Rabu, 30 April 2014
Berbagi di Kamar yang Tidak Terlalu Besar
Ketika Mamah harus dirawat inap,
kami anak-anaknyalah yang menjaganya selama di RS. Penjagaan ini karena Mamah
memang perlu dibantu untuk beberapa hal pribadi yang belum tentu bisa dilakukan
oleh perawat. Selain itu, kami juga kepikiran kalau harus meninggalkan Mamah
tanpa penjagaan dari keluarga.
Kali ini, Mamah harus berbagi kamar
dengan 3 orang pasien. Dengan Mamah, artinya ada 4 orang pasien yang ada di
kamar yang tidak terlalu besar itu. Selain itu, di kamar ini juga para penunggu
pasien harus berbagi ruangan. Kami harus berbagi udara yang dihirup,
penerangan, pendingin ruangan, pintu dan kamar mandi.
Berbagi dengan orang-orang yang
sebelumnya tidak kita kenal ada kalanya tidak mudah, terutama kalau beda selera
dan kepentingan. Di hari pertama Mamah dirawat inap, sudah mulai terjadi
ketidakcocokan sola penerangan. Kala itu, hanya ada 3 pasien di kamar itu. Dua
orang pasien menderita vertigo, seorang lagi entah sakit apa. Dua orang pasien
penderita vertigo ini sanagt memerlukan suasana teduh dengan cahaya lampu
redup. Sedangkan seorang ibu yang lain itu tidak bisa tidur kalau ruangan
gelap. Katanya dia takut kegelapan.
Kalau hanya soal selera, mungkin
bisa saling menyesuaikan. Beda halnya dengan soal kesehatan. Lampu yang menyala
terang akan membuat pasien-pasien vertigo sakit kepala dan bisa jadi memicu
kambuhnya vertigo. Saya tentu saja tidak ingin hal ini terjadi. Saya
menyampaikannya kepada suster penjaga.
Suster penjaga dalam keaadan
terjepit juga. Tidak tahu harus melakukan apa sampai akhirnya agak mengabaikan.
Akhirnya mereka menghidupkan lampu ruangan karena si ibu yang takut gelap jauh
lebih cerewet ketimbang para pasien vertigo yang terkulai lemas itu. Saya
mengusulkan kepada ibu itu untuk menghidupkan lampu yang ada di atas tempat
tidurnya saja. Lampu itu adalah lampu baca yang khusus dibuat untuk menerangi
area di sekitar tempat tidur saja. Ibu itu lantas menjawabnya dengan omelan
kalau lampunya sudah rusak dari ketika dia pertama kali datang.
Saya punmengusulkan solusi lain
kepada perawat jaga. Saya mengusulkan supaya bohlam lampu di atas tempat tidur
Mamah sekalian dilepaskan saja. Dengan demikian, walaupun saklar dihidupkan dan
lampu lain menyala, area di atas temapt tidur Mamah akan tetap redup. Awalnya
suster penjaga tidak mau menerima usul saya ini dan menjawab dengan agak ketus.
Rupanya para suster itu tidak dapat memikirkan solusi lain lagi. Akhirnya
datang juga seorang mekanik ke kamar kami untuk melepaskan bohlam lampu di atas
tempat tidur Mamah.
Kamar yang tidak terlalu besar ini juga
membuat para penghuninya harus sering bertatap muka tanpa disengaja. Entah itu
ketika di area yang digunakan bersama ataupun di area yang menjadi hak
masing-masing pasien. Tatapan mata ini kadang-kadang membuat orang saling salah
tingkah. Kalau saya sih yang cuek-cuek aja.
Penggunaan toilet juga punya
kisahnya sendiri. Toilet yang cuma 1 ini digunakan untuk semua pasien dan
penjaganya. Kalau toilet itu sedang digunakan, kita harus menunggu giliran. Ada
kalanya penjaga pasien mandi di kamar mandi datu-satunya ini. Bayangkan saja
bagaimana rasanya kalau sedang kebelet pipis, bagaikan seabad nunggunya. Saya
biasanya lebih memilih mencari toilet lain daripada tersiksa. {ST}
Selasa, 29 April 2014
Mamah Opname
Hari
Kamis tanggal 24 April 2014 seharusnya saya bekerja di kantor sampai sore
menjelang. Namun, hanya beberapa jam di pagi hari saja yang saya gunakan untuk
bekerja. Selebihnya, saya berurusan dengan rumah sakit tempat Mamah dirawat
inap.
Belum lagi menjelang makan siang
ketika HP saya berkali-kali berbunyi. Ada telepon dari HP Mamah. Ada 3 misscall, telepon yang tidak diangkat.
Ketika saya menelpon kembali, nada sibuk yang terdengar. Begitu pula ketika
saya lakukan berkali-kali, tetap nada sibuk yang terdengar. Nada sibuk yang
terus-terusan itu terus terang saja membuat saya khawatir.
Tak lama kemudian, adik bungsu saya
menelpon. Dia mengabarkan kalau Mamah sedang sakit di rumah. Dia muntah-muntah
dan terserang vertigo, penyakit yang dulu juga pernah menghampirinya. Adik saya
itu mengetahuinya dari Slamet, yang menelpon menggunakan HP Mamah. Pasti
sebelumnya dia lebih dulu menelpon saya. Nada sibuk yang terdengar mungkin
karena dia kemudian menelpon adik saya.
Adik-adik Mamah sudah tiba di rumah.
Mereka turut membantu untuk penanganan Mamah. Melihat keadaannya, Mamah harus
segera dibawa ke RS. Ternyata membawa ke RS bukanlah hal yang mudah. Adik-adik
Mamah yang sudah berada di rumah kami tidak berani untuk membawa Mamah dengan
mobil. Digerakkan sedikit saja Mamah sudah muntah-muntah hebat, apalagi harus
dibawa naik mobil ke RS.
Adik-adik Mamah menyarankan supaya
Mamah dibawa ke RS dengan ambulans. Saya dan adik-adik setuju saja. Ketika
ditanyakan rumah sakit mana yang dituju, barulah saya mulai galau. Sebagai anak
tertua yang ada di Jakarta, wajar saja kalau saya adalah orang yang akan
ditanyakan tentang hal ini. Ada beberapa pertimbangan di keluarga kami yang
membuat kami tidak otomatis membawa Mamah ke RS yang sudah menjadi langganan
keluarga kami.
RS yang sudah bertahun-tahun menjadi
langganan keluarga kami itu saat ini sudah tidak lagi menerima layanan asuransi
yang kami miliki. Kami harus membayar penuh untuk semua perawatan kesehatan
yang akan Mamah terima. Karena itu, saya dan adik-adik berusaha mencari ambulans dari RS rujukan yang dapat
menjemput Mamah ke rumah. Namun, RS rujukan itu tidak dapat menjanjikan dapat
menjemput Mamah.
Dalam kegalauan itu, kakak tertua
kami turut campur untuk memberikan keputusan. Lebih baik Mamah dibawa ke RS
tempat biasanya dia berobat, untuk dirawat oleh dokter-dokter yang mengetahui
riwayat kesehatannya. Saya pun menyetujuinya, yang penting Mamah dapat segera
tertolong.
Ambulans dari RS langganan yang
letaknya tidak terlalu jauh dari rumah kami itu datang dalam waktu yang tidak
terlalu lama. Lebih cepat dibandingkan waktu tempuh saya dari kantor ke rumah.
Mamah dibawa ke UGD naik ambulans didampingi oleh salah seorang adik saya. Saya
sendiri baru tiba bermenit-menit kemudian.
Karena sudah tahu Mamah akan dirawat
inap, kami meminta Mbak Pon, asisten rumah tangga kami untuk menyiapkan pakaian
untuk rawat inap. Saya yang akan membawa pakaian itu ke RS. Mbak Pon juga
mengingatkan saya untuk makan siang suapaya tidak sakit. Mbak Pon memang cukup
mengenal saya yang kalau sakit pasti sebabnya karena lupa makan.
Mamah akhirnya harus dirawat selama
5 hari 4 malam di RS. Selama perawatan itu, 3 orang anak perempuannya
bergantian berjaga. Kami bahkan membuat jadwal shift jaga supaya selalu ada
yang menemani Mamah. Cukup banyak cerita menarik saat menjaga Mamah di RS kali
ini. Sebagian akan saya bagikan juga di blog ini. {ST}
Labels:
Dunia Catatan Harian,
Dunia Kerabat,
Rumah sakit
Senin, 28 April 2014
Pasar Tingkat Atas yang Sepi Pengunjung
Di beberapa tempat di negeri ini
dibangunlah bangunan pasar yang bertingkat. Bangunan-bangunan ini tentunya dibuat
dengan maksud yang baik. Dibuat bertingkat bisa memuat lebih banyak dagangan
dan pedagangnya. Volume penjualan menjadi lebih besar. Orang yang mendapatkan
rejeki pun bisa lebih banyak.
Namun, maksud dan tujuan ini ada
kalanya tidak tercapai. Para pedagang ogah untuk membuka kiosnya di lantai
atas. Apalagi kalau gedung ini tidak menggunakan lift dan eskalator. Ogahnya
para pedagang ini sebenarnya bisa dimaklumi. Itu terkait dengan perilaku
kebanyak pembeli di Indonesia yang juga ogah untuk bersusah-susah ke lantai
atas.
Bangsa kita sudah berabad-abad
berbelanja di sebuah tempat lapang yang luas. Di tempat ini, apa saja yang
dicari bisa ditemukan. Kalaupun ada penggolongan dan pengelompokan, tempatnya
tetap terpisah secara horisontal, melebar. Untuk pengelompokan secaa vertikal,
bisa saja dilakukan dengan mengubahnya menjadi kebiasaan baru.
Mengubah kebiasaan tidak pernah
mudah, termasuk juga mengubah perilaku untuk naik tangga di pasar yang kumuh
dan gerah. Tak heran, tidak banyak pembeli yang mau bersusah-susah untuk naik
tangga ke lantai 2, 3, apalagi 4. Kios-kios yang berani buka di lantai atas
kebanyakan akan kehilangan pembeli, sumber rejeki mereka. Banyak pedagang yang
kemudian turun ke lantai dasar yang sudah pasti dilihat oleh pengunjung.
Sepertinya hal itulah yang
menyebabkan kebanyakan pasar yang bertingkat, lantai atasnya sepi. Beberapa
pasar yang bernasib seperti ini antara lain Pasar Asemka, Pasar Senen, Pasar
Tebet. Entah ada beberapa pasar lagi yang belum pernah saya kunjungi ataupun luput
dari pengamatan saya. {ST}
Minggu, 27 April 2014
Blok G Tanah Abang
Selama bertahun-tahun, daerah Tanah
Abang menjadi daerah pusat kemacetan. Pedagang yang berjualan di badan jalan
menjadi salah satu sebab kemacetan dan kesemrawutan itu. Pembeli yang memadati
daerah ini membuat kendaraan sangat susah bergerak. Kepadatan makin bertambah
karena lalu lintas yang tersendat.
Gubernur DKI Jakarta dan wakilnya,
Jokowi dan Ahok, akhirnya menemukan jalan untuk mengurangi kemacetan dan
kesemrawutan ini. Pedagang pinggir jalan ini dipindahkan ke sebuah blok di
daerah situ juga, Blok G. Blok ini dilengkapi dengan kios-kios, ATM, tempat
makan dan aneka fasilitas lainnya. Blok G diharapkan dapat memberikan
kenyamanan menjual dan membeli kepada para pedagang yang semula menempati badan jalan itu.
Perjuangan untuk memindahkan para
pedagang ini tidak mudah. Rejeki, yang menjadi daya tarik mereka untuk
berdagang, banyak yang berkurang ketika mereka pindah lokasi jualan. Hal itu
masih ditambah dengan barang dagangan mereka yang nyaris seragam. Kemampuan
mereka untuk bersaing sangat diuji.
Ketika renovasi dan pembangunan Blok
G selesai di bulan April 2014 ini, dukungannya makin ditambah. Untuk menarik
pengunjung ke tempat ini, diadakan banyak acara yang berhadiah. Eskalator dan
jembatan penghubung dengan blok lainnya pun dibangun untuk lebih memudahkan
pengunjung.
Walaupun demikian, konon kabarnya
Blok G ini masih sepi pengunjung. Bukan hanya pengunjungnya, pedagangnya pun
sepi. Ada beberapa pedagang yang enggan untuk pindah ke sini dan menempati kios
yang disediakan. Pemandangan kios-kios yang kosong bisa saja mempengaruhi
pembeli untuk datang ke tempat ini. Full
display adalah salah satu jurus jualan yang ampuh. {ST}
Langganan:
Postingan (Atom)
Popular Posts
-
Di rumah kami ada burung tekukur yang dipelihara dalam sangkar di depan rumah. Burung tekukur ini pernah dikira sudah ...
-
Suatu hari ada bau busuk di rumah kami. Saya agak terganggu dengan bau ini. Baunya menyengat namun tidak terlalu tajam....
-
Bantargebang sudah beberapa tahun ini menjadi tempat pembuangan sampah akhir bagi warga yang tinggal di sekitarnya. W...
-
Kacamata kuda adalah istilah yang sering digunakan sebagai kalimat kiasan. Orang yang memakai kacamata kuda artinya ...
-
Jamur ini menarik perhatian saya karena bentuknya yang keren. Sehari sebelumnya, jamur itu bentuknya belum semekar it...
-
Butuh bujang alias rumput belulang sangat akrab dengan masa kecil saya di Kalimantan. Bagian buah dari tumbuhan ini be...
-
Konon kabarnya minat baca di Indonesia super rendah. Kabar ini saya dengar dari radio dalam perjalanan pulang dari kant...
-
Sejak Juli 2019, media massa dan media sosial diributkan oleh polusi di Jakarta yang bertambah parah. Polusi di Jakar...
-
Seluruh rakyat Indonesia pasti tahu bunyi sila kelima dari Pancasila yaitu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indone...
-
Hampir setiap pagi saya melihat jamur tumbuh di pot ini. Jamur itu tumbuh di pot yang menjadi rumah bagi sebatang po...

Isi blog ini
-
▼
2014
(1584)
-
▼
April
(118)
- Teater Koma: Demonstran #12
- Berbagi di Kamar yang Tidak Terlalu Besar
- Daun Cantik #486
- Teater Koma: Demonstran #11
- Mamah Opname
- Daun Cantik #485
- Jalanan Jakarta #149
- Teater Koma: Demonstran #10
- Pasar Tingkat Atas yang Sepi Pengunjung
- Daun Cantik #484
- Jalanan Jakarta #148
- Teater Koma: Demonstran #9
- Blok G Tanah Abang
- Daun Cantik #483
- Jalanan Jakarta #147
- Teater Koma: Demonstran #8
- Bus Wisata Jakarta
- Daun Cantik #482
- Jalanan Jakarta #146
- Teater Koma: Demonstran #7
- Daun Cantik #481
- Status Path yang Tersebar Luas
- Jalanan Jakarta #145
- Teater Koma: Demonstran #6
- Meributkan Capres
- Jalanan Jakarta #144
- Teater Koma: Demonstran #5
- Kebebasan Berpendapat di Media Sosial
- Daun Cantik #480
- Daun Cantik #479
- Jalanan Jakarta #143
- Teater Koma: Demonstran #4
- Menghakimi di Media Sosial
- Daun Cantik #478
- Jalanan Jakarta #142
- Teater Koma: Demonstran #3
- Belanja Daun Palem ke Pasar Rawabelong
- Daun Cantik #477
- Jalanan Jakarta #141
- Teater Koma: Demonstran #2
- PMJ Terakhir
- Daun Cantik #476
- Jalanan Jakarta #140
- Teater Koma: Demonstran #1
- Pejabat Daerah yang Pesimis
- Daun Cantik #475
- Jalanan Jakarta #139
- Museum Karo Lingga #20
- Menikmati Debu Perteguhan
- Daun Cantik #474
- Jalanan Jakarta #138
- Museum Karo Lingga #19
- Museum Karo Lingga
- Daun Cantik #473
- Jalanan Jakarta #137
- Museum Karo Lingga #18
- Bentor Kabanjahe
- Daun Cantik #472
- Jalanan Jakarta #136
- Museum Karo Lingga #17
- Desa Lingga
- Daun Cantik #471
- Berbagi Akhir Minggu Bersama Joyful Choir
- Jalanan Jakarta #135
- Museum Karo Lingga #16
- Diskon untuk Pemilih Berjari Ungu
- Daun Cantik #470
- Jalanan Jakarta #134
- Museum Karo Lingga #15
- Memotret di TPS
- Daun Cantik #469
- Jalanan Jakarta #133
- Museum Karo Lingga #14
- TPS Sejuk dengan Bangku Sekolah
- Daun Cantik #468
- Jalanan Jakarta #132
- Museum Karo Lingga #13
- Tidak Kenal Calegnya
- Daun Cantik #467
- Jalanan Jakarta #131
- Museum Karo Lingga #12
- Pemilu Legislatif 9 April 2014
- Daun Cantik #466
- Jalanan Jakarta #130
- Museum Karo Lingga #11
- Tahapan Pemilu 2014
- Daun Cantik #465
- Jalanan Jakarta #129
- Museum Karo Lingga #10
- Pelajar Berbondong-Bondong ke Kampanye Terbuka
- Daun Cantik #464
- Jalanan Jakarta #128
- Museum Karo Lingga #9
- Kampanye Naik Kuda Seperti Pangeran Diponegoro
- Daun Cantik #463
- Jalanan Jakarta #127
- Museum Karo Lingga #8
- Lebih Baik Dia Mewakili Kaumnya, Bukan Berpura-Pura
- Daun Cantik #462
- Jalanan Jakarta #126
-
▼
April
(118)
