Ketika Pak Jokowi dan Pak JK
diumumkan sebagai pemenang pemilu 2014, banyak orang yang menduga susunan
kabinet yang dijanjikan lebih banyak berisi orang profesional ini. Dari banyak
orang yang diduga akan mengisi posisi menteri ini, ada seorang dari Kalimantan,
Orang Dayak, yang sama sukunya dengan saya.
Dugaan itu bertambah besar
karena orang ini bernaung di partai politik yang sama dengan presiden baru.
Orang inipun sudah menunjukkan kompetensinya dengan menjadi gubernur selama 2
periode di daerah asal kami.
“Kapan lagi Orang Dayak jadi
menteri?” itu adalah bagian dari komentar kalau bertemu dengan komunitas sesama
Dayak.
Komentar itu menimbulkan sedikit
kebanggan bagi sebagian orang. Suku Dayak, yang selama ini lebih sering dikenal
sebagai suku dengan citra negatif dan primitif, akhirnya ada yang dipercaya
menjadi menteri. Gosip/isu/rumor ini berkembang menjadi harapan bagi banyak
orang. Harapan yang melambung tinggi itu terletak di bawah keputusan kepala
negara, di mana menentukan menteri menjadi hak prerogatifnya.
Sebagai orang Dayak, tentunya
saya juga akan bangga dan besyukur bila ada orang sesuku saya dipercaya menjadi
menteri. Namun, saya tidak menaruh harapan besar pada orang ini. Menaruh
harapan berdasarkan suku itu artinya membeda-bedakan SARA, sesuatu yang saya
hindari. Sebisa mungkin, kalau untuk kebaikan, membedakan orang berdasarkan
SARA itu ditiadakan. Apalagi kabinet ini kabarnya akan disusun berdasarkan
profesionalitas.
Ketika kabinet diumumkan, tidak
ada 1 orang pun yang berasal dari tanah kelahiran saya yang menjadi menteri.
Tidak ada orang Kalimantan sama sekali. Banyak orang yang kecewa atas kenyataan
ini karena sudah menduga kalau jagoannya, akan menjadi menteri. Posisi menteri
yang diduga akan diduduki oleh sang jagoan, diduduki oleh politisi senior dari
partai yang sama.
Dengan kenyataan ini, muncul
lagi gosip kalau bapak ini tersangkut masalah dengan KPK. Muncul gosip kalau
dia sebenarnya ada di daftar merah atau kuning dari KPK. Muncul juga
orang-orang yang kecewa dengan menteri pilihan presiden. Kekecewaan itu bahkan
ada yang diungkapkan dengan keinginan untuk membentuk negara baru dengan wilayah
di Kalimantan.
Kekecewaan rekan-rekan sesama
orang Kalimantan itu diungkapkan lewat berbagai media sosial. Ungkapan yang
biasanya berupa status panjang bingit ini ditanggapi oleh beberapa orang yang
pro dan kontra. Saya, sih, memilih tidak menanggapi. Supaya saya tidak termasuk
dalam putaran pemikiran yang sia-sia. Yeah, menurut saya pemikiran itu adalah
sia-sia. Lebih saya memusatkan pikiran saya kepada hal lain yang lebih berguna.
Bila ternyata kepala negara
tidak memilih Orang Dayak sebagai menterinya, itu justru jadi cerminan sendiri.
Sesuatu yang harus dievaluasi. Itu artinya tidak ada orang Dayak yang
dinyatakan layak menjadi menteri, paling tidak di mata presiden dan wakil
presiden yang sekarang ini. Dengan tidak menjadi menteri, bukan berarti
pembangunan di Kalimantan diabaikan. Toh, masih ada pemerintah daerah.
Pemerintah daerah yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan kinerjanya.
Saya tidak kecewa bila tidak ada
1 pun orang Kalimantan yang dipilih sebagai menteri. Kalaupun kecewa, saya
tidak akan mengungkapkannya dengan mengusulkan memebentuk negara baru. Saya
cukup menuliskan kekecewaan saya di blog ini, kemudian melanjutkan kehidupan
saya. Kalaupun berniat menjadi menteri, saya akan menjadi menteri di NKRI. {ST}