Orang
tua kami merencanakan untuk nyoblos di Palangkaraya. Kota ini memang menjadi
tempat tinggal kedua bagi keluarga kami. Papah, yang lebih suka tinggal di sana,
memang merencanakan untuk memilih di sana. Toh, yang dipilih sama saja orangnya
di mana pun tempat pemilihannya.
Untuk dapat memilih di sana, maka
harus ada formulir A5 yang dikeluarkan dari PPS asal. Kami sekeluarga tercatat
sebagai warga Cempaka Putih, Jakarta. Maka dari PPS Cempaka Putihlah seharusnya
formulir itu berasal.
Adik saya mendapat mandat untuk
mengurus formulir pindah coblos bernama A5 ini. Sesuai dengan informasi yang
kami dapatkan, maka adik saya pergi ke PPS Cempaka Putih yang berlokasi di
kantor kelurahan Cempaka Putih Timur itu. Ternyata, setibanya di sana, formulir
itu tidak dapat langsung dikeluarkan. Pihak PPS meminta surat pengantar dari RT
dan RW. Untuk syarat yang ini, baru kami ketahui saat itu, karena di syarat
yang disosialisasikan, tidak ada syarat untuk surat pengantar dari RT.
Surat dari RT dengan cepat dibuat.
Surat dari Pak Abbas, ketua RT kami itu, ditulis tangan dengan menggunakan kop
surat RT tempat tinggal kami. Surat keterangan dari RW, konon kabarnya tidak
diperlukan. Dengan berbekal fotokopi KTP, kartu keluarga dan surat-surat
keterangan, adik saya kembali menuju ke PPS.
Ibu yang bertugas di PPS dekat rumah
mengatakan kalau dia tetap bertugas di hari Sabtu dan Minggu, apalagi hari
Sabtu tanggal 28 Juni 2014 adalah hari terakhir pengurusan formulir A5. Adik
saya pergi ke kelurahan pagi itu. Dia ke sana jam 9 pagi. Sang ibu petugas PPS
belum ada. Demikian pula halnya ketika adik saya kembali lagi di jam 11.
Sesungguhnya saya tidak percaya
kalau ibu itu ada di tempat tugasnya pada hari Sabtu dan Minggu. Untuk urusan
di kantor ini, di hari Jumat aja orangnya banyak yang ngabur entah ke mana,
apalagi hari Sabtu dan Minggu, kala hampir semua orang menikmati liburan. Saya
tidak terlalu heran ketika adik saya pulang dengan kesal sambil membawa kabar
kalau ibu petugas PPS itu tidak ada di tempat tugasnya.
Adik saya yang putus asa itu
akhirnya pasrah. Dia tidak mau lagi datang hari Minggu dan sudah berniat mengabarkan
ke orang tua kami kalau formulir A5 tidak berhasil kami dapatkan. Saya
buru-buru mencegah penyampaian berita itu. Ada baiknya untuk mencoba lagi di
hari kerja. Maksudnya hari kerja normal seperti di kantor-kantor lain. Jam kantor
“normal” yang terdekat adalah hari Senin, 30 Juni 2014.
Hari Senin besoknya, sayalah yang
datang ke kantor kelurahan itu. Saya membawa semua dokumen dengan lebih dulu
membuat foto kopinya. Untuk urusan seperti ini, membuat arsip sangat penting. Karena
kalau sampai dokumen kita hilang, mereka tidak akan mau bertanggung jawab.
Ketika berhadapan dengan ibu petugas
PPS yang berwajah masam itu, saya menjelasakan duduk perkara mengapa saya baru membawa
dokumennya hari itu, terlambat sehari dari batas waktu yang ditetapkan. Ibu itu
malah marah-marah sendiri…atau lebih tepatnya memarahi saya.
“Siapa yang bilang saya gak ada hari
Sabtu? Blablablabla…,” ibu itu mengomel dan agak susah dihentikan.
“Saya tidak mau lagi membahas hal
itu. Sekarang tolong cek dokumen ini, kalau sudah lengkap, tolong urusannya
diselesaikan hari ini juga,” kata saya dengan galak.
Saya tidak mau membuang-buang waktu
untuk berdebat menentukan siapa yang salah tentang kehadiran ibu itu di hari
Sabtu yang lalu. Ibu yang agak cerewet itu akhirnya memerika dokumen yang saya
bawa sambil tetap ngedumel melihat tulisan tangan di surat pengantar RT kami.
Formulir A5, yang saya pikir akan
berbentuk dokumen tercetak itu ternyata ditulis tangan oleh petugas PPS. Sama
kaya surat pengantar RT kami. Kok, bisa-bisanya dia mengomeli surat Pak RT ya?
Formulir itu ditulis dan distempel dengan stempel bertinta hijau terang.
Setelah itu, selesailah urusan saya.
Ketika ibu petugas PPS itu sedang
menulis di formulir A5 ortu kami, datanglah seorang bapak yang namanya tidak
ada di daftar pemilih wilayah kami. Itu menjadi urusan yang panjang karena dia
kan menggunakan hak pilihnya di kota lain. Orang ini marah-marah kepada ibu
petugas PPS. Dia sempat menghentikan untuk memberikan serangan balasan,
marah-marah juga ke bapak itu. Saya yang terjebak di tengah pertikaian, memilih
melihat-lihat HP aja.
Saya langsung beranjak pergi sambil
mengucapkan terima kasih ketika urusan formulir A5 selesai. Ibu itu masih
berdebat dengan bapak yang namanya menghilang dari daftar pemilih itu. Saya
tidak memberikan “uang pelicin” untuk urusan ini. Walaupun diminta, saya juga
tidak akan memberikannya. Bangsa kita harus belajar hidup bersih tanpa koruspi,
dan itu harus dimulai dengan urusan seperti ini.
Formulir
ini segera saya kirimkan ke orang tua kami di Palangkaraya dengan menggunakan one night service. Formulir itu tiba
dengan selamat kesokan harinya dan siap berkunjung ke PPS berikutnya. {ST}