Ana

Kamis, 30 Juli 2015

Anak Penjual Tisu




            Saya sering bertemu dengan anak-anak penjual tisu. Mereka beroperasi di beberapa tempat makan yang sering saya kunjungi, terutama di daerah Jakarta Pusat. Di Jalan Sabang dan sekitarnya adalah tempat-tempat yang selalu ada anak penjual tisunya. Selain menjual tisu, ada beberapa anak yang menjual buku mewarnai dan puzzle. Saya menyebut mereka “anak penjual tisu” karena saya pernah membeli tisu dari mereka.
Anak-anak penjual tisu itu kebanyakan berpenampilan agak gembel. Kemungkinan ada juga yang tunawisma. Beberapa anak yang pernah saya temui, terlihat juga bersama dengan orang dewasa, kemungkinan orang tuanya. Beberapa dari mereka kadang-kadang ada juga yang menyebutkan hasil penjualannya untuk biaya sekolah.
            Terlepas dari untuk apa hasil penjualannya, terlepas pula dari kenyataan kalau mereka dimanfaatkan oleh orang-orang dewasa, saya salut dengan mereka. Anak-anak ini dari kecil sudah berusaha mencari uang. Mereka mencarinya tidak dengan meminta-minta. Berjualan akan membentuk mental mereka untuk berusaha.
Saya prihatin dengan keadaan mereka yang harus ikut mencari nafkah. Anak-anak seharusnya bergembira, bermain, dan belajar selama masa pertumbuhannya. Diam-diam, saya sering mendoakan mereka semoga kelak bisa tumbuh sehat, diberkati Tuhan dan bisa menjadi berkat bagi sesamanya. Mereka tidak akan mengulangi sejarah dengan menjadikan anak-anak mereka anak penjual tisu berpakaian gembel.
            Kekaguman saya pada mereka adalah salah satu alasan saya membeli tisu yang mereka jual. Kalau dipikir-pikir, saya bisa membeli tisu di toko swalayan yang bertebaran di mana-mana. Tisu yang dijual di toko swalayan sudah pasti dari supplier terkenal yang terjamin kualitasnya. Sedangkan yang mereka jual? Ada yang mengatakan kalau itu dibuat dari kertas daur ulang yang belum tentu sehat.
            Tisu yang dijual oleh anak-anak penjual tisu teksturnya memang lebih kasar dibandingkan dengan tisu yang sering saya beli di toko swalayan. Tisu seperti ini hanya saya pakai untuk mengelap tangan. Saya tidak berani menggunakannya untuk mengelap kacamata karena kemungkinan bisa menggores kacanya. Buat ngelap ingus juga enggak berani karena akan membuat hidung saya yang besar ini lecet-lecet. Beberapa kenalan saya bahkan tidak mau memakainya sama sekali.
            Baru-baru ini, saya membaca berita tentang anak penjual tisu. Namanya Ahmed. Ahmed bukanlah anak penjual tisu yang tisunya pernah saya beli. Mungkin, saya tidak akan pernah bertemu dengannya. Daerah yang menjadi wilayah penjualan tisu anak ini pun belum pernah saya datangi sepanjang hidup.
Ahmed adalah anak Suriah. Dia dan keluarganya mengungsi ke Turki karena keadaan di negeri asalnya sedang tidak aman. Seperti juga anak penjual tisu di Jakarta, Ahmed berjualan tisu di dekat tempat makan. Ahmed berjualan tisu di depan sebuah restoran.
Kehadiran Ahmed di depan restoran itu dirasa mengganggu oleh sang manajer restoran. Berkali-kali dia mengusir Ahmed, berkali-kali juga Ahmed pergi. Namun, berkali-kali pula Ahmed kembali ke tempat mangkalnya itu. Sepertinya sang manajer tidak bisa lagi menahan emosinya. Dia memukul Ahmed habis-habisan sambil babak belur.
Pemukulan anak kecil yang dilakukan oleh orang dewasa ini terekam kamera dan tersebar di dunia maya. Dalam artikel yang saya lihat, terlihat orang dewasa yang bertubuh gempal itu sedang memukul seoranga nak kecil berkaos garis-garis. Anak itu Ahmed. Di lain foto, tampak Ahmed dengan wajah sembap habis menangis. Foto ini ditampilkan tanpa sensor. Wajah Ahmed terlihat jelas. Kesedihan dan kepiluan tergambar dari wajahnya.
Saya sedih sekali melihat foto itu. Rasa kagum saya kepada anak-anak penjual tisu membuat saya merasa sedikit terhubung pada Ahmed, anak kecil dari Suriah yang tidak pernah saya kenal itu. Saya juga merasa marah pada lelaki dewasa yang memukulinya itu. Di mata saya, laki-laki dewasa yang beraninya memukuli anak kecil adalah pengecut. Bah! {ST}

Popular Posts

Isi blog ini