Ana

Senin, 13 April 2015

Kemiskinan dan Pilihan yang Tidak Tepat




            Indonesia ini sangat kaya sumber daya alam. Namun, hampir semua orang tahu kalau di negeri super kaya ini sangat banyak orang yang miskin. Kemiskinan itu sudah terjadi selama beberapa generasi. Sampai-sampai cukup banyak orang yang yakin kalau mereka terlahir miskin.
            Bekerja untuk memenuhi biaya hidup adalah pilihan terbanyak yang diambil oleh kebanyakan orang, termasuk saya juga. Namun, tidak semua orang dapat memiliki pekerjaan yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Banyak orang yang tidak memiliki penghasilan sama sekali. Mereka harus bergantung pada belas kasihan orang lain dengan menjadi pengemis. Ada juga yang menjadi pekerja kasar.
            Pengemis itu masih mendingan. Walaupun mengemis bukanlah suatu profesi yang layak dipuji, masih tetap halal karena tidak mengambil yang tidak menjadi haknya. Banyak juga orang yang memilih jalan tidak halal untuk memenuhi kebutuhannya, atau lebih tepatnya keinginan. Apa saja perbuatan tidak halalnya? Wah, kalo itu baca aja di media massa. Di sini enggak akan dibahas yang kaya begituan.
            Pilihan itu dipengaruhi juga oleh adanya sosok-sosok yang memiliki pengaruh besar di kalangan mereka. Hampir semua pelaku kejahatan “terinspirasi” oleh orang lain. Kali ini, media massa memiliki andil cukup besar. Rasanya itu pula yang menyebabkan kejahatan seperti ada “musimnya”. Lihat saja fenomena begal yang terjadi baru-baru ini. Kok bisa terjadi di beberapa kota dalam waktu hampir bersamaan. Sedangkan mereka sama sekali tidak saling kenal sebelumnya.
            Kemiskinan juga menyebabkan banyak orang menjadi PSK. Pekerjaan yang kabarnya sudah ada sejak sebelum Masehi itu bukanlah pekerjaan terhormat. Saya sendiri juga tidak terlalu bisa menghargai pekerjaan ini. Rasanya saya ikut terhina ketika ada perempuan yang merendahkan dirinya dengan menjadi PSK.
            Kemiskinan membuat orang tidak memiliki pilihan. Pilihan makanan, kebutuhan dasar saja, tidak dapat dimiliki. Mereka hanya dapat memakan apa yang ada tanpa memperhatikan kecukupan gizinya. Tak heran banyak anak Indonesia yang “kerdil”. Tinggi dan berat badannya di bawah ukuran normal.
            Saya pernah membaca berita tentang sebuah keluarga yang memberi 3 anak balitanya minuman moka yang dikemas di sachet. Pilihan ini diambil karena harganya murah, hanya Rp 1000 per sachetnya. Kedua orang tua ini tidak tahu kalau moka sebenarnya bukan minuman yang tepat untuk anak balita atau bayi. Hmmm…mungkin juga mereka sebenarnya tahu, tapi tidak mampu.
            Kemiskinan juga membuat orang tidak memiliki pilihan untuk dapat tinggal di tempat yang layak. Ketiadaan dana menjadi kendala ketika harga properti makin menjulang tinggi. Bayak sekali orang yang tidak memiliki rumah, menjadi tunawisma. Ada juga yang tinggal di bangunan yang bisa dikatakan rumah, namun tidak memiliki hak legal atas bangunan itu.
            Kemiskinan membuat orang tidak bisa mengakses pendidikan. Sampai saat ini, yang namanya pendidikan, atau lebih tepatnya sekolah, tidak ada yang gratis. Kalaupun tidak ada pungutan, siswa tetap harus mengeluarkan biaya untuk alat-alat pendukung sekolah seperti pakaian seragam, buku-buku dan lainnya. Ada juga orang tua yang sengaja memutuskan sekolah anaknya karena tenaganya diperlukan untuk bekerja.
            Makin banyak orang yang tidak bersekolah, makin banyak orang yang tidak bisa meraih peluang yang ditawarkan oleh kehidupan. Mereka hanya menjadi korban. Walaupun berjuang habis-habisan, hasilnya belum tentu memuaskan bila tanpa pengetahuan.
            Hanya merasa sedih dan prihatin memang tidak ada gunanya. Saya sangat sadar akan hal itu. Walaupun enggak hebat-hebat amat, dan enggak kaya-kaya amat, saya mencoba untuk dapat menjadi berkat bagi dunia di sekitar saya. Semoga kemiskinan di negeri yang kaya ini bisa berkurang bahkan dihilangkan. Kemiskinan membuat orang memilih pilihan yang tidak tepat. Hmm… Atau mungkin juga sudah tidak ada pilihan lagi. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini