Hampir
setiap pergi ke kantor, saya bersama dengan adik saya. Dia nebeng sampai dekat
pusat perbelanjaan Sarinah. Dari situ, kami berpisah dan meneruskan perjalanan
ke kantor masing-masing. Saya biasanya mengambil jalan melewati Tanah Abang,
pusat grosir tekstil terbesar di Asia Tenggara.
Hampir
setiap pagi juga saya bertemu dengan gerombolan abang-abang Tanah Abang.
Mengapa gerombolan? Karena mereka memang menggerombol sesuai dengan warna
kaosnya. Warna kaos itu sepertinya menunjukkan di lokasi mana mereka bekerja.
Abang-abang
itu bekerja sebagai porter, orang yang menjual tenaganya untuk mengangkut
barang. Pekerjaan ini adalah pekerjaan kasar yang dibayar murah. Tidak perlu
berpikir dan berotak cerdas untuk melakukannya. Yang penting tubuh sehat dan
kuat untuk mengangkut karung berisi tekstil itu.
Setiap
kali melewati gerombolan itu, saya merasa prihatin dan sedih. Tenaga mereka
dihargai sangat murah, sedangkan jumlah mereka berlimpah. Saya pernah
menggunakan jasa mereka dengan biaya Rp 20.000. Itu saja kabarnya bisa ditawar
lagi. Saya yang biasanya gemar menawar, hari itu tak tega juga.
Persaingan untuk mendapatkan barang
angkutan pasti sangat ketat. Saya sedih membayangkan bila abang-abang itu
adalah satu-satunya pencari nafkah dalam keluarganya.
Membawa
barang belanjaan, sebenarnya bisa dilakukan sendiri oleh pembeli. Ada beberapa
peralatan yang memudahkan orang memindahkan barang. Ada troli, ada pengungkit,
ada tas belanja. Itu baru beberapa contoh alat sederhana yang sudah ada. Kalau mau,
pengelola bisa membuat peralatan canggih yang memudahkan pembeli untuk
memindahkan barang-barang belanjaannya. Namun di sisi lain peralatan canggih
itu akan mencuri nafkah yang biasanya didapatkan oleh abang-abang yang bekerja
sebagai porter itu.
Rasa
kasihan dan prihatin itu sering saya rasakan ketika saya berada di dalam Mocil,
mobil kecil yang setia menemani saya. Kalau saya sedang berjalan kaki, saya
malah menjadi ketakutan dan agak terganggu ketika berhadapan dengan mereka.
Gerombolan abang-abang yang bertemu perempuan manis seperti saya ini sering
bersikap tidak logis. Beberapa dari mereka sering berseru-seru yang membuat
saya sedikit terganggu. Kadang-kadang ada juga yang berusaha menghalangi langkah
saya. Saya sering kali dalam keadaan siap siaga mau menendang kalau sampai ada
dari mereka yang berani menyentuh saya.
Suatu
kali, saya pernah melihat seorang yang berpakaian cukup rapi keluar dari
angkot. Tak lama kemudian, dia mengenakan kaos khas porter di bagian luarnya.
Pemandangan itu menarik perhatian saya. Imajinasi saya langsung menuju ke
rumahnya. Mungkin saja dia berpamitan kepada keluarganya untuk pergi bekerja,
namun tidak sebagai porter. Ngapain juga jadi porter dengan pakaian serapi itu?
Menjadi porter memang bukan pekerjaan yang sangat membanggakan. Walaupun
demikian, pekerjaan ini halal. Mungkin dia malu mengakuinya.
Entah
sampai kapan profesi porter ini akan ada di dunia. Saya hanya bisa berdoa,
semoga suatu saat nanti ada cukup lapangan pekerjaan yang memberikan
penghasilan yang memadai bagi seluruh rakyat negeri ini. Pada saat itulah
profesi porter sudah menjadi sejarah. Urusan bawa membawa barang bisa
dikerjakan oleh alat bantu lain atau…robot. Manusia Indonesia akan mendapatkan
penghidupannya dari akal budinya, tidak hanya tenaganya. {ST}