Kabinet Kerja yang dibentuk oleh
Jokowi memiliki 34 menteri, di mana 8 orang di antaranya adalah perempuan. Ini
adalah rekor terbanyak sepanjang sejarah kabinet Indonesia. Tentu saja, ini
menjadi perbincangan beberapa kalangan, termasuk koran-koran dan situs berita.
Kebanyakan mengagumi banyaknya jumlah perempuan dalam kabinet ini.
Saya sendiri merasa agak risi
membicarakan dan membanggakan kabinet yang memberikan banyak tempat pada
perempuan. Bukan karena saya enggak bangga, tapi karena berbeda pendapat soal
kebanggan ini. Saya lebih respek kalau menteri dipilih karena kompetensinya.
Bila di antara orang-orang yang kompeten itu ada sejumlah perempuan, itulah
yang saya kagumi dan syukuri. Kompetensi setiap orang tidak perlu dibedakan
berdasarkan jenis kelaminnya. Bukan karena adanya desakan atau kuota harus ada
perempuan.
Beberapa teman aktivis feminis
(atau apa deh sebutannya) sangat gemar membanggakan banyaknya jumlah perempuan
dalam sebuah tim atau organisasi. Kadang-kadang juga disertai dengan tuntutan
dan desakan supaya jumlah perempuan ditambah. Saya tidak setuju dengan
pandangan ini. Kalau memang tidak ada yang kompeten, ya, tidak perlu ditambah.
Saya sendiri agak terhina bila dipilih menjadi anggota tim hanya karena
berjenis kelamin perempuan, bukan karena kemampuan saya.
Ketidaksetujuan itu
kadang-kadang membuat saya menghindar untuk berbincang tentang hal ini.
Perbincangan kadang-kadang akan menjadi perdebatan yang tidak ada artinya.
Lebih baik dihindari saja. Untuk topik Kabinet Kerja, saya bangga dan bersyukur
kalau ada banyak perempuan yang memiliki kompetensi menjadi menteri. {ST}