Ana

Senin, 30 Maret 2015

Nasib SDN di Ibukota Negara


            Dalam sebuah seminar, saya duduk bersebelahan dengan 2 orang guru SDN yang mengajar di Jakarta Timur. Mereka dari sekolah yang sama. Kedua orang guru ini duduk di sebelah kanan dan kiri saya. Sebenarnya, mereka memiliki hak untuk duduk di kursi yang mengelilingi meja bundar, namun ternyata jumlah peserta seminar ini melebihi kapasitas ruangan. Karena itu kedua guru SDN ini kemudian mengambil tempat duduk di dekat saya, perwakilan media.
            Awalnya kami hanya berbasa-basi. Lama-lama obrolan makin lancar, dan terjadilah curhat para guru SDN ini. Menurut mereka, untuk memperbaiki sesuatu di sekolah, toilet misalnya, mereka harus menunggu dana BOS dulu. Dana BOS, atau dana apa aja yang berhubungan dengan pemerintah, hampir tidak pernah cair dalam waktu yang cepat. Barang-barang yang rusak, tidak dapat langsung diperbaiki bila belum ada dananya.
            Kerusakan yang dibiarkan itu akan membuat masalah baru. Toilet rusak atau tumpukan meja kursi kayu akan membuatnya menjadi sarang nyamuk dan tikus. Nyamuk dan tikus ini kerap kali mengganggu kesehatan anak-anak didiknya. Tumpukan barang bekas itu juga membuat sekolah tampak kotor dan angker. Beredar gosip-gosip misteri di beberapa sekolah terkait dengan toilet rusak. Ngomong-ngomong, toilet sekolah yang berhantu ada di cerita Harry Potter juga lo. Nama hantunya Myrtle.
            Selain terkesan angker, ibu-ibu di sebelah saya itu juga mengeluhkan kurang kompaknya guru-guru di sekolah untuk kampanye bersama. Misalnya untuk kampanye cuci tangan, gunting kuku, bawa bekal dan tidak jajan sembarangan. Hanya guru-guru tertentu yang peduli tentang hal-hal ini. Jadilah guru-guru itu dianggap guru-guru galak. Kadang-kadang dibilang killer.
            Hal lain yang sering membuat guru-guru tidak berdaya adalah adanya pedagang di sekitar sekolah yang lebih “berkuasa”. Biasanya mereka didukung oleh tokoh masyarakat setempat. Tokoh masyarakat ini bisa juga diartikan dengan preman setempat. Guru-guru tidak berdaya untuk “mengusir” mereka dan tidak mendekati para siswa. Apalagi kalau mereka berjualan di luar pagar sekolah.
            Ada beberapa sekolah yang berani meminta bantuan kepada pemerintah setempat. Kepala pemerintahan, entah walikota, camat  atau lurahnya, ada yang menurunkan satpol PP untuk membubarkan orang-orang yang berjualan di sekitar sekolah itu. Para pedagang bubar kocar-kacir untuk sementara. Tak laam kemudian, mereka kembali lagi dan “mencengkeram” anak-anak.
            Ketika mendengar curhat para ibu guru itu, saya jadi makin tertarik. Ketertarikan saya itu membuat mereka bertambah semangat untuk curhat. Curhat itu disambung pula oleh curhat ibu-ibu guru yang duduk di belakang saya. Kondisi sekolah tempat mereka mengajar hampir sama dengan sekolah tempat ibu-ibu di sebelah saya.
            Mendengar curhat mereka, membuat saya sedih dan prihatin. Sekolah tempat mereka mengajar itu adalah sekolah negeri yang terletak di ibukota negara. Itu saja kondisinya sangat memprihatinkan. Bagaimana kabar SDN di pulau tempat saya dilahirkan, ya? Kalimantan adalah pulau yang masih asing bagi banyak orang. Belum banyak sekolah dasar negeri di pulau ini. Makin sedih rasanya membayangkan kondisi di sana.
Ah, sedih doang mah enggak ada gunanya. Saya harus melakukan sesuatu supaya membuat sesuatu lebih baik. Entah bagaimana caranya. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini