Ana

Jumat, 30 Januari 2015

Serangga di Pohon Tisik Manjuhan #30





Naik Puncak Monas Pakai Gelang




            Sejak tahun 2014, ada peraturan baru untuk naik ke puncak Monas. Peraturan ini untuk membatasi orang yang naik ke atas puncak Monas. Pengunjung yang datang dibagi per jam kedatangannya. Sebagai penandanya, pengunjung diberi gelang yang warnanya berbeda-beda tergantung jamnya.

            Ketika terakhir kali berkunjung ke Monas, saya juga mau naik ke puncak tugu bersepuh emas itu. Saya mendapatkan gelang berwarna biru. Gelang itu menunjukkan bahwa saya dijadwalkan untuk naik lift pukul 14.00 sampai 15.00.

            Saat itu baru jam 12 lebih. Kalau harus menunggu, rasanya kok terlalu lama. Sebagai orang yang suka akan peluang, saya mencoba mencari peluang supaya bisa naik lebih dulu. Saya pun menuju ke arah pintu lift. Ada antrean cukup panjang di depan pintu lift itu. Saya memerhatikan gelang-gelang yang mereka gunakan. Ternyata gelang-gelang itu sama warnanya seperti yang saya pakai, warna biru.

            Melihat hal itu, saya pun ikut dalam antrian yang kebanyakan berisi anakanak didampingi oleh orang tuanya itu. Saya melihat-lihat sekeliling apakah ada petugas yang menjaga di situ? Apakah petugas itu tidak menegur orang-orang yang sudah mengantri tidak sesuai dengan jadwalnya.

            Walaupun saya juga orang yang “bersalah” karena mengantre tidak sesuai jadwal, saya tetap penasaran mengapa ada pembiaran itu. Akhirnya saya pun bertanya pada petugas. Ternyata, pembagian tiket  dan gelang itu sesuai dengan jumlah orangnya. Artinya begini, gelang dengan suatu warna tertentu disiapkan misalnya 100 buah. Bila orang yang datang lebih dari 100 dan jam yang ditentukan belum tiba, maka gelang dengan warna yang selanjutnya akan diedarkan. Si petugas itu sendiri tidak tahu berapa jumlah gelangnya. Mungkin itu juga bukan hal yang penting untuk diketahui. Kemungkinan juga tidak banyak pengunjung yang datang dan menanyakannya.

            Gelang berwarna ini terbuat dari karet. Di ujungnya ada kancing yang bisa ditautkan. Gelang ini bergambar logo DKI Jakarta, tulisan “Monumen Nasional” dan pengaturan jam pengunjungnya. Ketika akan naikmasuk ke dalam lift, gelang ini harus diserahkan kepada petugas, semacam karcisnya. {ST}

Capung #41





Pawai Budaya Kreatif 2014 #164





Kamis, 29 Januari 2015

Serangga di Pohon Tisik Manjuhan #29





Fitness di Awal Tahun




            Salah satu resolusi saya di awal tahun ini adalah mengurangi berat badan. Saya bertekad untuk menguranginya dengan memperbanyak olahraga. Saya tidak fokus untuk mengurangi makanan dulu. Tentu saja untuk makanan tertentu yang sangat berlemak akan saya kurangi. Namun, untuk mengatur makan sampai kelaparan, lebih baik nanti saja saya lakukan.
            Niat berolahraga itu sudah beberapa kali saya lakukan. Beberapa kali juga meleset dari rencana. Rencananya, saya akan berolahraga setiap pagi. Namun, ada kalanya saya tidak bisa bangun lebih pagi. Niat hanya tinggal niat. Saya kemudian terbirit-birit bangun dan bersiap-siap ke kantor.
            Untuk melaksanakan niat dengan lebih baik, saya pun mencari informasi di internet. Ternyata, fitness di awal tahun adalah niat banyak orang di seluruh dunia. Mengurangi berat badan menjadi resolusi banyak orang di banyak tempat dan di sepanjang abad. Trend itu terekam dengan baik di mesin pencari internet.  Banyak sekali yang mencari informasi tentang mengurangi berat badan, diet dan fitness di awal tahun.
            Ketika memasuki bulan Februari, perjuangan saya untuk berolahraga makin berat. Entah karena niat yang kurang kuat atau karena keadaan yang membuat saya makin sering lalai berolahraga pagi. Sempat terpikir untuk ikut kelas senam aja. Kalau ikut kelas, dan berbayar, pastinya saya akan lebih niat untuk menjalankannya. Bukan karena niat juga, sih. Lebih tepatnya karena sayang sudah keluar uangnya. {ST}

Capung #40





Pawai Budaya Kreatif 2014 #163





Rabu, 28 Januari 2015

Serangga di Pohon Tisik Manjuhan #28





Anak Lucu Penjual Ikan




            Palangkaraya adalah kota keluarga. Hampir di seluruh kota ini tersebar keluarga kami. Kami bertemu dengan keluarga hampir di seluruh penjuru kota, termasuk juga di pasar becek yang jualan ikan. Keluarga yang kami temui di pasar tidak hanya pembelinya, tapi juga penjualnya.
            Suatu kali, ketika sedang menemani Papah ke pasar, saya melihat anak montok yang lucu. Anak lucu itu sedang bengong dan terlihat agak ngantuk. Bengongnya itu membuat wajahnya bertambah lucu. Saya punmenghampiri anak itu dan tanpa sengaja mencuil pipi nyempluknya dengan gemas.
            Papah yang melihat saya segera turut menghampiri. Ternyata Papah mengenal orang tua anak lucu itu. Kedua orang tua si anak lucu berprofesi sebagai penjual ikan di situ. Saya pun dikenalkan dengan kedua orang tua ini. Salah seorangnya ternyata masih ada hubungan keluarga dengan kami, saya juga kurang jelas yang mana.
            Papah juga mengundang mereka untuk datang ke rumah kami saat Natalan. Merepa pun memenuhi undangan itu. Si anak lucu datang dengan riang, apalagi ketika melihat di rumah kami banyak buah rambutan yang ada di pohon. Dengan bersemangat dia juga ikut-ikutan memetik buah rambutan langsung dari pohonnya.
            Ada seorang kerabat saya yang merasa kasihan kepada anak montok yang lucu ini. Kasihan karena profesi orang tuanya yang penjual ikan. Hmmm…saya tidak setuju untuk hal ini. Menurut saya, profesi penjual ikan bukanlah profesi yang perlu dikasihani. Berjualan ikan adalah pekerjaan halal dan terhormat. Kalau para penjual ikan terlihat kumuh dan lecek, itu bisa dimaklumi karena mereka harus bersentuhan dengan dagangannya yang basah.
            Saya, sih, mendoakan semoga si anak penjual ikan itu bertumbuh besar sebagai penjual ikan juga. Penjual ikan yang terpelajar dan bisa menjadi berkat bagi lingkungannya. {ST}

Capung #39





Pawai Budaya Kreatif 2014 #162





Popular Posts

Isi blog ini