Susi Pujiastuti, pemilik Susi
Air dipilih menjadi menteri kelautan dan perikanan. Pemilihannya mengundang
kontroversi. Pro dan kontra di mana-mana. Yang pasti, sih, media sosial
diramaikan oleh komentar tentang ibu yang dulunya pernah jadi bakul ikan ini.
Sangat banyak orang yang kontra
tentang pengangkatan ibu yang sering berpenampilan nyentrik ini. Bu Susi
bukanlah orang berpendidikan tinggi. Dia hanya tamatan SMP. Karena
keterbatasannya, dia tidak menyelesaikan SMA-nya. Jauh berbeda dengan
kebanyakan menteri yang bersekolah sampai jenjang S3.
Pendidikan formalnya membuatnya
jadi bahan celaan di mana-mana, termasuk juga di komunitas orang-orang
Kalimantan yang kecewa karena tidak ada orang Kalimantan yang dipilih menjadi
menteri. Celaan ini tak sengaja terbaca oleh saya. Daripada ikut komentar dan
menambah keruh suasana, mendingan saya ngeblog sajah.
Saya termasuk orang yang
mengagumi Bu Susi. Pendidikan formalnya yang hanya SMP justru membuat saya
makin kagum. Saya kagum bukan karena dia menjadi menteri, tapi karena dia
adalah pengusaha yang sukses.
Bu Susi, si bakul ikan, memiliki
usaha yang enggak jauh-jauh dari keahliannya, jualan ikan. Demi mengantarkan
ikannya tetap segar sampai di tujuan, dia membeli pesawat. Dari sinilah usaha
maskapai penerbangannya dimulai. Usaha yang awalnya adalah usaha sampingan ini
menjadi besar. Maskapai yang memiliki banyak pesawat kecil ini dapat mencapai
jauh ke pelosok Indonesia.
Tentang tato dan kebiasaan
merokoknya, sama sekali bukan masalah buat saya. Itu bagian dari hak asasinya
untuk merajah tubuhnya. Pilihan bebas pula bagi dia untuk memilih gaya hidup
merokok. Selama asap rokoknya tidak mengganggu saya, saya tidak keberatan.
Tidak adil rasanya menghakimi seseorang hanya karena dia merokok.
Tentang suaminya yang WNA, itu
juga bukan masalah yang harus dibesar-besarkan. Kalau dia WNA yang tinggal di
negeri ini dan tidak memiliki potensi yang mengancam keselamatan bangsa, ya enggak
papa. Hak dia juga untuk menikah dengan pria bule. Pria bule yang WNA belum
tentu ancaman bagi negara kita. Banyak juga WNI yang menjadi ancaman bagi
negerinya sendiri. Jadi teroris di negeri sendiri.
Baru beberapa hari dilantik
memang belum saatnya untuk banyak berkomentar. Hasil kerja menteri baru ini
juga belum kelihatan. Saya hanya agak gemas dengan banyaknya tukang komentar
yang beredar di sekitar saya. Tukang komentar yang belum tentu lebihbaik dari
orang yang dikomentari. {ST}