Ana

Rabu, 26 November 2014

Menonton Guru di Perbatasan




                Adik saya yang gemar menonton film gratis di internet, pernah merekomendasikan sebuah filem dokumenter tentang kehidupan di perbatasan negara. Perbatasan yang ini terletak di Kalimantan, pulau tempat saya dilahirkan itu. Menurut adik saya, film ini sangat bagus dan menggugah. Dia sampai menangis terharu ketika menontonnya. Hmmm…kalo bagian menangis terharu ini agak meragukan. Yang ngomong anak cengeng, sih. Hehehe…
                Karena keterbatasan waktu dan juga internet yang sering putus, saya belum menonton film itu. Saya baru sempat menontonnya di hari Sabtu siang yang tenang. Saking tenangnya rasanya hari itu lebih cocok untuk tidur siang.
                “Ayo, Kakak nonton film ini,” kata adik saya sambil menyiapkan film itu di laptopnya.
                Saya pun akhirnya menonton film itu. Judulnya Cerita dari tapal Batas. Filmnya bisa dilihat di tautan http://www.nonton.com/play/film/cerita-dari-tapal-batas/RSFbyNJue1. Film dokumenter ini dimulai dengan menampilkan upacara bendera di sebuah sekolah sederhana. Hanya ada seorang guru di sekolah ini, namanya Bu Martini. Guru itu adalah kepala sekolah, guru pengajar, pembersih sekolah dan juga penjaga sekolah sekaligus.
                Di film ini juga ditunjukkan perjuangan Bu Guru ini untuk tiba ke tempat tugasnya. Dia harus melewati sungai berair deras. Tidak hanya airnya yang deras, di sungai ini juga banyak riamnya. Riam berbatu-batu itu membuat perjalanan jauh lebih sulit lagi. Perahu motor yang dia tumpangi bisa terdampar di batu-batu itu.
                Setelah tiba di hulu sungai, perjalanan masih dilanjutkan ke desa yang letaknya tak jauh dari perbatasan RI – Malaysia. Di desa ini, berdiri sebuah sekolah yang terlihat “compang-camping”. Banyak dinding bolong di sekolah ini. Tak jauh dari situ, berdiri sebuah perpustakaan yang bangunannya lebih baik. Perpustakaan itu adalah sumbangan dari suatu lembaga.
                Sekolah itu terdiri dari 3 kelas. Ketiga kelas itu semuanya diajar oleh Bu Martini. Ketiga kelas itu adalah gabungan, masing-masing 2 tingkat menjadi 1. Kelas 1 digabungkan dengan kelas 2. Kelas 3 digabungkan dengan kelas 4. Kelas 5 digabungkan dengan kelas 6. Bu Martini harus bolak-balik di antara ketiga kelas ini. Materi pelajaran menjadi susah dituntaskan karena gurunya tidak dapat mengajar dengan baik.
                Setelah mengajar, Bu Martini pulang ke rumah dinas guru yang bentuknya sangat memprihatinkan. Bangunan ini terlihat sudah tidak layak ditinggali. Bangunannya masih berdiri namun sudah sangat reyot. Bangunan ini juga tidak dilengkapi dengan listrik. Sangat menyulitkan untuk guru yang harus selalu belajar.
                Bu Martini sangat menyayangkan mengapa rumah dinasnya itu tidak kunjung diperbaiki. Dia juga menyayangkan berdirinya perpustakaan yang pasti biayanya mahal. Biaya sebesar itu lebih baik digunakan untuk memperbaiki rumah dinas guru dan menambah tenaga guru. Perpustakaan itu menjadi sia-sia karena sebagian anak di situ belum bisa membaca.
                Saya hanya sempat menonton film dokumenter itu sampai bagian ini, baru beberapa menit setelah dimulai. Saat itu, saya harus pergi karena ada janji di tempat lain. Bila ada waktu, saya akan melanjutkan menonton film ini lagi.
                Walaupun tidak selesai menontonnya, film ini sukup membekas di pikiran saya. Saya teringat pada anak-anak kecil yang hanya punya 1 guru itu. Anak-anak yang kesulitan untuk belajar membaca karena kurangnya orang yang mengajari. Rasanya sedih juga. Mereka anak-anak Kalimantan, anak-anak Dayak, sama seperti saya. Saya sudah bisa membaca sejak umur 5 tahun. Dengan membaca, saya jadi tahu banyak hal. Sementara anak-anak ini….
                Sampai saat saya menulis catatan ini, saya belum melanjutkan membaca kisah Bu Martini. Selain karena keterbatasan waktu, juga karena internet super lemot yang saat ini tersambung dengan perangkat komputer saya. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini