Ana

Selasa, 30 Juni 2015

Warna Pelangi yang Tercemar




            Baru-baru ini, ada trend untuk mengganti foto profil di media social dengan latar berwarna-warni pelangi. Caranya cukup mudah. Ada aplikasinya, kok. Tinggal klik klik klik. Selesai sudah. Hasilnya bertebaran di wajah-wajah teman-teman saya dan beberapa selebriti yang kehidupannya diliput oleh media massa.
            Awalnya, saya cukup tertarik dengan warna-warni itu. Bukan karena saya mau mengikuti trend, tetapi karena saya memang suka warna-warni. Warna pelangi bahkan menjadi warna di salah satu dinding kamar saya.
            Saya cukup kaget ketika mengetahui propic berlatar pelangi itu ternyata berarti dukungan untuk lesbian, gay, biseksual dan transjender (LGBT). Saat itu saya agak mangkel karena menurut saya itu adalah pencemaran nama baik pelangi.
            Saya tidak menentang ataupun memusuhi orang-orang LGBT. Kalaupun sampai berkenalan dengan mereka, saya akan tetap berteman dan menghargai mereka sebagai manusia. Bagaimana mereka menjalani hidup, itu terserah pada mereka. Saya tidak berhak mengatur kehidupan mereka apalagi mereka adalah orang yang sudah dewasa.
            Pro dan kontra tentang propic warna pelangi ini bertebaran di medsos. Banyak orang yang mengunggah pendapatnya. Saya, sih, enggak. Saya tidak mau membuang-buang waktu untuk membicarakan hidup orang lain yang kita belum tentu tahu kondisi dan situasinya. Yang saya rasakan adalah rasa kesal dengan orang yang mengasumsikan warna pelangi adalah warna yang pro LGBT. Itu artinya merusak makna pelangi. Bagi saya, pelangi adalah simbol janji Tuhan atas adanya harapan setelah badai berlalu. Pelangi adalah lambing harapan, bukan lambang manusia yang hidup berbeda dengan standar umumnya. {ST}

Taman Burung di TMII #91





Pawai Budaya Kreatif 2014 #315





Senin, 29 Juni 2015

Kontroversi Festival Makan Anjing




            Beberapa waktu yang lalu, dunia maya sempat dihebohkan oleh berita tentang festival makan daging anjing di Tiongkok. Di beberapa tempat, termasuk negeri ini, anjing memang termasuk hewan yang menjadi bahan makanan. Banyak reaksi yang timbul dengan adanya festival ini. Kebanyakan kontra. Saya termasuk orang yang kontra.
            Saya adalah seorang yang menyukai anjing sebagai binatang peliharaan. Memiliki anjing adalah salah satu cita-cita saya. Saat ini, dengan kondisi seperti sekarang, belum memungkinkan bagi saya untuk dapat memelihara anjing. Ketertarikan saya memiliki anjing makin bertambah karena banyaknya cerita tentang anjing yang setia. Sanagt setia malah. Kesetiaannya melebihi manusia.
            Ketika ada berita tentang festival makan anjing. Saya langsung meringis ngeri. Terbayang wajah anjing-anjing yang akan dijadikan bahan makanan itu. Anjing, makhluk setia itu, riwayatnya akan berakhir di meja makan. Duh, kasihan. {ST}

Satu Juta? Siapa Aja?




                Saya memiliki beberapa akun media sosial. Salah satunya adalah G+. Akun ini sebenarnya tidak dibuat dengan sengaja. Media sosial ini sudah menjadi bagian dari akun gmail dan blogger yang saya gunakan. Akun ini juga menjadi tempat saya membagikan posting terakhir, baik di blog maupun YouTube.
                Di kalangan teman-teman dan kenalan saya, akun ini kurang popular. Secara global, popularitasnya memang tidak secemerlang mesin pencari yang dimiliki oleh perusahaan yang sama. Tidak banyak kenalan saya yang menggunakan G+.
                Suatu kali, ketika sedang membuka G+, saya agak kaget melihat angka yang ada di profil G+ saya. Angka itu adalah 1.448.901 views. Itu artinya profil saya telah dilihat 1.448.901 kali. Banyak banget, ya? Siapa aja coba yang melihat? Dengan sangat sedikit follower dan postingan hanya dari blog, kok rasanya angka 1 juta agak-agak lebay. Siapa aja, ya? {ST}

Taman Burung di TMII #90





Pawai Budaya Kreatif 2014 #314





Minggu, 28 Juni 2015

Tuli Sudah Pasti Bisu (?)


            Dalam sebuah perbincangan, saya mendengar kalau semua orang yang bisa menyanyi itu pasti bisa mendengar. Orang itu telah lebih dulu mendengarkan, baru kemudian ia mengikuti bunyinya. Maka jadilah sebuah nyanyian.
            Orang yang nyanyinya fals, diduga karena punya kekurangan di pendengarannya. Entah itu budi (budek dikit), atau bubang (budek banget). Ada juga yang berpendapat kalau orang yang nyanyinya fals itu inginnya sesukanya aja. Bersuara sekehendak hatinya. Ada benarnya juga, sih. Dalam pergaulan saya selama ini, pernah juga saya bertemu dengan orang yang seperti itu. Atau tepatnya saya mengira kalau dia adalah orang yang seperti itu. Ada juga yang memang nada suaranya fals, bahkan bicara pun fals.
            Yang cukup menarik bagi saya adalah kenyataan kalau orang yang dilahirkan tuli, biasanya bisu. Itu bisa dimaklumi karena dia tidak pernah mendengar suara selama hidupnya. Tentunya dia tidak dapat mengikuti bentuk bunyinya.
            Yang sangat menarik adalah adanya paduan suara tuna rungu. Saya belum tahu ada di mana dan apa nama paduan suaranya. Yang jelas mereka ada. Bagaimana cara mereka melakukannya? Itu ternyata karena kerja keras pelatihnya. Pelatihnya harus mencontohkan cara menyanyikan dengan bahasa tubuh. Para penyanyi belajar dan berlatih dengan melihat ke pelatihnya. Itu bukanlah hal yang mudah dilakukan.
            Orang yang pernah mendengar suara paduan suara ini mengatakan kalau paduan suara itu betul-betul bernyanyi. Mereka menyanyikan lagu yang ada liriknya. Kedengarannya memang tidak sempurna. Ada banyak nada yang fals dan seperti tidak pada tempatnya. Namun, penampilan mereka adalah karya nyata wujud pujian pada Sang Pencipta.
            Orang yang dilahirkan tuli memang biasanya bisu. Namun hal-hal luar biasa bisa saja terjadi. Tidak selamanya orang tuli itu bisu. Mereka bahkan bisa bernyanyi memuji kebaikan Sang Pencipta. {ST}

Pujian Belum Tentu Nyanyian




            Dalam sebuah perbincangan di gereja, kami membicarakan tentang pujian. Kata “pujian” ini di gereja sering disalahartikan sebagai nyanyian. Padahal, tidak semua nyanyian adalah pujian. Dan, tidak semua nyanyian adalah pujian.
            Contohnya lagu pengakuan dosa. Ini bukanlah pujian sama sekali. Isinya kadang-kadang meratap-ratap dan memohon belas kasihan Tuhan. Enggak ada sepotong lirik pun yang memuji. Itu bukan pujian sama sekali.
            Salah arti itu bisa dikatakan juga sebagai penyempitan arti. Seakan-akan pujian itu hanya bisa dilakukan dengan menyanyi. Padahal bisa saja pujian diberikan dalam bentuk yang lain. Dengan memberikan barang misalnya. Pujian bisa juga diberikan secara lisan.
            Kepada siapakah pujian harus diberikan? Tentu saja kepada yang layak dipuji. Nah, ini dia yang sering beda pendapat. Ada yang berpendapat hanya Tuhan yang layak dipuji. Ada juga yang berpendapat sah-sah aja memuji hal duniawi, misalnya orang.
Saya, sih, berpendapat sah-sah aja memuji apa saja yang layak dipuji. Orang yang berprestasi, atau benda-benda yang bagus, bagi saya adalah sesuatu yang layak dipuji. Toh, semuanya itu akan berujung pada Sang Pencipta. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini