Ana

Sabtu, 06 Juni 2015

Nasib Akhir Sang Proklamator




            Bulan Juni adalah bulan kelahiran salah satu proklamator Republik Indonesia. Soekarno dilahirkan tanggal 6 Juni 1901 di Surabaya. Tempat kelahirannya sempat menjadi trending topic akhir-akhir ini karena pemimpin tertinggi negeri ini salah menyebutkan tempat kelahiran seniornya itu. Trending topic ini tak luput dari perhatian saya.
            Selain informasi tentang kelahirannya yang agak tidak terlacak itu, media juga memberitakan apa saja yang berhubungan dengan Soekarno. Tentunya ini untuk mengenang sang proklamator yang berhari jadi di bulan ini. Ada juga efek sampingnya, untuk SEO, senjata para media online.
            Saya agak terusik dengan cerita saat-saat terakhir sang proklamator yang kehilangan banyak hal, terutama kebebasannya. Pak Karno tinggal di sebuah rumah besar sebagai tahanan rumah. Dia tinggal sendiri tanpa didampingi keluarganya. Pak Karno yang saat itu sedang sakit ginjal juga harus menderita kesakitan. Presiden penggantinya tidak memberi izin untuk mendapatkan pengobatan yang layak.
            Dikisahkan pula kalau kamar yang ditempati oleh Pak Karno yang terbaring sakit itu tidak layak ditempati. Kamarnya berantakan dan bau. Di kamar inilah kedua proklamator negara kita pernah bertemu untuk mengenang perjuangan mereka memerdekakan Indonesia.
            Saya juga agak terusik dengan permintaan untuk meninggalkan istana dalam waktu 2 hari. Waktu 2 hari untuk meninggalkan istana itu, rasanya tidak akan cukup bagi seorang Soekarno yang telah bertahun-tahun menghuni istana. Rasanya kurang pantas memperlakukan seorang kepala negara, apalagi proklamator negara dengan memberi waktu yang begitu singkat. Hmmm… Sebenarnya itu masih mendingan juga, sih, kalau dibandingkan zaman sekarang. Ada yang langsung dijemput di rumah tanpa pemberitahuan.
            Pak Karno nyaris tidak membawa apa-apa ketika meninggalkan Istana Negara. Dia bahkan tidak memiliki uang untuk membeli duku. Kisah duku ini juga menjadi kisah yang membuat hati miris. Masa seorang mantan presiden sampai segitu bokeknya.
            Setelah meninggalkan istana, Pak Karno pindah ke rumah Ibu Fatmawati, salah satu istrinya. Ibu Fatma sudah lebih dulu meninggalkan istana karena tidak setuju dimadu oleh suaminya yang menikah dengan beberapa wanita lain. Saya sangat bisa memaklumi keputusan yang diambil oleh Ibu Fatma ini. Perempuan mana, sih, yang rela dimadu? Rumah Ibu Fatma inilah yang menjadi rumah sang proklamator selama beberapa saat sebelum dipindahkan ke Istana Bogor.
            Kondisi kesehatan Pak Karno saat di Istana Bogor sedang tidak baik dan tidak kunjung membaik. Mungkin karena tidak tepat perawatannya. Konon kabarnya, Pak Karno dirawat oleh seorang dokter hewan ketika berada di Istana Bogor. Salah seorang anaknya (saya lupa yang mana) mengunjungi ayahnya dan meminta kepada Presiden untuk memindahkan ayahnya itu ke Jakarta, supaya lebih dekat dengan keluarga.
            Permohonan itu dikabulkan, Pak Karno dipindahkan ke Wisma Yasa di Jakarta. Di tempat ini, Pak Karno tetap seperti tahanan kota. Atau tahanan politik, ya? Yang jelas, dia kehilangan kebebasan dan kesehatannya. Pak Karno yang saat itu sakit ginjal, tidak mendapatkan pengobatan yang semestinya. Kalau zaman sekarang, mungkin perlu cuci darah untuk pengobatannya. Konon kabarnya, Pak Karno sampai berteriak-teriak kesakitan di kamarnya. Tentara yang berjaga di depan kamarnya sampai menangis karena tidak tega namun tidak dapat berbuat banyak.
            Saya yang membaca ceritanya, hanya bisa merasa prihatin, tidak bisa berbuat banyak. Bagaimana mungkin berbuat sesuatu, saat beliau wafat, saya bahkan belum lahir. Saya jadi bertanya-tanya, ketika Pak Karno diperlakukan seperti itu, apa yang dilakukan oleh istri-istri yang telah menikmati kehidupan nyaman bersama sang presiden pertama itu? Mungkin mereka hanya bisa berdoa di rumah dan tidak berani berbuat sesuatu. Atau… (Kalimat ini sengaja saya hapus karena berisi prasangka buruk).
            Kalau dilihat dari sejarah, Pak Karno memang tidak luput dari kesalahan. Kesalahannya banyak yang tercatat dalam sejarah resmi yang dituliskan atau juga dari penuturan beberapa orang. Mungkin saya juga termasuk orang yang akan memberikan mosi tidak percaya apabila saya sudah menjadi manusia dewasa di saat itu. Kepemimpinan yang terlalu lama, bahkan digadang-gadang untuk seumur hidup, menurut saya bukanlah hal yang baik dan layak didukung.
            Walaupun ada banyak kesalahan, bukan berarti menghilangkan semua jasanya kepada negara. Pak Karno adalah seorang pejuang. Dia adalah proklamator negara ini. Sangat banyak orang yang seharusnya berterima kasih padanya akan kehidupan bebas yang dirasakan setelah proklamasi. Paling tidak, penghargaan sebagai manusia, apalagi di saat ajalnya mendekat.
            Saya menuliskan catatan ini sebagai pendapat pribadi. Dapat dikatakan sebagai penghargaan saya kepada sosok proklamator yang terlihat ganteng di masa mudanya itu. Saya tidak memujanya sebagai orang yang selalu benar. Saya juga tidak mempermasalahkan kalau ada orang yang lupa tempat kelahirannya. Saya memandang sangat tidak penting mempermasalahkan tempat kelahiran seseorang sampai berlarut-larut. Yang penting bagi saya adalah kehidupannya dan dampaknya kepada negaranya. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini