Ketika melintasi jalanan
Jakarta, kerap kali saya bertemu dengan manusia gerobak. Manusia gerobak adalah
julukan saya untuk orang-orang yang hidup dan tinggal di gerobak. Gerobak itu
menjadi tempat tinggal mereka. Ya, mereka. Mereka dalam artian jamak, beberapa
orang. Umumnya mereka adalah keluarga dengan beberapa orang anak kecil.
Manusia gerobak, dalam pengamatan
saya, sering mencari nafkah menjadi pemulung. Mereka memungut barang-barang
dari tempat sampah. Umumnya mereka berpenampilan kumuh, pakaian kotor dan
kadang-kadang compang-camping. Kulit mereka kusam, demikian juga rambutnya.
Yang menarik perhatian saya
adalah adanya anak-anak kecil dalam gerobak ini. Mereka terpaksa tinggal di
gerobak karena orang tuanya tidak memiliki rumah tinggal yang layak. Gerobak
inilah yang menjadi rumah bagi mereka. Dari beberapa keluarga gerobak yang saya
amati, umumnya anaknya tidak hanya 1. Ada beberapa anak-anak kecil dalam 1
gerobak. Bisa ditebak kalau mereka bersaudara kandung dengan jarak kelahiran
yang tidak terlalu jauh. Cukup mengherankan juga bagaimana cara “memproduksi”
anak-anak itu di tempat tinggal yang hanya terdiri dari 1 ruangan bernama
gerobak itu.
Ulah anak-anak gerobak itu
kadang-kadang membuat saya tertawa tetapi juga sekaligus sedih. Pernah saya
melihat seorang anak kecil penghuni gerobak berlari di trotoar tanpa
menggunakan celana. Dia menuju badan jalan dan kemudian...pipis. Anak lelaki
kecil itu menciptakan air mancur kecil di tepi jalan Jakarta yang super macet
itu. Wajahnya biasa saja, tapi justru itulah yang membuatnya lucu. Saya tertawa
seketika melihat air mancur kecil itu, tapi itu tidak lama. Setelah itu
mendadak merasa prihatin dan sedih.
Anak kecil itu menganggap badan
jalan adalah toiletnya. Dia tidak pernah tahu bahwa ada tempat khusus untuk
membuang air. Kemungkinan dia juga tidak tahu kalau alat kelamin tidak
seharusnya dipertontonkan di depan umum. Dengan menghadap badan jalan, ribuan
orang pengguna jalan bisa melihat organ pipisnya itu. Untung anaknya masih
kecil, kalau sudah dewasa apa enggak membuat keonaran tuh berkelakuan macam
gitu?
Saya prihatin dengan kehidupan
keras anak-anak ini. Rumahnya, yang bisa berjalan-jalan di jalanan itu akan
membuat mereka menjadi anak jalanan. Kebersihan sepertinya bukanlah prioritas
utama bagi orang tua mereka. Pendidikan dan sekolah apalagi, entah ada dalam
prioritas ke berapa. Mau tumbuh jadi apa mereka dengan keadaan seperti itu?
Semoga saja, dari sebagian anak-anak ini ada yang tumbuh menjadi orang yang
berguna dan menjadi berkat, walaupun dengan perjuangan yang berat. {ST}