Ana

Jumat, 31 Juli 2015

Hari Tikus Kelindes




            Hari terakhir di bulan Juli 2015 jatuh di hari Jumat. Seperti biasa, saya pergi ke kantor pada pagi hari. Saya menjalani rute yang sama dengan orang yang sama seperti hari-hari sebelumnya.
            Hari ini ada yang berbeda di tengah jalan. Bukan di tengah perjalanan, lo. Tetapi benar-benar di tengah jalan. Entah mengapa, di hari itu ada banyak sekali tikus yang kelindes. Makhluk berwarna hitam itu terlihat gepeng tanpa nyawa di aspal.
            Dalam perjalanan saya di kantor, tidak kurang dari 5 tikus yang saya temui gepeng kelindes tanpa nyawa. Dimulai dari jalan kecil di dekat rumah, di pinggir kali, sampai di dekat kantor.
            Saya jadi bertanya-tanya sendiri, apakah gerangan sebabnya para tikus itu sampai keluar ke jalan. Kenyataan kalau mereka mati gepeng di tengah jalan menunjukkan kalau mereka menyeberang jalan. Tikus-tikus yang gepeng yang bertebaran di mana-mana itu menunjukkan kalau fenomena tikus nyebrang itu tidak hanya terjadi di 1 tempat.
            Mohon maaf bagi yang mau lihat fotonya. Saya tidak sempat memotretnya. Lagian kurang kerjaan banget memotret tikus kelindes. Menulis catatan tentang tikus kelindes ini saja sudah termasuk dalam kegiatan kurang kerjaan. {ST}

Taman Burung di TMII #122





Kamis, 30 Juli 2015

Anak Penjual Tisu




            Saya sering bertemu dengan anak-anak penjual tisu. Mereka beroperasi di beberapa tempat makan yang sering saya kunjungi, terutama di daerah Jakarta Pusat. Di Jalan Sabang dan sekitarnya adalah tempat-tempat yang selalu ada anak penjual tisunya. Selain menjual tisu, ada beberapa anak yang menjual buku mewarnai dan puzzle. Saya menyebut mereka “anak penjual tisu” karena saya pernah membeli tisu dari mereka.
Anak-anak penjual tisu itu kebanyakan berpenampilan agak gembel. Kemungkinan ada juga yang tunawisma. Beberapa anak yang pernah saya temui, terlihat juga bersama dengan orang dewasa, kemungkinan orang tuanya. Beberapa dari mereka kadang-kadang ada juga yang menyebutkan hasil penjualannya untuk biaya sekolah.
            Terlepas dari untuk apa hasil penjualannya, terlepas pula dari kenyataan kalau mereka dimanfaatkan oleh orang-orang dewasa, saya salut dengan mereka. Anak-anak ini dari kecil sudah berusaha mencari uang. Mereka mencarinya tidak dengan meminta-minta. Berjualan akan membentuk mental mereka untuk berusaha.
Saya prihatin dengan keadaan mereka yang harus ikut mencari nafkah. Anak-anak seharusnya bergembira, bermain, dan belajar selama masa pertumbuhannya. Diam-diam, saya sering mendoakan mereka semoga kelak bisa tumbuh sehat, diberkati Tuhan dan bisa menjadi berkat bagi sesamanya. Mereka tidak akan mengulangi sejarah dengan menjadikan anak-anak mereka anak penjual tisu berpakaian gembel.
            Kekaguman saya pada mereka adalah salah satu alasan saya membeli tisu yang mereka jual. Kalau dipikir-pikir, saya bisa membeli tisu di toko swalayan yang bertebaran di mana-mana. Tisu yang dijual di toko swalayan sudah pasti dari supplier terkenal yang terjamin kualitasnya. Sedangkan yang mereka jual? Ada yang mengatakan kalau itu dibuat dari kertas daur ulang yang belum tentu sehat.
            Tisu yang dijual oleh anak-anak penjual tisu teksturnya memang lebih kasar dibandingkan dengan tisu yang sering saya beli di toko swalayan. Tisu seperti ini hanya saya pakai untuk mengelap tangan. Saya tidak berani menggunakannya untuk mengelap kacamata karena kemungkinan bisa menggores kacanya. Buat ngelap ingus juga enggak berani karena akan membuat hidung saya yang besar ini lecet-lecet. Beberapa kenalan saya bahkan tidak mau memakainya sama sekali.
            Baru-baru ini, saya membaca berita tentang anak penjual tisu. Namanya Ahmed. Ahmed bukanlah anak penjual tisu yang tisunya pernah saya beli. Mungkin, saya tidak akan pernah bertemu dengannya. Daerah yang menjadi wilayah penjualan tisu anak ini pun belum pernah saya datangi sepanjang hidup.
Ahmed adalah anak Suriah. Dia dan keluarganya mengungsi ke Turki karena keadaan di negeri asalnya sedang tidak aman. Seperti juga anak penjual tisu di Jakarta, Ahmed berjualan tisu di dekat tempat makan. Ahmed berjualan tisu di depan sebuah restoran.
Kehadiran Ahmed di depan restoran itu dirasa mengganggu oleh sang manajer restoran. Berkali-kali dia mengusir Ahmed, berkali-kali juga Ahmed pergi. Namun, berkali-kali pula Ahmed kembali ke tempat mangkalnya itu. Sepertinya sang manajer tidak bisa lagi menahan emosinya. Dia memukul Ahmed habis-habisan sambil babak belur.
Pemukulan anak kecil yang dilakukan oleh orang dewasa ini terekam kamera dan tersebar di dunia maya. Dalam artikel yang saya lihat, terlihat orang dewasa yang bertubuh gempal itu sedang memukul seoranga nak kecil berkaos garis-garis. Anak itu Ahmed. Di lain foto, tampak Ahmed dengan wajah sembap habis menangis. Foto ini ditampilkan tanpa sensor. Wajah Ahmed terlihat jelas. Kesedihan dan kepiluan tergambar dari wajahnya.
Saya sedih sekali melihat foto itu. Rasa kagum saya kepada anak-anak penjual tisu membuat saya merasa sedikit terhubung pada Ahmed, anak kecil dari Suriah yang tidak pernah saya kenal itu. Saya juga merasa marah pada lelaki dewasa yang memukulinya itu. Di mata saya, laki-laki dewasa yang beraninya memukuli anak kecil adalah pengecut. Bah! {ST}

Taman Burung di TMII #121





Rabu, 29 Juli 2015

Marah Dibilang Mirip




            Keponakan saya wajahnya mirip dengan bapaknya. Bapaknya itu adalah kakak saya. Konon kabarnya, wajah saya mirip dengan kakak saya, bapaknya anak ini. Itu artinya wajah keponakan saya itu mirip saya. Apalagi anak itu perempuan.
            Sudah banyak orang yang mengatakan kalau wajah kami mirip. Kakak ipar saya, ibunya anak cantik ini, juga mengatakan kalau anaknya mirip saya. Setelah saya lihat-lihat di cermin, ternyata memang benar, kok. Wajah kami mirip. Paling enggak, orang yang melihat sudah bisa menebak kalau ada hubungan keluarga di antara kami.
            Suatu kali, anak cantik yang berusia 5 tahun ini mengirimkan foto selfie ke saya. Ya, kami memang sering berkirim pesan dan foto. Saya kaget sekali ketika melihat foto itu. Wajahnya sangat mirip saya, hanya yang ini versi anak kecilnya. Apalagi saat itu model rambut kami mirip.
            Saya membalas foto itu dengan kesan saya tentang betapa miripnya kami. Tak disangka, anak ini malah marah besar. Kemarahannya terlihat dari kata-kata yang dikirimkannya. Sepertinya setelah itu dia mendapat nasehat khusus dari ibunya karena kata-katanya bisa dianggap kurang sopan untuk seorang yang lebih tua.
            Saya menanggapinya dengan biasa saja. Apalagi anak ini memang pemarah. Kadang-kadang emosinya tidak terkendali. Lama-lama saya kepikiran juga, kenapa dia bisa marah, ya? Kan, memang benar kalau wajah kami mirip.
            Saya jadi teringat pada diri saya sendiri. Saya juga tidak terlalu suka bila dikatakan mirip dengan orang lain, meskipun orang tersebut adalah orang tua saya sendiri. Saya bahkan pernah ngambek karena salah seorang mantan pacar saya sering sekali mengulang-ulang kalau wajah saya mirip Papah. Omongan tentang ini, kalau 1 kali aja, sih, enggak apa-apa. Kalau berulang kali, bikin sebal. Apalagi kalau itu menjadi topik obrolan saat ngedate.
Saya juga pernah sebal karena salah seorang mantan pacar saya pernah punya pacar baru yang kata orang-orang wajahnya mirip saya. Hiiiyyyy… Kalau yang ini benar-benar enggak banget, deh. Apalagi sebelum menjadi pacar resmi, perempuan itu statusnya adalah selingkuhan.
            Ada masa-masanya saya meninggalkan begitu saja saat orang lain berbicara tentang kemiripan saya dengan orang lain. Ngeloyor pergi aja, gitu. Kalo dipikir-pikir, enggak sopan, sih. Tetapi saat itu, pergi adalah pilihan terbaik dibandingkan dengan marah-marah enggak jelas. Mendingan emngerjakan kegiatan lain daripada mendengarkan orang yang berbuih-buih menjelaskan betapa miripnya saya dengan orang lain.
            Saat mengingat-ingat bagaimana saya dulunya, saya cukup memahami kemarahan keponakan kecil saya. Pasti dia mengira, dia adalah satu-satunya orang yang berwajah begitu, seperti saya dulu. Mungkin baru bertahun-tahun kemudian dia akan bisa mengerti kalau orang-orang bisa saja berwajah mirip karena faktor genetik. Ada juga yang mirip bingit alias kembar genetik. Walaupun demikian, setiap orang itu unik.
            Sampai sekarang, sebenarnya saya masih kurang suka disamakan dengan orang lain. Namun dengan bertambahnya usia, saya lebih bisa mengelola reaksi saya. Saya tidak lagi ngembek atau marah. Bisa dikatakan agak lebih bijaksana sedikitlah. {ST}

Taman Burung di TMII #120





Selasa, 28 Juli 2015

Nanti Nombok, Lho!




            Saya cukup sering mampir ke toko-toko swalayan. Entah itu untuk membeli barang-barang groseri, atau juga bahan makanan segar. Saya paling sering mampir untuk membeli tisu, minuman, dan roti. Kadang-kadang sekalian ke ATM juga.
            Beberapa barang di toko swalayan, ada yang menggunakan harga yang tidak bulat seperti mata uang. Misalnya saja Rp 4900. Kalau pembeli hanya membeli barang ini, maka kasir harus mengembalikan Rp 100 kepada pembelinya. Kembalian ini pernah menimbulkan kontroversi bertahun-tahun yang lalu ketika ada toko swalayan yang menggantinya dengan permen. Kontroversi itu akhirnya melahirkan peraturan yang melarang untuk memberikan pengganti uang kembalian berupa permen. Permen memang bukan alat pembayaran yang sah di negara ini.
            Peraturan baru itu memberi keelgaan kepada orang-orang yang tidak berkenan diberikan kembalian permen. Saya salah seorang di antaranya. Memberikan kembalian uang yang digantikan dengan permen seakan-akan memaksa untuk membeli permen itu. Padahal tidak semua orang memerlukannya.
            Peraturan itu juga berakibat kasir di toko-toko swalayan harus selalu menyediakan uang kembalian. Penyediaan uang tambahan itu memberi tambahan beban pekerjaan kepada para kasir. Kerepotannya kadang-kadang tak sebanding dengan nilai uangnya. Bisa dimaklumi kalau banyak kasir yang agak malas mengurusi uang kecil ini.
            Saya pernah bekerja di sebuah perusahaan retail. Menjadi kasir adalah salah satu bagian dari trainingnya. Rasanya saya hanya pernah training 1 minggu sebagai kasir. Kalau boleh memilih, lebih baik enggak deh. Nombok soalnya. Selisih uang kecil, lama-lama akan menjadi banyak. Saya pernah nombok Rp 24.000. Kalau setiap hari nombok segitu, kan, lumayan banget. Kerja capek-capek bukannya dapat upah, tapi malah nombok.
            “Nanti nombok, lho!” kata saya setiap kali mendapatkan uang kembalian yang kelebihan.
            “Enggak papa, dari pada lama,” jawab beberapa kasir, termasuk yang saya temui tadi pagi.
            Kasir yang saya temui bahkan memberikan kembalian dengan selisih harga Rp 1000. Itu adalah selisih yang besar, apalagi kalau dikalikan dengan jumlah konsumennya. Wah, bisa nombok banyak, tuh.
            Sebagai kasir, orang yang berhadapan langsung dengan pembeli, memang sering mendapatkan reaksi langsung dari konsumen. Reaksi paling keras tentu saja soal pelayanannya. Apabila ada pelayanan yang kurang berkenan, merekalah yang akan mendapat komplain. Kebanyakan pembeli tidak mau tahu letak kesalahannya ada di mana, dan apakah kesalahan itu berhubungan dengan sang kasir. Sebagai manusia, bisa dimaklumi kalau para kasir lebih baik kehilangan uang kecil daripada mendapat dampratan.
            Pembeli yang terpaksa menunggu uang kembalian untuk waktu yang cukup lama memang sangat berpotensi menimbulkan masalah. Mana ada, sih, orang yang mau menunggu lama, yang artinya membuang-buang waktu, untuk uang kecil yang tidak seberapa. Saya juga tidak mau.
            Kepedulian saya kepada para kasir yang berpotensi untuk nombok itu timbul karena pengalaman saya. Seminggu menjadi kasir di toko swalayan itu benar-benar mengubah cara pandang saya pada pekerjaan sebagai kasir. Kasir adalah orang yang dipercaya untuk memegang uang yang bukan miliknya. Uang yang dipegangnya hari itu mungkin saja jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan dengan gajinya.
Orang yang dapat dipercaya seperti itu harusnya mendapatkan penghargaan, bukannya malah didamprat plus harus nombok pula di akhir waktu kerjanya. Karena itu, saya bisa merelakan sedikit waktu saya ketika sang kasir harus membongkar-bongkar mesinnya untuk mencari uang kembalian. Saya juga rela membongkar-bongkar dompet dan tas saya untuk membuat pengembalian uangnya enggak ribet. Kalau perlu saya yang sedikit nombok juga enggak papa, kok. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini