Seorang kenalan saya pernah mengajak
untuk mengikuti acara deklarasi dukungan kepada salah satu kubu capres.
Dukungan itu mengatasnamakan suku yang juga menjadi identitas saya. Saat itu
saya tidak bersedia untuk ikut. Saya tidak sreg dengan kegiatan berkedok
kebudayaan yang ditunggangi kepentingan lain. Apalagi kepentingan itu adalah
untuk meraih kekuasaan.
Kali lain, ada lagi yang mengajak
untuk ikut acara deklarasi untuk mendukung capres dari kubu satunya lagi. Kali
ini pun saya tidak bersedia untuk ikut, dengan alasan yang sama juga. Yang ini
masih ditambah dengan pemikiran kalau 1 golongan/suku yang sama diklaim
mendukung 2 capres yang berbeda, apakah nantinya tidak akan membuat masalah
baru?
“Jadi orang jangan apatis gitu, dong.
Sekarang banyak orang muda yang apatis, nih!” kata si pengajak yang saya tolak
ajakannya itu.
Wajar saja kalau orang itu
menganggap saya apatis. Saya tidak bersedia mendukung capres yang didukungnya,
padahal dia juga tahu kalau saya tidak bersedia ikut kegiatan yang mendukung
capres yang satunya lagi. Kalau menurut pemikiran kebanyakan orang di negeri
ini, bila tidak memilih kandidat nomor 1, pasti memilih kandidat nomor 2.
Pilihan itu biasanya diikuti dengan dukungan berupa update status Facebook dan
kirim-kirim broadcast message tentang
kelebihan calon yang didukung, atau aib calon lainnya.
Saya
hampir tidak pernah memberikan dukungan dengan cara seperti ini. Bagi saya,
kewajiban kita sebagai warga negara adalah memberikan suara kita untuk memilih
pemimpin negara ini. Menjadi juru kampanye bukanlah kewajiban sama sekali. Dan
saya, sudah tahu siapa yang akan saya pilih di pemilu tanggal 9 Juli nanti.
Pilihan kita seharusnya rahasia. http://www.anatoemon.com/2014/07/pilihan-kita-seharusnya-rahasia.html
Saya
juga keberatan bila dukungan mengatasanamakan suku atau golongan tertentu.
Lebih keberatan lagi kalau mengatasnamakan kesenian dan kebudayaan. Seakan-akan
merekalah yang membuat kesenian dan kebudayaan bertambah maju. Kesenian dan
kebudayaan sudah ada dan akan tetap ada siapapun yang jadi presiden.
Bagaimana saya bisa memutuskan untuk
mendukung salah satu capres kalau tidak pernah datang ke deklarasi kampanyenya?
Yeah…itu, kan, hal yang mudah sekali di jaman sekarang ini. Saya tinggal
membaca visi misinya, nonton debatnya, lihat rekam jejaknya dan membaca media
yang pemberitaannya netral. Enggak perlu ikut berdesakan di depan panggung
kampanye dan ikut dangdutan.
Harus diakui, ditolak memang enggak
enak. Mungkin itulah sebabnya saya “dimarahi” karena menolak ajakan dan
dianggap apatis. Pertanyaan penting untuk orang-orang yang menganggap saya
apatis adalah… “Apa tih loe?”{ST}