Ana

Selasa, 25 November 2014

Ada Asap di GKI Kwitang




                Hari Minggu tanggal 23 November 2014, saya dijadwalkan bertugas sebagai liturgos di kebaktian ke-3 di GKI Kwitang. Kebaktian di sore hari ini dipimpin oleh Pdt. Agus Mulyono. Saya memakai rok panjang plus kemeja bertangan panjang. Hmmm...sebenarnya rencana awal saya bukan pakai baju itu sih, namun apa daya, baju yang diniatkan untuk dipakai ternyata sudah tak muat lagi.
                Kebaktian sore hari ini diawali dengan lancar. Semua petugas kebaktian sudah ada (biasanya kalo kebaktian sore sering kurang). Semua petugas juga sudah tahu tugasnya masing-masing. Saya yang bertugas sebagai liturgos, juga sudah memastikan diri untuk sipa menjalankan tugas itu.
                Ketika masuk ke dalam ruangan gereja, terdengar bunyi mendenging dari sound system. Bunyi ini makin lama makin mengganggu sampai akhirnya hilang. Tidak diketahui mikrofon mana yang menimbulkan bunyi itu. Biasanya, ada Pak Wahyo yang sigap membetulkan masalah bunyi-bunyian ini. Namun hari itu, tepatnya sore itu, Pak Wahyo tidak kelihatan.
                Jam yang sudah menunjukkan pukul 16.30 dan selesainya pembacaan warta artinya liturgos harus segera bertugas. Saya mengambil tempat di mimbar kecil yang biasanya digunakan untuk liturgos untuk membuka ibadah. Walaupun sudah “pakem”nya, dan sudah dituliskan untuk berdiri, saya tetap mengajak jemaat untuk berdiri karena melihat sebagian dari mereka tidak bergerak untuk berdiri. Saat itu, saya merasa kurang pede, apakah mereka tidak bisa mendengar suara dengan baik?
                Saat kata pembuka, saya tidak merasa mendengar suara saya. Lebih tepatnya saya tidak bisa mendengar suara saya yang sudah melewati proses pengeras suara. Saya hanya bisa mendengar suara yang saya keluarkan dari mulut saya. Lagi-lagi peristiwa ini membuat saya tidak pede. Suara saya, yang kata orang-orang terdengar tenang dan cukup berwibawa itu, kalau tanpa pengeras suara akan terdengar pelan. Kalau saya keraskan, akan menjadi pecah dan agak serak. Saya juga jadi tidak bisa mengukur harus seberapa dekat jarak mulut ke mikrofon.
                Tugas liturgos berakhir setelah menyampaikan berita anugerah yang dilanjutkan dengan salam damai. Setelah itu, mimbar kecil akan diambil alih oleh lektor. Saya pun duduk di tempat petugas. Para petugas lektor segera mendekat ke mimbar kecil. Mereka memang sudah harus berada tak jauh dari mimbar kecil ketika pendeta memimpin doa epiklese.
                Bacaan pertama dibacakan dengan suara jelas dan lantang oleh Angel. Baru belakangan dia bilang suara lantangnya itu karena dia merasa pengeras suaranya rusak. Jadi dia membaca sekeras-kerasnya supaya jemaat yang jauh dari mimbar juga bisa mendengarkan dengan jelas.
                Bacaan pertama dilanjutkan dengan Mazmur 100 yang dinyanyikan. Pada saat Mazmur inilah tercium bau hangus. Bau hangus itu dari kabel yang terbakar di bagian atas kiri gereja (kalau dilihat dari pintu depan). Kebakaran kecil itu menimbulkan asap yang bisa terlihat dari sisi seberang, sisi paduan suara. Asapnya menimbulkan kepanikan ibu-ibu PS Wanita yang memang dijadwalkan bertugas sore itu.
                Bacaan kedua oleh seorang penatua. Bacaan yang diambil dari kitab Efesus ini nyaris tak terdengar dari awalnya. Mulut ibu penatua ini agak jauh dari mikrofon. Saat jeda keheningan itulah kehebohan ibu-ibu di tempat duduk paduan suara makin terdengar. Para penatua yang bertugas langsung berlarian untuk mencari pertolongan. Ada yang meminta bantuan jemaat yang bisa mengerti listrik, ada yang menelpon PLN, ada yang mencari mikrofon wireless, ada yang mencari lampu darurat, dll.
                Saya yang awalnya duduk tenang di kursi petugas, akhirnya bergerak juga. Saya mendekat ke mimbar besar, naik ke tangganya, dan berbisik pada Pak Pendeta, “Pak, ini mesti bagaimana?”
                “Tadi saya minta lampu dan wireless. Kebaktian tetap berjalan,” kata Pdt. Agus dengan tenang.
                Saya langsung berlari ke kantor gereja mencari sound system wireless. Ternyata pengeras suara berbentuk kotak ini telah ditemukan. Dia ditemukan dalam keadaan setengah rongsok, mikrofonnya rusak dan baterainya tidak lengkap. Ada beberapa orang yang berinisiatif mencari baterai. Kalau saya, lebih baik mencari kabel panjang untuk mengambil dari sumber listrik di rumah pastori yang menempel ke gereja.
                Kebaktian dilanjutkan dengan menggunakan sound system kotak itu. Diterangi penerangan dari cahaya lilin, Pdt. Agus melanjutkan membaca Injil dan berkhotbah. Di tengah-tengah khotbah ini, orang-orang dari PLN hadir. Mereka membawa tangga tinggi untuk melihat lokasi kebakaran yang setinggi plafon itu. Mas-mas PLN itu juga turut mendengarkan khotbah.
                Setelah khotbah, tidak seperti biasanya, langsung dilanjutkan dengan doa syafaat. Dalam doa yang dipimpinnya, Pdt. Agus juga memohon pertolongan Tuhan untuk kelancaran ibadah berikutnya. Saat itu, listrik menyala perlahan-lahan. Ketika doa syafaat diamini, gedung gereja sudah dalam keadaan terang benderang. Saya rasanya sampai terharu, doa kami secepat itu dikabulkan.
                Hal lain yang patut dikagumi adalah kesetiaan jemaat untuk tetap duduk tenang di dalam gereja. Hanya orang-orang tertentu yang mau memberikan tindakan yang bergerak. Sebagian besar jemaat tetap berada di dalam gedung gereja walaupun lampu dan AC mati. Gelap dan gerah bukanlah sesuatu yang mudah untuk dinikmati. Saya sendiri pun sangat kegerahan, apalagi dengan pakaian rok panjang dan kemeja berlengan panjang.
                Bersama ratusan jemaat yang hadir saat itu, saya juga mendoakan semoga masalah teknis itu bisa segera diselesaikan dan diperbaiki. Rasanya sedih juga kalau bangunan bersejarah ini sampai terbakar. Semoga gedung gereja ini tetap lestari sesuai dengan statusnya yang cagar budaya. Semoga Gereja yang sering bernaung di gedung gereja ini juga tetap lestari di tengah perubahan zaman. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini