Saya sering bertemu dengan anak-anak
penjual tisu. Mereka beroperasi di beberapa tempat makan yang sering saya
kunjungi, terutama di daerah Jakarta Pusat. Di Jalan Sabang dan sekitarnya
adalah tempat-tempat yang selalu ada anak penjual tisunya. Selain menjual tisu,
ada beberapa anak yang menjual buku mewarnai dan puzzle. Saya menyebut mereka “anak penjual tisu” karena saya pernah
membeli tisu dari mereka.
Anak-anak
penjual tisu itu kebanyakan berpenampilan agak gembel. Kemungkinan ada juga
yang tunawisma. Beberapa anak yang pernah saya temui, terlihat juga bersama
dengan orang dewasa, kemungkinan orang tuanya. Beberapa dari mereka
kadang-kadang ada juga yang menyebutkan hasil penjualannya untuk biaya sekolah.
Terlepas dari untuk apa hasil
penjualannya, terlepas pula dari kenyataan kalau mereka dimanfaatkan oleh
orang-orang dewasa, saya salut dengan mereka. Anak-anak ini dari kecil sudah
berusaha mencari uang. Mereka mencarinya tidak dengan meminta-minta. Berjualan
akan membentuk mental mereka untuk berusaha.
Saya prihatin
dengan keadaan mereka yang harus ikut mencari nafkah. Anak-anak seharusnya
bergembira, bermain, dan belajar selama masa pertumbuhannya. Diam-diam, saya
sering mendoakan mereka semoga kelak bisa tumbuh sehat, diberkati Tuhan dan
bisa menjadi berkat bagi sesamanya. Mereka tidak akan mengulangi sejarah dengan
menjadikan anak-anak mereka anak penjual tisu berpakaian gembel.
Kekaguman saya pada mereka adalah
salah satu alasan saya membeli tisu yang mereka jual. Kalau dipikir-pikir, saya
bisa membeli tisu di toko swalayan yang bertebaran di mana-mana. Tisu yang
dijual di toko swalayan sudah pasti dari supplier terkenal yang terjamin kualitasnya.
Sedangkan yang mereka jual? Ada yang mengatakan kalau itu dibuat dari kertas
daur ulang yang belum tentu sehat.
Tisu yang dijual oleh anak-anak
penjual tisu teksturnya memang lebih kasar dibandingkan dengan tisu yang sering
saya beli di toko swalayan. Tisu seperti ini hanya saya pakai untuk mengelap
tangan. Saya tidak berani menggunakannya untuk mengelap kacamata karena
kemungkinan bisa menggores kacanya. Buat ngelap ingus juga enggak berani karena
akan membuat hidung saya yang besar ini lecet-lecet. Beberapa kenalan saya
bahkan tidak mau memakainya sama sekali.
Baru-baru ini, saya membaca berita
tentang anak penjual tisu. Namanya Ahmed. Ahmed bukanlah anak penjual tisu yang
tisunya pernah saya beli. Mungkin, saya tidak akan pernah bertemu dengannya. Daerah
yang menjadi wilayah penjualan tisu anak ini pun belum pernah saya datangi
sepanjang hidup.
Ahmed adalah
anak Suriah. Dia dan keluarganya mengungsi ke Turki karena keadaan di negeri
asalnya sedang tidak aman. Seperti juga anak penjual tisu di Jakarta, Ahmed
berjualan tisu di dekat tempat makan. Ahmed berjualan tisu di depan sebuah
restoran.
Kehadiran
Ahmed di depan restoran itu dirasa mengganggu oleh sang manajer restoran.
Berkali-kali dia mengusir Ahmed, berkali-kali juga Ahmed pergi. Namun,
berkali-kali pula Ahmed kembali ke tempat mangkalnya itu. Sepertinya sang
manajer tidak bisa lagi menahan emosinya. Dia memukul Ahmed habis-habisan
sambil babak belur.
Pemukulan
anak kecil yang dilakukan oleh orang dewasa ini terekam kamera dan tersebar di
dunia maya. Dalam artikel yang saya lihat, terlihat orang dewasa yang bertubuh
gempal itu sedang memukul seoranga nak kecil berkaos garis-garis. Anak itu
Ahmed. Di lain foto, tampak Ahmed dengan wajah sembap habis menangis. Foto ini
ditampilkan tanpa sensor. Wajah Ahmed terlihat jelas. Kesedihan dan kepiluan
tergambar dari wajahnya.
Saya sedih
sekali melihat foto itu. Rasa kagum saya kepada anak-anak penjual tisu membuat
saya merasa sedikit terhubung pada Ahmed, anak kecil dari Suriah yang tidak
pernah saya kenal itu. Saya juga merasa marah pada lelaki dewasa yang
memukulinya itu. Di mata saya, laki-laki dewasa yang beraninya memukuli anak
kecil adalah pengecut. Bah! {ST}