Sebagai
orang Dayak yang hidup di Jakarta, saya jarang berkomunikasi dengan orang Dayak
yang tinggal di Pulau Kalimantan, tanah kelahiran kami. Kalaupun ada
komunikasi, itu hanya sebatas perbincangan antara keluarga dan teman. Saya
hampir tidak tahu kondisi kebanyakan penghuni Pulau Kalimantan itu.
Beberapa
waktu ini, tanpa sengaja saya terhubung dengan forum komunikasi di media
sosial. Yang berkomunikasi di situ adalah orang-orang Dayak yang cukup memahami
teknologi dan sepertinya berpendidikan cukup. Itu bisa dilihat dari
komentar-komentar dan profil mereka. Beberapa ada yang saya intip profilnya
karena penasaran.
Topik
yang kami bicarakan awalnya adalah tentang pendidikan. Tentang kurangnya akses
pendidikan di Pulau Kalimantan. Tentang beasiswa. Ini sih sudah cerita lama.
Itu sebabnya banyak orang Kalimantan yang mencari pendidikan lebih ke Pulau
Jawa, termasuk sebagian besar keluarga saya. Lama-lama obrolan tentang
pendidikan itu menjadi obrolan tentang para pengambil kebijakan di sebuah
provinsi yang terletak tepat di tengah-tengah Republik Indonesia. Obrolan ini,
kebanyakan tentang keburukannya. Banyak juga yang mengeluh.
Saat
makin banyak keluhan dan tuduhan yang intinya hanya menyalahkan pihak lain,
saya jadi malas mengikuti perkembangan obrolan itu. Saya menarik dan menahan
diri supaya tidak membaca obrolan lanjutannya. Namun, ada juga kalanya saya
penasaran membaca pendapat panjang lebar yang dituliskan seseorang. Itulah awal
mulanya saya mengintip profil beberapa orang ini. Ternyata enggak ndeso-ndeso
amat, kok. Cukup terpelajar. Kemungkinan pendidikan formalnya melebihi saya.
Saya,
sih, hanya nimbrung 1 kali komentar di perbincangan ini. Saya memberikan tautan
situs yang berisi informasi beasiswa. Saya memang tidak bisa berbuat banyak.
Apalagi saya tidak tinggal di sana. Rasanya saya tidak terlalu pantas
berkomentar banyak. Hmmm… Maksudnya berkomentar banyak di forum komunikasi itu.
Kalau berkomentar di blog ini, entahlah akan jadinya berapa banyak. Dan tentu
saja saya berhak berkomentar di blog pribadi saya.
Tautan
informasi beasiswa yang saya kirimkan, www.beasiswaindo.com, berisi informasi beasiswa yang ada di Indonesia untuk saat ini.
Beasiswa itu tidak hanya untuk sekolah-sekolah di dalam negeri, tapi juga di
luar negeri. Informasinya hampir selalu ada yang baru setiap hari. Menurut
saya, informasi ini cukup berarti bagi orang-orang yang mendambakannya.
Saya
cukup kaget ketika ada yang menanggapi “mereka sulit mengakses itu”. Hmm…
Sekali lagi saya memang tidak berkomentar di forum komunikasi itu. Namun dalam
hati saya punya komentar yang akhirnya keluar juga dalam catatan harian saya
ini. Apanya, sih, yang susah mengakses situs yang bisa diakses dari mana saja?
Apanya yang sulit sih membuka situs itu dan memberikan tautannya kepada yang
memerlukan? Atau, misalnya orang yang membutuhkan informasi itu susah mengakses
internet, bisa saja kan ada orang lain (misalnya orang-orang yang suka
berkomentar di medsos itu), yang membukakan situsnya, kemudian memberikan
informasinya dalam bentuk lain. Misalnya dengan memindahkannya ke atas kertas.
Atau menjadikannya teks SMS. Menurut saya, sih, kalau ada kemauan pasti ada
jalannya.
Apakah
yang dimaksud sulit itu artinya orang-orang di sana sulit memenuhi syarat yang
diminta untuk mendapatkan beasiswa? Hmmm… Bisa iya bisa juga tidak. Biasanya,
yang dianggap susah dalam beasiswa adalah syarat nilai dan komitmen orang yang
diberi beasiswa. Walaupun sulit dan susah, bukan berarti tidak mungkin, kan?
Lagipula kesempatannya banyak. Bila tidak berhasil yang 1, masih ada yang lain.
Bila gagal hari ini, masih ada hari esok.
Saya
sempat membaca beberapa komentar yang membuat saya merasa aneh dengan diri
saya. Langkah yang mereka (beberapa orang maksudnya) usulkan adalah langkah
yang masih jauh dari kenyataan. Langkahnya berupa diskusi, atau juga
meminta/memindahkan tanggungg jawab ke pihak lain. Itu yang mendingan, masih
memberikan “solusi”. Banyak juga yang hanya sekedar menyalahkan.
Saya
merasa agak aneh. Seingat saya, rasa-rasanya, semboyan kami, orang-orang Dayak
di Kalimantan Tengah adalah Isen Mulang, yang artinya pantang mundur. Semboyan
ini benar-benar nyata di keluarga kami. Kalau ada halangan, coba dulu untuk
dilalui. Itu juga yang menjadi sebagian sifat saya yang agak ndableg. Coba
dulu. Kalaupun gagal, yang penting sudah pernah mencoba.
Kalau
saya ingat-ingat lagi, kemungkinan pengaruh isen mulang pada kehidupan saya itu
karena kakek saya. Walaupun hanya mengenalnya selama 9 tahun, kharisma kakek
saya ini menembus waktu, lo. Saya sampai sekarang masih ingat cerita-cerita dan
pelajaran yang diberikannya. Terutama banget pelajaran menghitung dengan jari.
Kakek saya ini memang tidak mengenal menyerah. Dia akan berjuang habis-habisan
untuk mencapai tujuannya.
Kakek
saya ini adalah salah satu tokoh pendiri Kalimantan Tengah. Sangat mungkin
kalau semboyan yang beredar luas di Kalimatan Tengah itu ada karena pengaruh
dia. Saya yakin, semangat pantang menyerah tidak hanya berasal dari dia
seorang, tetapi juga dari leluhurnya yang lahir sebelumnya. Kami, orang-orang
Dayak, adalah orang yang menghargai leluhurnya.
Mengetahui
sebagian kecil dari orang Dayak yang mudah menyerah itu membuat saya agak
sedih. Prihatin, sih, tepatnya. Masa, sih, tidak ada semangat isen mulang yang
tersisa? {ST}