Selama
hidup, saya sudah beberapa kali pindah rumah. Yang saya ingat, kami pernah
tinggal di Sampit, Palangkaraya dan Jakarta. Orang tua dan adik saya bahkan
pernah tinggal di Palu, Sulawesi Tengah. Rumah tempat tinggal saya saat ini,
adalah rumah yang saya tinggali selama hampir 20 tahun. Alamat rumah ini adalah
alamat di KTP saya yang pertama. Ketika KTP harus diganti, alamat rumah inilah
yang menjadi alamat rumah saya (lagi).
Orang
tua kami, pemilik sah rumah yang saya tempati itu berniat untuk menjual rumah
kami. Rumah kami yang cukup besar dan terletak di daerah yang cukup elit itu
membuat biaya operasionalnya sangat tinggi. Rumah ini bukan aset, tetapi liability (bahasa Indonesianya apa ya?) Biaya
itu terasa cukup berat bagi orang tua kami. Apalagi ditambah dengan biaya hidup
mereka di Palangkaraya yang tidak murah.
Terus
terang saya sangat kecewa dan sedih ketika mendengar rumah itu akan dijual.
Bagi saya, rumah itu tidak hanya sekedar bangunan. Rumah itu adalah tempat saya
pulang. Saya, anak yang suka jalan-jalan itu, selalu pulang ke tempat ini. It’s a
home, not just a house. Rasanya patah hati juga mendengarnya.
Saya
sempat menawarkan diri untuk mengambil alih biaya operasional rumah ini supaya
tetap dapat tinggal di situ. Penawaran itu bukanlah sesuatu yang mudah bagi
saya saat ini. Penghasilan tetap saya belum terlalu besar. Beralih pekerjaan di
bidang yang baru masih di tahap awal. Gajinya enggak terlalu besar. Bisnis juga
masih di langkah awal, belum terlalu menghasilkan. Saya harus menghemat
habis-habisan kalau mau membiayai rumah sebesar itu. Namun, Mamah tetap
berkeras untuk menjual rumah kami itu.
Penerimaan
yang diterima dari hasil penjualan rumah ini menurut orang tua kami akan dapat
menyelesaikan beberapa masalah sekaligus. Kalau dipikir-pikir, memang benar
juga, sih. Kalau rumah ini cepat terjual, orang tua kami akan mendapatkan dana
segar beberapa miliar rupiah. Dana itu bisa digunakan untuk banyak hal,
terutama untuk obat-obatan mereka yang ternyata tidak murah itu. Dana ini juga
bisa untuk membiayai gaya hidup yang lebih baik dari yang sekarang.
Saya
masih belum bisa menerima dengan baik keputusan orang tua saya ini walaupun
sudah berusaha keras. Saya berusaha tetap membantu dan memikirkan action plan apa saja yang harus
dilakukan supaya keinginan orang tua saya ini dapat terwujud. Tetapi ketika
bagian melakukannya, tetap saja ogah-ogahan, ada sesuatu yang mengganjal. Saya
mengizinkan diri saya untuk menunda pekerjaan ini.
Untuk
menjual rumah, kita perlu tahu harga tanahnya, harga pasaran dan juga harga
potensialnya. Untuk mendapatkan harga potensial, perlu usaha lebih lagi. Harga
potensial biasanya tidak beredar di pasaran. Namanya juga potensial, belum
kelihatan dan belum kejadian.
Diam-diam
saya berdoa supaya rumah ini tidak jadi dijual. Sebagai gantinya, kami akan
tetap mendapatkan senilai uang yang diharapkan oleh orang tua kami. Saya juga
berani-beraninya berdoa kalau sayalah yang akan menjadi saluran untuk mendapatkan
berkat itu, entah bagaimana caranya. {ST}