waktu untuk riset tentang ini. Apalagi tulisannya untuk anak-anak kecil, harus ditulis dengan benar supaya pemahaman mereka tidak salah. Suatu saat nanti, tidak akan ada lagi orang yang maksudnya memberi perhatian tapi jadinya malah membuat mangkel. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini