Seorang
teman saya baru belajar menyetir mobil. Makin sering berlatih, makin ahlilah
dia menguasai kendaraan di jalanan Jakarta yang padat dan kadang kala tidak
ramah itu. Namun, ada kalanya dia menjadi terpancing emosinya ketika bertemu
dengan kelakuan tidak berkenan dengan pengguna jalan lainnya.
Saya
dulunya juga sering marah dan kesal karena pengguna jalan lainnya. Yang paling
mengesalkan adalah kelakuan pengemudi kendaraan umum bernama bajaj, angkot dan
metromini. Saya sering melampiaskan kekesalan saya itu dengan marah-marah dan
mengomel sendiri.
Ketika
banyak orang yang melakukan hal yang sama, saya merasa tidak sendirian.
Marah-marah dan mengomel itu cukup manusiawi, kok. Saya juga memaklumi saja
kalau ada orang yang marah-marah karena jalannya diserobot oleh orang lain atau
terjebak kemacetan yang.
Akhir-akhir
ini, dengan makin bertambahnya usia, saya sudah jarang lagi marah-marah dan
mengomel. Ini bukan karena saya pasrah dengan keadaan jalan, lo. Itu lebih
karena kesadaran kalau marah-marah tidak membuat keadaan lebih baik. Biasanya
saya mencari kesibukan lain. Entah itu memantau HP, memotret jalanan, atau mengarang.
Ya, mengarang. Saya sekarang adalah seorang pengarang. Dan waktu mengarang yang
paling produktif adalah ketika saya sedang sendirian. {ST}