Indonesia baru saja dikejutkan oleh
pembunuhan Ade Sara, seorang pemudi yang ditemukan di pinggir jalan tol. Yang
makin membuat heboh adalah ttertangkapnya pelaku yang ternyata adalah mantan
pacar korban. Lebih heboh lagi karena ibunya Ade Sara, kemudian memaafkan
pembunuh anaknya. Saya juga sempat membuat sebuah catatan tentang ini.
Sesekali, saya juga masih memantau
kasus ini. Selain karena hampir semua orang membicarakannya, saya juga mau
memantau proses hukum yang terjadi. Walaupun kelakuan si pembunuh telah
dimaafkan oleh keluarganya, tetap saja itu adalah perkara kriminal. Perkara
kriminal yang harus diadili.
Sebuah berita menjadi perhatian
saya. Si pembunuh yang sudah tertangkap dan ditahan di rutan itu menjadi berita
karena mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari sesama tahanan.
Tergelitik dengan frase “tidak menyenangkan”, saya pun membaca artikel itu.
Ternyata si H, sang tersangka itu di-bully
oleh sesama tahanan. Dia mendapatkan kekerasan dan juga dipalak. Pengacaranya
yang menyampaikan kepada media tentang berita ini.
Ada bagian dari diri saya yang mau
berkata, “Syukurin, lu! Jahat, sih!” Seakan saya bisa memaklumi perbuatan yang
dilakukan oleh tahanan lain teman sekamar si H itu. Pembunuh berdarah dingin
yang agak pengecut itu rupanya tidak bisa menghadapi cobaan. Dia “ngadu” ke
pengacaranya tentang penderitaannya. Wajar saja, kan, kalau di penjara itu
tidak menyenangkan. Cemen, ah! Beraninya cuma sama perempuan yang diikat.
Tapi kalau mengingat kembali catatan
kekaguman saya pada ibunya Ade, kok jadi agak tersentil sedikit. Ibu itu juga
mengatakan kalau menghakimi itu bukanlah hak kita. Suatu pandangan yang saya
tahu persis dari mana asalnya. Sepertinya kami membaca kitab yang sama.
Paragraf sebelumnya yang saya ketik itu adalah paragraf penghakiman. Sesuatu
yang seharusnya tidak saya lakukan. Tidak menghakimi memang selalu susah
dilakukan, ya… {ST}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar