Baru-baru
ini, ada trend untuk mengganti foto profil di media social dengan latar
berwarna-warni pelangi. Caranya cukup mudah. Ada aplikasinya, kok. Tinggal klik
klik klik. Selesai sudah. Hasilnya bertebaran di wajah-wajah teman-teman saya
dan beberapa selebriti yang kehidupannya diliput oleh media massa.
Awalnya,
saya cukup tertarik dengan warna-warni itu. Bukan karena saya mau mengikuti
trend, tetapi karena saya memang suka warna-warni. Warna pelangi bahkan menjadi
warna di salah satu dinding kamar saya.
Saya
cukup kaget ketika mengetahui propic berlatar pelangi itu ternyata berarti
dukungan untuk lesbian, gay, biseksual dan transjender (LGBT). Saat itu saya
agak mangkel karena menurut saya itu adalah pencemaran nama baik pelangi.
Saya
tidak menentang ataupun memusuhi orang-orang LGBT. Kalaupun sampai berkenalan
dengan mereka, saya akan tetap berteman dan menghargai mereka sebagai manusia.
Bagaimana mereka menjalani hidup, itu terserah pada mereka. Saya tidak berhak
mengatur kehidupan mereka apalagi mereka adalah orang yang sudah dewasa.
Pro
dan kontra tentang propic warna pelangi ini bertebaran di medsos. Banyak orang
yang mengunggah pendapatnya. Saya, sih, enggak. Saya tidak mau membuang-buang
waktu untuk membicarakan hidup orang lain yang kita belum tentu tahu kondisi
dan situasinya. Yang saya rasakan adalah rasa kesal dengan orang yang
mengasumsikan warna pelangi adalah warna yang pro LGBT. Itu artinya merusak
makna pelangi. Bagi saya, pelangi adalah simbol janji Tuhan atas adanya harapan
setelah badai berlalu. Pelangi adalah lambing harapan, bukan lambang manusia
yang hidup berbeda dengan standar umumnya. {ST}