Ana

Senin, 31 Maret 2014

Jalanan Jakarta #121





Museum Karo Lingga #2





Beringin Putih di Pojokan GKI Kwitang




            Di halaman depan GKI Kwitang, tepatnya di sebelah kanan bila kita berdiri di pinggir jalan, ada sebuah pohon beringin putih. Pohon ini letaknya tidak terlalu mencolok. Selain karena lalu lintas orang jarang yang melewatinya, juga karena tidak banyak orang yang memperhatikan pohon-pohon di sekitar gereja ini.
            Sebagai orang yang suka dengan daun-daunan, pohon yang termasuk langka ini menarik perhatian saya. Lebih menarik lagi karena pohon ini sering cukup berjasa untuk meneduhkan si Mocil. Saya memang sukup sering memarkirkan mobil di bawahnya.
            Parkiran di bawah pohon beringin putih ini juga adalah tempat istirahat yang cukup tenang. Ketika saya mengantuk tetapi harus mengerjakan tanggung jawab di gereja, saya sering mengambil waktu sejenak untuk beristirahat dan tidur di mobil. Tempat yang paling tenang adalah di parkiran bawah pohon beringin putih ini. Sebenarnya, di tempat ini juga terdengar bunyi berisik dari kendaraan di jalan. Tapi memang itulah tempat paling tenang di halaman gereja itu. Di tempat ini, percakapan di spo satpam tidak terdengar. Kadang-kadang, saya merasa sangat terganggu bila ada percakapan bersuara keras di sekitar pos satpam.
            Bagi beberapa budaya, beringin putih memiliki makna tersendiri. Di budaya Jawa, beringin putih dianggap sebagai simbol pengayom sejati, yang mampu mengayomi diri sendiri, keluarga dan masyarakat sekitarnya. Orang yang mengayomi bermakna bisa menjadi tempat berteduh bagi orang lain yang mengalami kesusahan. Kalau dipikir-pikir, maknanya cocok juga, ya, dengan gereja.
            Gereja juga seharusnya menjadi tempat berteduh bagi orang yang susah. Gereja adalah tempat orang yang letih lesu dan berbeban berat mendapatkan kelegaan. Gereja adalah pengayom bagi masyarakat sekitarnya. {ST}

Daun Cantik #457





Minggu, 30 Maret 2014

Jalanan Jakarta #120





Museum Karo Lingga #1




Ulekan Bulat




            Bumbu yang dihaluskan menjadi bagian dari aneka masakan di dunia, apalagi masakan Indonesia. Yang jelas, masakan Indonesia yang saya kenal dan pernah dibuat di dapur rumah kami hampir semuanya dihaluskan. Menghaluskannya tidak sembarangan, harus menggunakan ulekan.
            Konon katanya, bumbu yang dihaluskan dengan menggunakan ulekan + cobek akan lebih enak dibandingkan dengan yang dihaluskan dengan blender. Saya sendiri belum sempat untuk membandingkannya. Yang jelas, begitulah yang terjadi di rumah kami. Karena itu, sebanyak apa pun masakan di rumah kami, cobek dan ulekan selalu menunjukkan perannya.

            Bukannya sombong, saya termasuk orang yang cukup jago menggunakan cobek. Keahlian ini saya dapatkan karena cukup terlatih mengulek. Setiap kali ada acara masak bersama, saya sering mendapatkan tugas mengulek. Entah itu mengulek sambel atau bumbu. Untuk tugas lainnya, saya kurang mahir. Sreng sreng di depan kompor hanya untuk orang-orang yang ahli saja. Sedangkan saya, dari dulu nggak naik-naik pangkat. Kalau nggak jadi tukang kupas bumbu, jadi tukang ulek. Sekali lagi, jago itu bukan karena sombong, lo.
             Ketika berada di sebuah rumah di Kabanjahe, saya berniat membantu mengulek serai yang akan kami makan bersama ikan goreng. Makanan ini sebenarnya adalah makanan khas Dayak yang sengaja mau kami perkenalkan kepada tuan rumah yang sudah berbaik hati menampung kami. Saya, yang merasa jago mengulek, langsung saja mengambil posisi mengulek.
            Cobek yang kami gunakan bentuknya biasa saja. Yang luar biasa adalah ulekannya. Ulekannya bentuknya bulat. Jadi kalau mau mengulek, tangan harus menggenggam bulatan itu. Aneh rasanya. Keahlian saya mengulek mendadak menurun dengan menggunakan peralatan ini. Tangan saya berkali-kali pegal sampai saya harus berganti tangan beberapa kali untuk menghaluskan serai itu. {ST}

