Sudah beberapa tahun ini saya
berusaha menghindar dari jalan yang macet dan sangat padat. Ruas jalan super
macet, biasanya sudah bisa ditebak kemacetannnya dari sejarahnya. Biasanya ruas
jalan besar yang volume kendaraannya juga besar. Ruas jalan besar, terutama
yang menuju ke pinggir kota, dipastikan macet pada sore menjelang malam hari.
Saat itulah banyak pekerja di Jakarta pulang ke rumahnya yang berada di
pinggiran kota.
Saya menghindarinya dengan cara
mencari jalan-jalan kecil yang sering diberi nama julukan “jalan tikus”. Jalan
tikus ini ada yang lebarnya hampir sama seperti gang, kebanyakan berada di
perumahan yang padat. Hmmm...bisa juga dikatakan kalau jalan itu melewati
perkampungan penduduk. Rintangannya yang harus dilewati adalah banyaknya orang
yang ada di sekitar jalan itu. Orang-orang, para penghuni rumah di pinggir
jalan, sering masih beredar ketika saya melewati jalan itu.
Selain melewati jalan tikus,
saya harus bersyukur untuk anugerah lainnya, yaitu jalan besar yang tidak
macet. Sebagian besar rute pulang saya selama ini melalui jalan besar yang
tidak terlalu macet. Banyaknya volume kendaraan bisa tertampung dengan baik
kalau tidak ada penghalang di persimpangan. Saya baru menemui kemacetan justru
dengan jarak yang tak jauh dari rumah. Itu pun bisa disiasati dengan melewati
jalan tikus.
Suatu siang, saya mendapat
undangan di sebuah pusat perbelanjaan mewah di tengah kota, di Pacific Place.
Setelah acara selesai, waktu sudah menjelang jam 5 sore. Saya akhirnya memilih
pulang. Namun ternyata itu pilihan yang salah. Jalan yang saya pilih, ternyata
sangat padat. Kendaraaan yang melalui Jalan Senopati yang tidak kena jalur 3 in
1 ini luar biasa padatnya, hampir tidak bergerak.
Setelah berjam-jam di jalanan,
akhirnya saya menyerah. Saya menepi dan mampir ke sebuah restoran sambil
menunggu kemacetan berkurang. {ST}