Ana

Sabtu, 18 April 2015

Gerombolan Abang Tanah Abang




            Hampir setiap pergi ke kantor, saya bersama dengan adik saya. Dia nebeng sampai dekat pusat perbelanjaan Sarinah. Dari situ, kami berpisah dan meneruskan perjalanan ke kantor masing-masing. Saya biasanya mengambil jalan melewati Tanah Abang, pusat grosir tekstil terbesar di Asia Tenggara.
            Hampir setiap pagi juga saya bertemu dengan gerombolan abang-abang Tanah Abang. Mengapa gerombolan? Karena mereka memang menggerombol sesuai dengan warna kaosnya. Warna kaos itu sepertinya menunjukkan di lokasi mana mereka bekerja.
            Abang-abang itu bekerja sebagai porter, orang yang menjual tenaganya untuk mengangkut barang. Pekerjaan ini adalah pekerjaan kasar yang dibayar murah. Tidak perlu berpikir dan berotak cerdas untuk melakukannya. Yang penting tubuh sehat dan kuat untuk mengangkut karung berisi tekstil itu.
            Setiap kali melewati gerombolan itu, saya merasa prihatin dan sedih. Tenaga mereka dihargai sangat murah, sedangkan jumlah mereka berlimpah. Saya pernah menggunakan jasa mereka dengan biaya Rp 20.000. Itu saja kabarnya bisa ditawar lagi. Saya yang biasanya gemar menawar, hari itu tak tega juga.
Persaingan untuk mendapatkan barang angkutan pasti sangat ketat. Saya sedih membayangkan bila abang-abang itu adalah satu-satunya pencari nafkah dalam keluarganya.
            Membawa barang belanjaan, sebenarnya bisa dilakukan sendiri oleh pembeli. Ada beberapa peralatan yang memudahkan orang memindahkan barang. Ada troli, ada pengungkit, ada tas belanja. Itu baru beberapa contoh alat sederhana yang sudah ada. Kalau mau, pengelola bisa membuat peralatan canggih yang memudahkan pembeli untuk memindahkan barang-barang belanjaannya. Namun di sisi lain peralatan canggih itu akan mencuri nafkah yang biasanya didapatkan oleh abang-abang yang bekerja sebagai porter itu.
            Rasa kasihan dan prihatin itu sering saya rasakan ketika saya berada di dalam Mocil, mobil kecil yang setia menemani saya. Kalau saya sedang berjalan kaki, saya malah menjadi ketakutan dan agak terganggu ketika berhadapan dengan mereka. Gerombolan abang-abang yang bertemu perempuan manis seperti saya ini sering bersikap tidak logis. Beberapa dari mereka sering berseru-seru yang membuat saya sedikit terganggu. Kadang-kadang ada juga yang berusaha menghalangi langkah saya. Saya sering kali dalam keadaan siap siaga mau menendang kalau sampai ada dari mereka yang berani menyentuh saya.
            Suatu kali, saya pernah melihat seorang yang berpakaian cukup rapi keluar dari angkot. Tak lama kemudian, dia mengenakan kaos khas porter di bagian luarnya. Pemandangan itu menarik perhatian saya. Imajinasi saya langsung menuju ke rumahnya. Mungkin saja dia berpamitan kepada keluarganya untuk pergi bekerja, namun tidak sebagai porter. Ngapain juga jadi porter dengan pakaian serapi itu? Menjadi porter memang bukan pekerjaan yang sangat membanggakan. Walaupun demikian, pekerjaan ini halal. Mungkin dia malu mengakuinya.
            Entah sampai kapan profesi porter ini akan ada di dunia. Saya hanya bisa berdoa, semoga suatu saat nanti ada cukup lapangan pekerjaan yang memberikan penghasilan yang memadai bagi seluruh rakyat negeri ini. Pada saat itulah profesi porter sudah menjadi sejarah. Urusan bawa membawa barang bisa dikerjakan oleh alat bantu lain atau…robot. Manusia Indonesia akan mendapatkan penghidupannya dari akal budinya, tidak hanya tenaganya. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini