Beberapa saat setelah ada kabar
akan tibanya kereta kuda yang ditumpangi Pak Jokowi dan Pak JK, orang
beramai-ramai mendekat ke pagar istana negara. Orang-orang itu
melambai-lambaikan tangan sambil menyerukan nama presiden barunya.
Beberapa kelompok orang yang
awalnya berdiri terpisah, mendadak menjadi kerumunan besar di depan istana,
tepatnya di depan pagar istana. Saya juga termasuk di dalamnya. Kekrumunan itu
bergerak mendesak ek depan sampai bagian depan menyentuh pagar. Saya, yang ada
di bagian depan, juga tergencet sampai sesak napas. Selain susah bernapas
karena tergencet, juga karena kurangnya udara segar di tempat saya berdiri itu.
Orang-orang tanpa sungkan mengangkat tangannya. Bau keringat dan bau entah apa
bercampur menjadi bau yang memabukkan.
Saya yang sudah mulai merasa
sesak napas, segera keluar dari kerumunan itu. “Permisi, permisi, permisi,”
adalah kata-kata yang berulang kali saya ucapkan ketika mencoba menembus lautan
orang itu. Berulang kali menginjak kaki orang dan juga terinjak-injak harus
saya jalani demi meraih udara segar. Perjuangan itu baru berakhir ketika sampai
di seberang jalan. Seberang ini maksudnya adalah median jalan di depan Istana
Merdeka.
Dari tempat saya berdiri, saya
bisa melihat paspampres yang bertugas di pos kecil tak jauh dari pintu istana.
Paspampres berpakaian merah itu menarik perhatian banyak orang termasuk saya.
Banyak sekali orang yang bergantian memotretnya atau menjadikannya latar
pemotretan. Saya juga berniat demikian. Saya mendekat sampai nama yang tertera
di dadanya terbaca.
Paspampres berbaju merah itu
bernama Hasibuan, bagian depannya disingkat. Saya langsung tersenyum
melihatnya. Beberapa Hasibuan yang saya kenal, orangnya tidak ada yang pendiam.
Sedangkan Hasibuan yang 1 ini, beda bingit. Dia menatap ke depan hampir tanpa
reaksi. Diam mematung. Perbedaan yang sanagt menyolok dengan para lelaki
Hasibuan lainnya itu membuat saya ingin memotretnya. Saya berniat mengeluarkan
HP saya, namun ternyata HP itu sudah tidak ada di tempatnya semula. Saya
menempatkannya di tas kecil yang saya letakkan di bagian depan tubuh saya. Tas
kecil berwarna kuning itu menyisakan kartu Flazz dan selembar uang. HP saya
hilang.
Walaupun bete dan jengkel, saya
tidak dapat berbuat banyak di keramaian ini. Daripada ketinggalan momen
bersejarah, saya tetap mengamati keadaan dan sesekali memotret. Ketika bertemu
dengan rombongan polisi, saya melaporkan tentang HP saya yang hilang. Polisi
yang saat itu sedang bertugas menjadi pagar hidup hanya bisa berkata kalau
mereka tidak bisa banyak membantu. Kalau mau lapor dan dibuatkan berita acara,
nanti akan ada polisi yang akan mengantarkan saya ke kantor polisi yang
terdekat. Sekali lagi saya berpikir, kalau lapor ke kantor polisi, apakah HP
saya akan kembali? Belum tentu, deh. Menemukan sebuah HP jadul tentunya bukan
prioritas pada saat pelantikan presiden seperti ini.
Saya segera mengabarkan beberapa
orang yang saya kenal tentnag kehilangan ini. Sekalian untuk mencegah
disalahgunakan juga. Setelah itu, sorenya saya melapor ke operator teleponnya.
Untung saja galeri Indosat, operator telepon saya ada tak jauh dari Istana
Merdeka. Saya mendapatkan chip baru dengan nomor telepon yang sama. Nomor
telepon ini segera dapat digunakan kembali hari itu juga. {ST}