“Syukurlah
lu sudah tobat,” adalah ungkapan yang sering terdengar menjelang hajatan
keagamaan. Entah itu menjelang hari raya, atau saat bulan puasa seperti
sekarang ini. Ungkapan itu sering terdengar sebagai candaan, atau disampaikan
dengan nada tak serius.
Saya,
sih, jarang mendapatkan sapaan seperti itu. Mungkin karena saya cukup aktif di
gereja, atau mungkin juga orang-orang yang saya temui sama aja kaya saya. Ngaku
bertobat, besoknya kumat.
Walaupun
jarang mendapat sapaan seperti itu, saya tetap memikirkan dan merenungkannya.
Orang yang sampai mengeluarkan ungkapan itu tentunya bersyukur karena ada
sesamanya yang “kembali ke jalan yang benar”. Di sisi lain, dapat dikatakan
pula kalau dia merasa lebih baik dari pada orang yang dikatain. Jadinya, kok,
malah agak-agak sombong dan menghakimi, yah.
Pemikiran
itu muncul karena saya bertemu dengan orang yang tersinggung dengan perkataan
itu. Perkataan itu, ditangkap sebagai sindiran oleh yang menerimanya. Saya yang
tadinya enggak terlalu memikirkan jadi ikut-ikutan memasukkannya dalam otak
saya. Mungkin saja sapaan itu memang dimaksudkan sebagai sindiran. Tetapi
mungkin saja memang benar-benar sebagai ungkapan syukur. Saya, sih, lebih
mengira kalau itu benar-benar ucapan syukur. Enggak perlu tersinggung sama
sekali. {ST}