Internet dan media sosial membuat
suatu berita dapat tersiar dengan mudah. Hanya dengan sentuhan jari tangan,
banyak kabar yang bisa tersiar. Tidak perlu lagi berteriak-teriak menyiarkan di
gunung, bukit, lembah dan di mana jua.
Selain kabar baik, internet juga menyiarkan
kabar tidak baik. Kabar-kabar seperti inilah yang justru menarik bagi banyak orang.
Ketertarikan itu ditunjukkan lewat update
status di media sosial. Umumnya orang juga menambahkan pendapatnya
bersamaan dengan share kabarnya.
Pendapatnya ini yang kadang-kadang
membuat saya tertawa-tawa tanpa berani berkomentar banyak. Cukup banyak orang,
kenalan-kenalan saya yang memberikan komentar yang menghakimi. Hanya dengan
sebuah artikel, atau bahkan hanya dengan sebaris judul, sudah merasa berhak
untuk menghakimi.
Saya dan beberapa orang yang
berkomentar menghakimi itu menganut kepercayaan yang sama, di mana salah satu
ajarannya adalah tidak menghakimi sesama. Namun, kenyataannya berbeda.
Menghakimi sudah menjadi budaya. Budaya ini makin parah di era internet dan
kebebasan informasi ini.
Beberapa hari terakhir ini saya
cukup gerah membaca timeline di media
sosial. Saat ada kejadian tentang pelecehan seksual pada anak TK di sebuah
sekolah internasional, seluruh jagat facebook mendadak mengutuk si pelaku. Saat
ada seorang perempuan muda yang berpendapat berbeda tentang perempuan hamil yang
naik KRL, orang pun beramai-ramai mengutuk komentar tak simpatinya.
Mungkin
dengan menuliskan pendapat ini di blog pribadi saya bisa juga digolongkan
dengan menghakimi. Menghakimi tanpa berani memberikan komentar di bawah status-status
di media sosial. Entahlah… {ST}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar