Ana

Minggu, 31 Mei 2015

Orang Dayak dan Batas Mental




            Sebagai orang Dayak yang hidup di Jakarta, saya jarang berkomunikasi dengan orang Dayak yang tinggal di Pulau Kalimantan, tanah kelahiran kami. Kalaupun ada komunikasi, itu hanya sebatas perbincangan antara keluarga dan teman. Saya hampir tidak tahu kondisi kebanyakan penghuni Pulau Kalimantan itu.
            Beberapa waktu ini, tanpa sengaja saya terhubung dengan forum komunikasi di media sosial. Yang berkomunikasi di situ adalah orang-orang Dayak yang cukup memahami teknologi dan sepertinya berpendidikan cukup. Itu bisa dilihat dari komentar-komentar dan profil mereka. Beberapa ada yang saya intip profilnya karena penasaran.
            Topik yang kami bicarakan awalnya adalah tentang pendidikan. Tentang kurangnya akses pendidikan di Pulau Kalimantan. Tentang beasiswa. Ini sih sudah cerita lama. Itu sebabnya banyak orang Kalimantan yang mencari pendidikan lebih ke Pulau Jawa, termasuk sebagian besar keluarga saya. Lama-lama obrolan tentang pendidikan itu menjadi obrolan tentang para pengambil kebijakan di sebuah provinsi yang terletak tepat di tengah-tengah Republik Indonesia. Obrolan ini, kebanyakan tentang keburukannya. Banyak juga yang mengeluh.
            Saat makin banyak keluhan dan tuduhan yang intinya hanya menyalahkan pihak lain, saya jadi malas mengikuti perkembangan obrolan itu. Saya menarik dan menahan diri supaya tidak membaca obrolan lanjutannya. Namun, ada juga kalanya saya penasaran membaca pendapat panjang lebar yang dituliskan seseorang. Itulah awal mulanya saya mengintip profil beberapa orang ini. Ternyata enggak ndeso-ndeso amat, kok. Cukup terpelajar. Kemungkinan pendidikan formalnya melebihi saya.
            Saya, sih, hanya nimbrung 1 kali komentar di perbincangan ini. Saya memberikan tautan situs yang berisi informasi beasiswa. Saya memang tidak bisa berbuat banyak. Apalagi saya tidak tinggal di sana. Rasanya saya tidak terlalu pantas berkomentar banyak. Hmmm… Maksudnya berkomentar banyak di forum komunikasi itu. Kalau berkomentar di blog ini, entahlah akan jadinya berapa banyak. Dan tentu saja saya berhak berkomentar di blog pribadi saya.
            Tautan informasi beasiswa yang saya kirimkan, www.beasiswaindo.com, berisi informasi beasiswa yang ada di Indonesia untuk saat ini. Beasiswa itu tidak hanya untuk sekolah-sekolah di dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Informasinya hampir selalu ada yang baru setiap hari. Menurut saya, informasi ini cukup berarti bagi orang-orang yang mendambakannya.
            Saya cukup kaget ketika ada yang menanggapi “mereka sulit mengakses itu”. Hmm… Sekali lagi saya memang tidak berkomentar di forum komunikasi itu. Namun dalam hati saya punya komentar yang akhirnya keluar juga dalam catatan harian saya ini. Apanya, sih, yang susah mengakses situs yang bisa diakses dari mana saja? Apanya yang sulit sih membuka situs itu dan memberikan tautannya kepada yang memerlukan? Atau, misalnya orang yang membutuhkan informasi itu susah mengakses internet, bisa saja kan ada orang lain (misalnya orang-orang yang suka berkomentar di medsos itu), yang membukakan situsnya, kemudian memberikan informasinya dalam bentuk lain. Misalnya dengan memindahkannya ke atas kertas. Atau menjadikannya teks SMS. Menurut saya, sih, kalau ada kemauan pasti ada jalannya.
            Apakah yang dimaksud sulit itu artinya orang-orang di sana sulit memenuhi syarat yang diminta untuk mendapatkan beasiswa? Hmmm… Bisa iya bisa juga tidak. Biasanya, yang dianggap susah dalam beasiswa adalah syarat nilai dan komitmen orang yang diberi beasiswa. Walaupun sulit dan susah, bukan berarti tidak mungkin, kan? Lagipula kesempatannya banyak. Bila tidak berhasil yang 1, masih ada yang lain. Bila gagal hari ini, masih ada hari esok.
            Saya sempat membaca beberapa komentar yang membuat saya merasa aneh dengan diri saya. Langkah yang mereka (beberapa orang maksudnya) usulkan adalah langkah yang masih jauh dari kenyataan. Langkahnya berupa diskusi, atau juga meminta/memindahkan tanggungg jawab ke pihak lain. Itu yang mendingan, masih memberikan “solusi”. Banyak juga yang hanya sekedar menyalahkan.
            Saya merasa agak aneh. Seingat saya, rasa-rasanya, semboyan kami, orang-orang Dayak di Kalimantan Tengah adalah Isen Mulang, yang artinya pantang mundur. Semboyan ini benar-benar nyata di keluarga kami. Kalau ada halangan, coba dulu untuk dilalui. Itu juga yang menjadi sebagian sifat saya yang agak ndableg. Coba dulu. Kalaupun gagal, yang penting sudah pernah mencoba.
            Kalau saya ingat-ingat lagi, kemungkinan pengaruh isen mulang pada kehidupan saya itu karena kakek saya. Walaupun hanya mengenalnya selama 9 tahun, kharisma kakek saya ini menembus waktu, lo. Saya sampai sekarang masih ingat cerita-cerita dan pelajaran yang diberikannya. Terutama banget pelajaran menghitung dengan jari. Kakek saya ini memang tidak mengenal menyerah. Dia akan berjuang habis-habisan untuk mencapai tujuannya.
            Kakek saya ini adalah salah satu tokoh pendiri Kalimantan Tengah. Sangat mungkin kalau semboyan yang beredar luas di Kalimatan Tengah itu ada karena pengaruh dia. Saya yakin, semangat pantang menyerah tidak hanya berasal dari dia seorang, tetapi juga dari leluhurnya yang lahir sebelumnya. Kami, orang-orang Dayak, adalah orang yang menghargai leluhurnya.
            Mengetahui sebagian kecil dari orang Dayak yang mudah menyerah itu membuat saya agak sedih. Prihatin, sih, tepatnya. Masa, sih, tidak ada semangat isen mulang yang tersisa? {ST}

Popular Posts

Isi blog ini