Beberapa hari yang lalu ketika
membuka Facebook, saya kaget ketika melihat foto pertama yang ada di lini masa
saya. Foto itu adalah foto kepala seorang anak yang berdarah-darah. Anak itu
sudah jelas tidak lagi bernyawa. Badannya sudah terpisah dari kepalanya. Anak
itu sudah meninggal.
Ada beberapa kalimat yang menyertai
foto ini. Kalimat itu adalah kecaman atas biadabnya orang yang membuat anak ini
mati dan kehilangan kepalanya. Saya tidak melanjutkan membaca tulisannya.
Kengerian dan juga kemarahan mendatangi saya. Menurut saya, menampilkan jenazah
orang, apalagi anak-anak, dengan wajah berdarah-darah seperti itu sungguh tidak etis.
Teman saya yang menampilkan gambar
menyeramkan yang tidak etis ini, ternyata menyebarkan (share) dari yang sudah diposting oleh orang lain. Alangkah kagetnya
saya karena orang itu adalah istri seorang ustad yang cukup terkenal. Perempuan
ini juga memiliki anak-anak. Huft! Mengagetkan. Masa, sih, dia enggak tahu
etika?
Belakangan saya baru berpikir
mungkin maksudnya baik. Kebanyakan orang bermaksud baik, kok. Mungkin maksudnya
untuk memberikan dukungan dan penghiburan kepada orang yang ditinggalkan. Mungkin
maksudnya supaya orang yang melakukan kebiadaban itu tidak mengulanginya kepada
anak lain. Mungkin maksudnya supaya banyak orang mendukung penghentian serangan
yang mengakibatkan wafatnya anak itu. Mungkin…
Mungkin keprihatinan saya dan dia
sebenarnya sama saja, tapi beda cara mengungkapkannya. Sebagai bentuk
pernghormatan orang yang sudah meninggal, saya sangat jarang posting foto
jenazah, apalagi yang berdarah-darah. Rasanya, kok, tega banget, ya… {ST}