Ada
beberapa agama dan kepercayaan yang memisahkan tempat perempuan dan laki-laki
di rumah ibadahnya. Agama yang saya anut, tidak demikian. Perempuan dan
laki-laki boleh duduk bersama untuk mengikuti ibadah. Bahkan, ada juga yang
menyarankan, sebaiknya dalam ibadah datangnya sekeluarga dan duduknya
berkumpul.
Saya tidak terlalu mempermasalahkan
pemisahan itu. Setiap agama dan kepercayaan punya cara, tradisi dan aturannya
sendiri. Selama tidak mengganggu saya, saya tidak ikut mengurusi. Kadang
memperhatikan pun tidak.
Ketika berada di tanah Karo, saya
masuk ke sebuah gereja di hari Minggu pagi. Tentu saja niatnya mau ikut dalam
ibadah pagi itu. Saya masuk ke GBKP (Gereja Batak Karo Protestan). Saya ke situ
bersama kenalan kami yang memang berasal dari Tanah Karo. Dari awal, dia sudah
mengingatkan supaya jangan kaget. Nantinya tempat duduk perempuan dan laki-laki
akan dipisahkan.
Ketika masuk ke gereja yang sedang direnovasi itu, kami
langsung mengambil tempat terpisah. Saya dan adik saya ke tempat perempuan.
Teman saya itu ke tempat laki-laki. Kami mengambil tempat duduk yang berdekatan
supaya bisa berbicara. Maksudnya bukan mengobrol, tapi untuk menanyakan apa
yang sebaiknya dilakukan dan apa yang
tidak dilakukan.
Seperti juga yang terjadi di seluruh
bumi saat ini, pengunjung gereja ini kebanyakan perempuan. Bisa terlihat jelas
di gereja ini. Sepertinya itu tidak hanya di hari itu. Pengelola gereja
menyediakan tempat untuk perempuan 2 kali lebih banyak dibandingkan dengan
tempat untuk laki-laki. Dari 3 baris tempat duduk, 2 baris untuk perempuan, 1
baris untuk laki-laki.
Kejutan di GBKP tidak hanya tempat
duduknya, tapi juga bahasa yang digunakan. Hampir selama kebaktian, yang
digunakan adalah bahasa Karo. Bahasa yang tidak saya mengerti sama sekali. Saya
hanya bisa mengikuti bagian yang
mengucapkan kata “amin”. Selebihnya, saya hanya berkomat-kamit seakan-akan
menyanyi, atau jelalatan melihat-lihat ke kiri dan kanan. {ST}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar