Gojek
telah menjadi fenomena tersendiri di Jakarta. Perkembangan dan popularitasnya
luar biasa. Semua orang tahu tentang Gojek. Hampir semua orang yang saya kenal
mengapresiasi Gojek, baik aplikasi maupun para pengemudinya. Saya juga salut
dengan ide usaha ini.
Para
pengemudi Gojek, yang kebanyakan abang-abang, sering terlihat memegang handphone ketika sedang berhenti. Kalau
orang yang tidak tahu, mungkin mengira kalau para pengemudi Gojek itu sedang “main”
handphone. Tentu saja bukan seperti
itu kenyataannya. Handphone adalah
alat kerja mereka. Semacam cangkul buat petani dan sempritan buat polisi.
Suatu
kali, saya tersenyum sendiri ketika melihat 3 orang abang Gojek sedang melihat
ke layar datar telepon genggamnya. Identitas Gojek bisa terlihat dari jaket
hijau mereka. Di tengah kumpulan itu, terlihat seorang abang muda. Hmmm… Abang
muda maksudnya abang Gojek yang paling muda. Di sampingnya, ada abang-abang
yang lebih senior. Si abang muda menunjuk-nunjuk layar di dalam genggamannya
itu. Kedua abang lainnya ngintip-ngintip. Salah seorang di antaranya
manggut-manggut.
Dari
adegan tanpa suara tersebut, saya bisa menebak apa yang sedang terjadi.
Kemungkinan, kedua abang senior itu agak gaptek. Dia menanyakan kepada abang
muda yang lebih fasih teknologi. Abang yang manggut-manggut rupanya bisa
mengerti. Yang satunya masih enggak mudeng. Saya jadi tersenyum sendiri
membayangkan balon-balon kata yang akan saya buat kalau saja berhasil memotret
mereka.
Kenyataannya,
saya tidak berhasil memotret mereka. Saya sedang mengemudikan sebuah mobil
kecil lucu bernama Mocil. Adegan abang-abang Gojek hanya sempat terlihat oleh
mata saya, teringat di otak, dan kemudian dituliskan di blog ini. {ST}