Hari Minggu tanggal 23 November
2014, saya dijadwalkan bertugas sebagai liturgos di kebaktian ke-3 di GKI
Kwitang. Kebaktian di sore hari ini dipimpin oleh Pdt. Agus Mulyono. Saya
memakai rok panjang plus kemeja bertangan panjang. Hmmm...sebenarnya rencana
awal saya bukan pakai baju itu sih, namun apa daya, baju yang diniatkan untuk
dipakai ternyata sudah tak muat lagi.
Kebaktian sore hari ini diawali
dengan lancar. Semua petugas kebaktian sudah ada (biasanya kalo kebaktian sore
sering kurang). Semua petugas juga sudah tahu tugasnya masing-masing. Saya yang
bertugas sebagai liturgos, juga sudah memastikan diri untuk sipa menjalankan
tugas itu.
Ketika masuk ke dalam ruangan
gereja, terdengar bunyi mendenging dari sound
system. Bunyi ini makin lama makin mengganggu sampai akhirnya hilang. Tidak
diketahui mikrofon mana yang menimbulkan bunyi itu. Biasanya, ada Pak Wahyo
yang sigap membetulkan masalah bunyi-bunyian ini. Namun hari itu, tepatnya sore
itu, Pak Wahyo tidak kelihatan.
Jam yang sudah menunjukkan pukul
16.30 dan selesainya pembacaan warta artinya liturgos harus segera bertugas.
Saya mengambil tempat di mimbar kecil yang biasanya digunakan untuk liturgos
untuk membuka ibadah. Walaupun sudah “pakem”nya, dan sudah dituliskan untuk
berdiri, saya tetap mengajak jemaat untuk berdiri karena melihat sebagian dari
mereka tidak bergerak untuk berdiri. Saat itu, saya merasa kurang pede, apakah
mereka tidak bisa mendengar suara dengan baik?
Saat kata pembuka, saya tidak
merasa mendengar suara saya. Lebih tepatnya saya tidak bisa mendengar suara
saya yang sudah melewati proses pengeras suara. Saya hanya bisa mendengar suara
yang saya keluarkan dari mulut saya. Lagi-lagi peristiwa ini membuat saya tidak
pede. Suara saya, yang kata orang-orang terdengar tenang dan cukup berwibawa
itu, kalau tanpa pengeras suara akan terdengar pelan. Kalau saya keraskan, akan
menjadi pecah dan agak serak. Saya juga jadi tidak bisa mengukur harus seberapa
dekat jarak mulut ke mikrofon.
Tugas liturgos berakhir setelah
menyampaikan berita anugerah yang dilanjutkan dengan salam damai. Setelah itu,
mimbar kecil akan diambil alih oleh lektor. Saya pun duduk di tempat petugas.
Para petugas lektor segera mendekat ke mimbar kecil. Mereka memang sudah harus
berada tak jauh dari mimbar kecil ketika pendeta memimpin doa epiklese.
Bacaan pertama dibacakan dengan
suara jelas dan lantang oleh Angel. Baru belakangan dia bilang suara lantangnya
itu karena dia merasa pengeras suaranya rusak. Jadi dia membaca
sekeras-kerasnya supaya jemaat yang jauh dari mimbar juga bisa mendengarkan
dengan jelas.
Bacaan pertama dilanjutkan
dengan Mazmur 100 yang dinyanyikan. Pada saat Mazmur inilah tercium bau hangus.
Bau hangus itu dari kabel yang terbakar di bagian atas kiri gereja (kalau
dilihat dari pintu depan). Kebakaran kecil itu menimbulkan asap yang bisa
terlihat dari sisi seberang, sisi paduan suara. Asapnya menimbulkan kepanikan
ibu-ibu PS Wanita yang memang dijadwalkan bertugas sore itu.
Bacaan kedua oleh seorang
penatua. Bacaan yang diambil dari kitab Efesus ini nyaris tak terdengar dari
awalnya. Mulut ibu penatua ini agak jauh dari mikrofon. Saat jeda keheningan
itulah kehebohan ibu-ibu di tempat duduk paduan suara makin terdengar. Para
penatua yang bertugas langsung berlarian untuk mencari pertolongan. Ada yang
meminta bantuan jemaat yang bisa mengerti listrik, ada yang menelpon PLN, ada
yang mencari mikrofon wireless, ada yang mencari lampu darurat, dll.
Saya yang awalnya duduk tenang
di kursi petugas, akhirnya bergerak juga. Saya mendekat ke mimbar besar, naik
ke tangganya, dan berbisik pada Pak Pendeta, “Pak, ini mesti bagaimana?”
“Tadi saya minta lampu dan wireless. Kebaktian tetap berjalan,”
kata Pdt. Agus dengan tenang.
Saya langsung berlari ke kantor
gereja mencari sound system wireless.
Ternyata pengeras suara berbentuk kotak ini telah ditemukan. Dia ditemukan
dalam keadaan setengah rongsok, mikrofonnya rusak dan baterainya tidak lengkap.
Ada beberapa orang yang berinisiatif mencari baterai. Kalau saya, lebih baik
mencari kabel panjang untuk mengambil dari sumber listrik di rumah pastori yang
menempel ke gereja.
Kebaktian dilanjutkan dengan
menggunakan sound system kotak itu.
Diterangi penerangan dari cahaya lilin, Pdt. Agus melanjutkan membaca Injil dan
berkhotbah. Di tengah-tengah khotbah ini, orang-orang dari PLN hadir. Mereka
membawa tangga tinggi untuk melihat lokasi kebakaran yang setinggi plafon itu.
Mas-mas PLN itu juga turut mendengarkan khotbah.
Setelah khotbah, tidak seperti
biasanya, langsung dilanjutkan dengan doa syafaat. Dalam doa yang dipimpinnya,
Pdt. Agus juga memohon pertolongan Tuhan untuk kelancaran ibadah berikutnya.
Saat itu, listrik menyala perlahan-lahan. Ketika doa syafaat diamini, gedung
gereja sudah dalam keadaan terang benderang. Saya rasanya sampai terharu, doa
kami secepat itu dikabulkan.
Hal lain yang patut dikagumi
adalah kesetiaan jemaat untuk tetap duduk tenang di dalam gereja. Hanya
orang-orang tertentu yang mau memberikan tindakan yang bergerak. Sebagian besar
jemaat tetap berada di dalam gedung gereja walaupun lampu dan AC mati. Gelap
dan gerah bukanlah sesuatu yang mudah untuk dinikmati. Saya sendiri pun sangat
kegerahan, apalagi dengan pakaian rok panjang dan kemeja berlengan panjang.
Bersama ratusan jemaat yang
hadir saat itu, saya juga mendoakan semoga masalah teknis itu bisa segera
diselesaikan dan diperbaiki. Rasanya sedih juga kalau bangunan bersejarah ini
sampai terbakar. Semoga gedung gereja ini tetap lestari sesuai dengan statusnya
yang cagar budaya. Semoga Gereja yang sering bernaung di gedung gereja ini juga
tetap lestari di tengah perubahan zaman. {ST}