Palangkaraya
termasuk kota yang bersih (menurut penglihatan saya). Paling tidak di tempat
saya tinggal hampir tidak ada yang sampah tergeletak sembarangan. Di rumah
kami, ada lobang khusus yang digunakan untuk membuang sampah organik. Bila
lobang ini sudah penuh, maka akan ditimbun dengan tanah.
Kebersihan
itu juga terlihat di jalan-jalan protokol kota. Para penyapu jalan menyapu
ruas-ruas jalan ini setiap hari. Dengan berbaju oranye khas penyapu jalan,
mereka membersihkan jalan dengan sapu lidinya. Penyapu jalanan di Palangkaraya
yang saya lihat kebanyakan adalah ibu-ibu.
Tanggung
jawab mereka adalah menjaga jalan tetap bersih. Kotorannya dibuang ke mana,
sepertinya tidak terpikirkan. Mungkin karena itulah ada yang membuang sampah
jalanan ke halaman rumah yang ada di jalan itu. Salah satu halaman yang pernah
menjadi tempat pembuangan adalah rumah kami.
Papah,
pemilik rumah dan juga penguasa halaman rumah, kebetulan pernah melihat ibu
penyapu jalan itu menyapu daun-daun ke halaman rumah kami. Papah menegur, atau
tepatnya memarahi ibu penyapu jalan yang dia anggap seenaknya saja ini. Ibu
penyapu jalan itu dengan bawelnya membalas dengan omelan.
Kebawelan
si ibu penyapu jalan membuat Papah bertambah marah. “Sudah salah, kok, bawel,”
mungkin itu yang ada di pikiran Papah. Papah sampai pernah mengancam akan
mengadukan ibu penyapu jalan ini kepada atasannya. Baru kemudian hari saya tahu
bahwa ibu itu memang bawel dari sononya.
Tak
disangka, ibu penyapu jalan ini ternyata berasal dari Katingan, daerah asal
kakek saya. Kalau dirunut-runut, sepertinya kami masih memiliki hubungan
kerabat. Hubungan itu membuat Mamah menyambut dengan ramah ibu tukang sapu ini
dengan baik di rumahnya. Nah, masalahnya rumah Mamah sama dengan rumah Papah,
orang yang pernah memarahi ibu penyapu jalan itu.
Ibu
penyapu jalan yang memang bawaannya bawel itu, mengadu ke Mamah tentang seorang
pria galak yang pernah memarahinya ketika menyapu jalan di depan rumah.
“Itu
suamiku,” kata Mamah ketika mendengar pengaduan si ibu penyapu jalan. Mendengar
hal itu, ibu penyapu jalan sepertinya berkurang rasa kesalnya.
Ketika
Natal tiba, ibu penyapu jalan ini datang ke rumah kami untuk mengucapkan
selamat hari raya. Dia datang beramai-ramai dengan teman-temannya, sesama
penyapu jalan. Rumah kami mendadak dipenuhi ibu-ibu berpakaian oranye.
Kedatangan
mereka diramaikan dengan keriuhan khas ibu-ibu. Ngobrol ngalor ngidul kesana
kemari. Saat itulah saya baru tahu kalau ibu ini memang bawaannya bawel. Kan,
memang ada orang yang seperti itu. Apa saja menjadi bahan omongan. Kebawelannya
makin bertambah spektakuler karena nada suaranya yang cempreng.
Adik
saya, seorang anak bersuara cempreng, bahkan sampai pusing mendengar kebawelan
dan kecemprengan suara ibu itu. Adik saya sangat lega ketika ibu penyapu jalan
dan teman-temannya itu berpamitan pulang.
Saya
sampai sekarang masih teringat akan kedatangan mereka. Suara obrolannya rasanya
masih mendengung ketika mengingat peristiwa itu. Bisa dikatakan kunjungan
mereka menimbulkankesan tersendiri bagi saya. Yang jelas, saya terkesan dengan
niat baik mereka untuk mengucapkan selamat Natal. Sebagian dari mereka,
terlihat dari pakaian yang mereka gunakan, tidak memeluk agama yang sama dengan
kami.
Mamah membawakan mereka cukup banyak
makanan ketika mereka berpamitan. Mereka bersyukur mendapatkan berkat dari
kunjungan ke rumah kami. Kami juga bersyukur dapat mengurangi aneka makanan
yang akan rusak dan dibuang bila tidak dimakan. Semoga saja mereka tetap
semangat menjaga kebersihan kota cantik Palangkaraya. {ST}