Ana

Senin, 16 Februari 2015

Bajaj Biru yang Mati Mesinnya




            Hari Minggu 15 Februari 2015 siang, Jakarta dilanda hujan lebat. Kebetulan sekali, saya sedang berkendara di Jalanan Jakarta. Hujan yang sangat lebat membuat beberapa ruas jalan menggenang. Genangan itu ada yang cukup tinggi sampai membaut ebberapa pengemudi kendaraan bermotor memilih untuk memutar arah saja.
            Genangan air juga terjadi di sekitar rumah saya di Cempaka Putih. Sebagian ruas jalan raya Cempaka Putih sudah tergenang. Saya yang buru-buru mau pulang memilih meneruskan perjalanan supaya dapat segera tiba di rumah.
            Tak jauh dari persimpangan 4 yang mau masuk ke kompleks rumah saya, ada bajaj biru yang berjalan sangat perlahan. Saya yang berada di belakangnya menjadi tidak sabar karena terlalu lama berada di genangan air akan membahayakan mobil saya. Selain itu, saya juga buru-buru mau pulang.
            Ketika melihat ada celah yang cukup di sebelah kiri, saya pun mengambil jalan di sisi kiri jalan.  Pilihan itu didukung pula karena saya akan segera berbelok ke kiri. Maka makin mantaplah saya mengambil jalan itu.
            Genangan air yang cukup tinggi membuat air bergelombang ketika saya lewat. Bajaj yang tadinya di depan saya itu juga terkena gelombangnya. Bajaj biru itu terlihat seperti terombang-ambing dan makin lama makin pelan.  Akhirnya dia berhenti dengan badan jalan menepi ke kiri, menutupi jalan saya.
            Saya, yang sudah berpikiran untuk cepat-cepat pulang menjadi agak kesal. Kira-kira apa pula maksudnya, ya, berhenti dan menghalangi jalan orang di tengah banjir begini?
            Tak lama kemudian, supir bajaj itu keluar dengan celana di gulung. Dia menuju ke mobil saya dan marah-marah.
            “Kalo jalan liat-liat, dong. Mesinnya jadi mati gara-gara situ lewat,” katanya sambil menunjuk-nunjuk muka saya.
            Saya sempat mangkel juga dituduh seperti ini. Dalam logika saya, mesin bajaj bisa mati kapan saja bila melewati genangan air setinggi itu. Saya yang sudah buru-buru mau pulang dan malas bertengkar akhirnya memindahkan arah dan meninggalkan supir bajaj itu marah-marah. Dari kaca spion, saya masih bisa melihatnya marah-marah sambil menunjuk-nunjuk. Saya juga bisa melihat penumpang bajaj yang turun dari bajaj, menceburkan kakinya ke dalam genangan warna coklat itu.
            Ketika sudah berada di rumah dan leyeh-leyeh di sofa yang empuk, barulah saya merasakan simpati pada sang supir bajaj biru. Mungkin saja memang mobil saya yang menyebabkan air masuk ke mesin bajajnya dan membuatnya mogok. Atau, mungkin juga sebenarnya mesin bajaj itu tetap akan mogok walaupun saya tidak lewat. Kalau memang demikian, mungkin abang supir bajaj itu frustasi karena keadaan yang tidak bisa diubahnya itu. Rasa frustasinya disalurkan dengan memarahi supir mobil kecil yang sedang lewat. Emboh, ya!
            Kasihan juga si supir bajaj itu. Setelah bajajnya mogok, bertemu orang yang nyebelin seperti saya pula. Itu masih ditambah kehilangan penumpang karena penumpangnya turun di tengah jalan. Semoga saja dia mendapat rejeki dan berkat lainpengganti kemalangannya di hari itu. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini