Adik saya yang gemar menonton
film gratis di internet, pernah merekomendasikan sebuah filem dokumenter
tentang kehidupan di perbatasan negara. Perbatasan yang ini terletak di
Kalimantan, pulau tempat saya dilahirkan itu. Menurut adik saya, film ini
sangat bagus dan menggugah. Dia sampai menangis terharu ketika menontonnya.
Hmmm…kalo bagian menangis terharu ini agak meragukan. Yang ngomong anak
cengeng, sih. Hehehe…
Karena keterbatasan waktu dan
juga internet yang sering putus, saya belum menonton film itu. Saya baru sempat
menontonnya di hari Sabtu siang yang tenang. Saking tenangnya rasanya hari itu
lebih cocok untuk tidur siang.
“Ayo, Kakak nonton film ini,”
kata adik saya sambil menyiapkan film itu di laptopnya.
Saya pun akhirnya menonton film
itu. Judulnya Cerita dari tapal Batas. Filmnya bisa dilihat di tautan http://www.nonton.com/play/film/cerita-dari-tapal-batas/RSFbyNJue1.
Film dokumenter ini dimulai dengan menampilkan upacara bendera di sebuah
sekolah sederhana. Hanya ada seorang guru di sekolah ini, namanya Bu Martini.
Guru itu adalah kepala sekolah, guru pengajar, pembersih sekolah dan juga
penjaga sekolah sekaligus.
Di film ini juga ditunjukkan
perjuangan Bu Guru ini untuk tiba ke tempat tugasnya. Dia harus melewati sungai
berair deras. Tidak hanya airnya yang deras, di sungai ini juga banyak riamnya.
Riam berbatu-batu itu membuat perjalanan jauh lebih sulit lagi. Perahu motor
yang dia tumpangi bisa terdampar di batu-batu itu.
Setelah tiba di hulu sungai,
perjalanan masih dilanjutkan ke desa yang letaknya tak jauh dari perbatasan RI
– Malaysia. Di desa ini, berdiri sebuah sekolah yang terlihat
“compang-camping”. Banyak dinding bolong di sekolah ini. Tak jauh dari situ,
berdiri sebuah perpustakaan yang bangunannya lebih baik. Perpustakaan itu
adalah sumbangan dari suatu lembaga.
Sekolah itu terdiri dari 3
kelas. Ketiga kelas itu semuanya diajar oleh Bu Martini. Ketiga kelas itu
adalah gabungan, masing-masing 2 tingkat menjadi 1. Kelas 1 digabungkan dengan
kelas 2. Kelas 3 digabungkan dengan kelas 4. Kelas 5 digabungkan dengan kelas
6. Bu Martini harus bolak-balik di antara ketiga kelas ini. Materi pelajaran
menjadi susah dituntaskan karena gurunya tidak dapat mengajar dengan baik.
Setelah mengajar, Bu Martini
pulang ke rumah dinas guru yang bentuknya sangat memprihatinkan. Bangunan ini
terlihat sudah tidak layak ditinggali. Bangunannya masih berdiri namun sudah
sangat reyot. Bangunan ini juga tidak dilengkapi dengan listrik. Sangat
menyulitkan untuk guru yang harus selalu belajar.
Bu Martini sangat menyayangkan
mengapa rumah dinasnya itu tidak kunjung diperbaiki. Dia juga menyayangkan
berdirinya perpustakaan yang pasti biayanya mahal. Biaya sebesar itu lebih baik
digunakan untuk memperbaiki rumah dinas guru dan menambah tenaga guru.
Perpustakaan itu menjadi sia-sia karena sebagian anak di situ belum bisa
membaca.
Saya hanya sempat menonton film
dokumenter itu sampai bagian ini, baru beberapa menit setelah dimulai. Saat
itu, saya harus pergi karena ada janji di tempat lain. Bila ada waktu, saya
akan melanjutkan menonton film ini lagi.
Walaupun tidak selesai
menontonnya, film ini sukup membekas di pikiran saya. Saya teringat pada
anak-anak kecil yang hanya punya 1 guru itu. Anak-anak yang kesulitan untuk
belajar membaca karena kurangnya orang yang mengajari. Rasanya sedih juga.
Mereka anak-anak Kalimantan, anak-anak Dayak, sama seperti saya. Saya sudah
bisa membaca sejak umur 5 tahun. Dengan membaca, saya jadi tahu banyak hal.
Sementara anak-anak ini….
Sampai saat saya menulis catatan
ini, saya belum melanjutkan membaca kisah Bu Martini. Selain karena
keterbatasan waktu, juga karena internet super lemot yang saat ini tersambung
dengan perangkat komputer saya. {ST}