Hari
Minggu 15 Februari 2015 siang, Jakarta dilanda hujan lebat. Kebetulan sekali,
saya sedang berkendara di Jalanan Jakarta. Hujan yang sangat lebat membuat
beberapa ruas jalan menggenang. Genangan itu ada yang cukup tinggi sampai
membaut ebberapa pengemudi kendaraan bermotor memilih untuk memutar arah saja.
Genangan
air juga terjadi di sekitar rumah saya di Cempaka Putih. Sebagian ruas jalan
raya Cempaka Putih sudah tergenang. Saya yang buru-buru mau pulang memilih
meneruskan perjalanan supaya dapat segera tiba di rumah.
Tak
jauh dari persimpangan 4 yang mau masuk ke kompleks rumah saya, ada bajaj biru
yang berjalan sangat perlahan. Saya yang berada di belakangnya menjadi tidak
sabar karena terlalu lama berada di genangan air akan membahayakan mobil saya.
Selain itu, saya juga buru-buru mau pulang.
Ketika
melihat ada celah yang cukup di sebelah kiri, saya pun mengambil jalan di sisi
kiri jalan. Pilihan itu didukung pula
karena saya akan segera berbelok ke kiri. Maka makin mantaplah saya mengambil
jalan itu.
Genangan
air yang cukup tinggi membuat air bergelombang ketika saya lewat. Bajaj yang
tadinya di depan saya itu juga terkena gelombangnya. Bajaj biru itu terlihat
seperti terombang-ambing dan makin lama makin pelan. Akhirnya dia berhenti dengan badan jalan
menepi ke kiri, menutupi jalan saya.
Saya,
yang sudah berpikiran untuk cepat-cepat pulang menjadi agak kesal. Kira-kira
apa pula maksudnya, ya, berhenti dan menghalangi jalan orang di tengah banjir
begini?
Tak
lama kemudian, supir bajaj itu keluar dengan celana di gulung. Dia menuju ke
mobil saya dan marah-marah.
“Kalo
jalan liat-liat, dong. Mesinnya jadi mati gara-gara situ lewat,” katanya sambil
menunjuk-nunjuk muka saya.
Saya
sempat mangkel juga dituduh seperti ini. Dalam logika saya, mesin bajaj bisa
mati kapan saja bila melewati genangan air setinggi itu. Saya yang sudah
buru-buru mau pulang dan malas bertengkar akhirnya memindahkan arah dan meninggalkan
supir bajaj itu marah-marah. Dari kaca spion, saya masih bisa melihatnya marah-marah
sambil menunjuk-nunjuk. Saya juga bisa melihat penumpang bajaj yang turun dari
bajaj, menceburkan kakinya ke dalam genangan warna coklat itu.
Ketika
sudah berada di rumah dan leyeh-leyeh di sofa yang empuk, barulah saya
merasakan simpati pada sang supir bajaj biru. Mungkin saja memang mobil saya
yang menyebabkan air masuk ke mesin bajajnya dan membuatnya mogok. Atau,
mungkin juga sebenarnya mesin bajaj itu tetap akan mogok walaupun saya tidak
lewat. Kalau memang demikian, mungkin abang supir bajaj itu frustasi karena
keadaan yang tidak bisa diubahnya itu. Rasa frustasinya disalurkan dengan
memarahi supir mobil kecil yang sedang lewat. Emboh, ya!
Kasihan
juga si supir bajaj itu. Setelah bajajnya mogok, bertemu orang yang nyebelin
seperti saya pula. Itu masih ditambah kehilangan penumpang karena penumpangnya
turun di tengah jalan. Semoga saja dia mendapat rejeki dan berkat lainpengganti
kemalangannya di hari itu. {ST}