Dalam
sebuah perbincangan di gereja, kami membicarakan tentang pujian. Kata “pujian”
ini di gereja sering disalahartikan sebagai nyanyian. Padahal, tidak semua
nyanyian adalah pujian. Dan, tidak semua nyanyian adalah pujian.
Contohnya
lagu pengakuan dosa. Ini bukanlah pujian sama sekali. Isinya kadang-kadang
meratap-ratap dan memohon belas kasihan Tuhan. Enggak ada sepotong lirik pun
yang memuji. Itu bukan pujian sama sekali.
Salah
arti itu bisa dikatakan juga sebagai penyempitan arti. Seakan-akan pujian itu
hanya bisa dilakukan dengan menyanyi. Padahal bisa saja pujian diberikan dalam
bentuk yang lain. Dengan memberikan barang misalnya. Pujian bisa juga diberikan
secara lisan.
Kepada
siapakah pujian harus diberikan? Tentu saja kepada yang layak dipuji. Nah, ini
dia yang sering beda pendapat. Ada yang berpendapat hanya Tuhan yang layak
dipuji. Ada juga yang berpendapat sah-sah aja memuji hal duniawi, misalnya
orang.
Saya, sih, berpendapat sah-sah aja
memuji apa saja yang layak dipuji. Orang yang berprestasi, atau benda-benda
yang bagus, bagi saya adalah sesuatu yang layak dipuji. Toh, semuanya itu akan
berujung pada Sang Pencipta. {ST}