Bulan
Juni adalah bulan kelahiran salah satu proklamator Republik Indonesia. Soekarno
dilahirkan tanggal 6 Juni 1901 di Surabaya. Tempat kelahirannya sempat menjadi trending topic akhir-akhir ini karena
pemimpin tertinggi negeri ini salah menyebutkan tempat kelahiran seniornya itu.
Trending topic ini tak luput dari
perhatian saya.
Selain
informasi tentang kelahirannya yang agak tidak terlacak itu, media juga
memberitakan apa saja yang berhubungan dengan Soekarno. Tentunya ini untuk
mengenang sang proklamator yang berhari jadi di bulan ini. Ada juga efek
sampingnya, untuk SEO, senjata para media online.
Saya
agak terusik dengan cerita saat-saat terakhir sang proklamator yang kehilangan
banyak hal, terutama kebebasannya. Pak Karno tinggal di sebuah rumah besar
sebagai tahanan rumah. Dia tinggal sendiri tanpa didampingi keluarganya. Pak
Karno yang saat itu sedang sakit ginjal juga harus menderita kesakitan.
Presiden penggantinya tidak memberi izin untuk mendapatkan pengobatan yang
layak.
Dikisahkan
pula kalau kamar yang ditempati oleh Pak Karno yang terbaring sakit itu tidak
layak ditempati. Kamarnya berantakan dan bau. Di kamar inilah kedua proklamator
negara kita pernah bertemu untuk mengenang perjuangan mereka memerdekakan
Indonesia.
Saya
juga agak terusik dengan permintaan untuk meninggalkan istana dalam waktu 2
hari. Waktu 2 hari untuk meninggalkan istana itu, rasanya tidak akan cukup bagi
seorang Soekarno yang telah bertahun-tahun menghuni istana. Rasanya kurang
pantas memperlakukan seorang kepala negara, apalagi proklamator negara dengan
memberi waktu yang begitu singkat. Hmmm… Sebenarnya itu masih mendingan juga,
sih, kalau dibandingkan zaman sekarang. Ada yang langsung dijemput di rumah
tanpa pemberitahuan.
Pak
Karno nyaris tidak membawa apa-apa ketika meninggalkan Istana Negara. Dia
bahkan tidak memiliki uang untuk membeli duku. Kisah duku ini juga menjadi
kisah yang membuat hati miris. Masa seorang mantan presiden sampai segitu
bokeknya.
Setelah
meninggalkan istana, Pak Karno pindah ke rumah Ibu Fatmawati, salah satu
istrinya. Ibu Fatma sudah lebih dulu meninggalkan istana karena tidak setuju
dimadu oleh suaminya yang menikah dengan beberapa wanita lain. Saya sangat bisa
memaklumi keputusan yang diambil oleh Ibu Fatma ini. Perempuan mana, sih, yang
rela dimadu? Rumah Ibu Fatma inilah yang menjadi rumah sang proklamator selama
beberapa saat sebelum dipindahkan ke Istana Bogor.
Kondisi
kesehatan Pak Karno saat di Istana Bogor sedang tidak baik dan tidak kunjung
membaik. Mungkin karena tidak tepat perawatannya. Konon kabarnya, Pak Karno
dirawat oleh seorang dokter hewan ketika berada di Istana Bogor. Salah seorang
anaknya (saya lupa yang mana) mengunjungi ayahnya dan meminta kepada Presiden
untuk memindahkan ayahnya itu ke Jakarta, supaya lebih dekat dengan keluarga.
Permohonan
itu dikabulkan, Pak Karno dipindahkan ke Wisma Yasa di Jakarta. Di tempat ini,
Pak Karno tetap seperti tahanan kota. Atau tahanan politik, ya? Yang jelas, dia
kehilangan kebebasan dan kesehatannya. Pak Karno yang saat itu sakit ginjal,
tidak mendapatkan pengobatan yang semestinya. Kalau zaman sekarang, mungkin
perlu cuci darah untuk pengobatannya. Konon kabarnya, Pak Karno sampai
berteriak-teriak kesakitan di kamarnya. Tentara yang berjaga di depan kamarnya
sampai menangis karena tidak tega namun tidak dapat berbuat banyak.
Saya
yang membaca ceritanya, hanya bisa merasa prihatin, tidak bisa berbuat banyak. Bagaimana
mungkin berbuat sesuatu, saat beliau wafat, saya bahkan belum lahir. Saya jadi
bertanya-tanya, ketika Pak Karno diperlakukan seperti itu, apa yang dilakukan
oleh istri-istri yang telah menikmati kehidupan nyaman bersama sang presiden
pertama itu? Mungkin mereka hanya bisa berdoa di rumah dan tidak berani berbuat
sesuatu. Atau… (Kalimat ini sengaja saya hapus karena berisi prasangka buruk).
Kalau
dilihat dari sejarah, Pak Karno memang tidak luput dari kesalahan. Kesalahannya
banyak yang tercatat dalam sejarah resmi yang dituliskan atau juga dari
penuturan beberapa orang. Mungkin saya juga termasuk orang yang akan memberikan
mosi tidak percaya apabila saya sudah menjadi manusia dewasa di saat itu.
Kepemimpinan yang terlalu lama, bahkan digadang-gadang untuk seumur hidup,
menurut saya bukanlah hal yang baik dan layak didukung.
Walaupun
ada banyak kesalahan, bukan berarti menghilangkan semua jasanya kepada negara.
Pak Karno adalah seorang pejuang. Dia adalah proklamator negara ini. Sangat
banyak orang yang seharusnya berterima kasih padanya akan kehidupan bebas yang
dirasakan setelah proklamasi. Paling tidak, penghargaan sebagai manusia,
apalagi di saat ajalnya mendekat.
Saya
menuliskan catatan ini sebagai pendapat pribadi. Dapat dikatakan sebagai
penghargaan saya kepada sosok proklamator yang terlihat ganteng di masa mudanya
itu. Saya tidak memujanya sebagai orang yang selalu benar. Saya juga tidak mempermasalahkan
kalau ada orang yang lupa tempat kelahirannya. Saya memandang sangat tidak
penting mempermasalahkan tempat kelahiran seseorang sampai berlarut-larut. Yang
penting bagi saya adalah kehidupannya dan dampaknya kepada negaranya. {ST}