Di
pertengahan bulan Juli 2014 ini, dikabarkan kalau Gunung Sinabung meletus lagi.
Gunung yang pernah “tertidur” selama ratusan tahun ini tampaknya mengeluarkan
awan dan lava pijar yang tentu saja panas. Lahar panasnya menghanguskan daerah
sekitarnya menjadi abu.
Meletusnya gunung ini di pertengahan
tahun ini tidak menjadi perhatian banyak orang. Apalagi bertepatan dengan
saat-saat pengumuman hasil pemilu. Makin tenggelam lagi lah kabar tentnag
gunung ini. Perhatian seluruh negeri terpusat pada calon presiden terpilih yang
dipilih langsung oleh rakyat.
Gunung yang terletak di Tanah Karo
ini sebelumnya sudah meletus ratusan bahkan ribuan kali sejak akhir tahun 2013.
Letusannya tidak lagi mengejutkan banyak orang. Letusannya tidak lagi menimbulkan
gerakan simpati seluruh negeri untuk berbela rasa memberikan sumbangan bagi
sesamanya di sekitar tempat ini.
Agak sedikit berbeda dengan saya
yang sebelumnya pernah berkunjung ke sana. Saya berkunjung di awal tahun 2014
ini, di saat gunung ini masih sering-seringnya “batuk”. Saat itu, gunung ini
bahkan bisa meletus 30 kali dalam sehari. Ribuan orang terpaksa mengungsi
karena tempat tinggalnya ada dalam jarak ayng tidak aman. Melihat keadaan
pengungsi di sana, berkecukupan tapi juga memprihatinkan. Tinggal di tenda
bersama-sama tanpa ada peluang untuk mendapat penghasilan sering membuat
masalah baru.
Ketika Gunung Sinabung kembali
meletus di bulan Juli 2014, saya merasa cukup prihatin. Ternyata orang-orang
yang tahun lalu mengungsi, sampai saat ini masih ada yang dalam pengungsiannya.
Sudah setengah tahun lebih hidup dalam pengungsian bukanlah suatu hal yang
mudah. Lebih tidak mudah lagi ketika orang-orang yang dulu terlihat baik hati
dan mengulurkan bantuan sudah tidak ada lagi. {ST}