Pertengahan
bulan Mei 2015, kantor tempat saya numpang berkarya pindah. Bukan berarti saya
pindah kerja, lo. Perpindahan ini hanya perpindahan tempat dari lantai 4 ke
lantai 3. Fasilitas dan lain-lainnya sama. Kami akan digabungkan dengan redaksi
media lainnya yang sejenis.
Perpindahan
itu tidak menjadi suatu masalah bagi saya. Di mana pun saya ditempatkan, saya
tetap bisa berkarya. Tinggal memindahkan peralatan kerja dan beberapa perlengkapan
prbadi, saya pasti akan bisa langsung bekerja seperti biasanya.
Bagi
beberapa teman saya, yang sudah menjadi pegawai di tempat ini selama
bertahun-tahun, barang-barangnya bertumpuk. Tumpukan barang itu mungkin awalnya
tidak diniatkan untuk ditumpuk. Tetapi tetap saja, barang yang tidak bisa habis
dan tidak bisa busuk itu menjadi bertumpuk.
Ketika
waktu kepindahan semakin dekat, teman-teman saya itu harus memilih dan memilah
barang apa saja yang akan mereka bawa ke tempat yang baru. Beberapa barang itu
harus dibuang. Banyak yang merasa sayang dengan barang-barang “lucu” yang belum
tentu ada gunanya itu. Saya bersyukur tidak harus merasakan hal yang sama.
Barang-barang tumpukan saya belum sebanyak itu. Dan, saya cukup tega membuang
barang yang tidak ada gunanya lagi buat saya.
Lain
halnya dengan di rumah. Baru-baru ini, adik yang yang paling rapi melakukan
acara beres-beres di rumah. Dia membongkar lemari di lantai atas rumah kami.
Fungsi utama lemari ini adalah tempat TV. Di sekelilingnya ada beberapa pintu
lemari dan laci-laci. Lemari ini ternyata berisi cukup banyak benda elektronik,
CD dan buku.
Benda-benda
elektronik yang ada di lemari itu adalah alat-alat pemutar musik. Ada yang
untuk video kaset, ada yang khusus untuk laser disc, untuk CD, untuk DVD, dll.
Hampir semua alat-alat itu masih bisa berfungsi, namun tidak digunakan lagi.
Teknologi sudah bergeser. Kami sudah tidak lagi menonton video kaset atau VCD.
Benda-benda
elektronik yang dulunya pernah berguna itu, sekarang sudah tidak ada gunanya
lagi. Barang-barang itu telah menjadi sampah. Sebaagai sampah, tentu saja
barang-barang itu seharusnya dibuang di tempat sampah. Nah, membuangnya inilah
yang perlu perjuangan.
Yang
perlu diperjuangkan bukanlah susahnya membawa barang –barang itu ke tempat
sampah. Yang menjadi dilema adalah menentukan suatu barang termasuk sampah atau
bukan. Kalau dari rusak atau tidaknya, kemungkinan barang itu bukanlah sampah.
Namun dari keusangan dan trennya, barang itu bisa dikatakan sebagai sampah.
Untuk memilahnya diperlukan ketegaan dan ketegasan sikap.
Terlalu
lama mengenal sesuatu membuat kita makin terikat padanya, entah itu berguna
atau tidak. Itu juga berlaku untuk barang-barang usang yang menjadi tumpukan.
Mau dibuang, rasanya sayang. Mau disimpan, hanya membuat penuh dan belum tentu
ada gunanya. {ST}