Daun Cantik #456





Sabtu, 29 Maret 2014

Jalanan Jakarta #119





Kota Kabanjahe #42





Memberantas Buta Internet




            Sebuah perusahaan operator HP sedang melakukan kampanye untuk memberantas buta internet. Tentu saja kampanye ini juga membawa merknya. Diharapkan kampanye ini meningkatkan banyaknya pengguna internet yang menggunakan jasa operator ini.
            Internet saat ini memang sudah menjadi kebutuhan banyak orang. Banyak bisnis yang bertumbuh dengan menggunakan internet, termasuk juga media online. Generasi sekarang ini hampir semuanya sudah tahu apa itu internet. Selain sebagai sumber informasi, internet juga menjadi sumber hiburan.
            Selain banyak gunanya, internet juga punya banyak dampak negatif. Dampak negatif ini sering diberitakan di berbagai media. Tak heran, banyak orang-orang yang belum mengenal internet menganggap kalau makhluk ini hanya membawa dampak buruk. Tak jarang saya temui orang tua yang mengomel karena anaknya gemar menelusuri internet.
            Saya juga pernah dikejutkan oleh seorang pendeta yang mengatakan kalau internet itu seperti setan yang coba menggoda anak-anak Tuhan. Berhubung saya sedang duduk manis di kursi jemaat, saya tidak mungkin protes kepada orang yang sedang berteriak di mimbar itu. Saya tidak sependapat dengannya. Saya juga memandang tidak baik bila seorang pemuka agama menghakimi tanpa tahu  secara imbang tentang faktanya. Menurut saya, internet itu sama seperti air atau api. Bila kita tahu penggunaannya dan bisa mengelolanya, maka akan menjadi berguna bagi manusia. Bila tidak bisa mengelola dan mengendalikan, maka akan menjadi bencana.
            Ketika tahu ada kampanye memberantas buta internet, tidak perlu waktu laam bagi saya untuk mendukungnya. Saya mengadakan kampanye sendiri tanpa melibatkan si operator telepon yang memberikan ide ini ke saya. Bila ada kesempatan, saya akan memberikan informasi tentang internet bagi orang-orang yang belum tahu. Walaupun masih banyak hal yang belum saya mengerti, ternyata masih banyak orang lain yang pengertiannya tentang internet tidak lebih banyak daripada saya. {ST}

Daun Cantik #455





Jumat, 28 Maret 2014

Mengomentari Komentar Rasis




            Saya cukup sering membuka situs berita. Selain untuk tahu berita terkini, kadang-kadang juga untuk mencari ide tulisan. Setelah membaca berita, biasanya saya langsung beralih ke bacaan lainnya. Saya sangat jarang membaca komentar yang ada di bawah berita. Selain karena kurang peduli pada pendapat orang lain, juga karena biasanya komentar itu enggak ada gunanya.
            Bila beritanya terkait soal agama atau suku, komentar yang mengiringinya juga tak jauh dari itu. Komentar-komentar itu kadang-kadang saling menjelekkan orang yang beragama atau bersuku lain. Menurut saya, orang-orang yang seperti ini pikirannya sangat sempit dan penuh kebencian. Betul-betul komentar yang tidak berguna.
            Suatu kali, saya pernah terpancing untuk mengomentari komentar yang sangat rasis. Komentar yang sangat merendahkan orang lain yang bukan 1 suku dengan komentator. Saya sudah mengetik komentar yang saya yang mencela komentar ini. Saya mengomentari betapa orang ini kurang dapat menggunakan otaknya dengan baik. Keberagaman dunia hanya dipandang sebagai seragam.
            Ketika di saat-saat terakhir mau mengirimkan komentar itu, saya membatalkannya. Komentar itu tidak pernah terkirim di situs berita itu. Tidak hanya membatalkan mengirim, saya juga menghapusnya. Saat itu, tiba-tiba timbul pikiran tidak ada gunanya menanggapi orang yang seperti itu. Ada juga pikiran, apakah saya seorang pengecut? Saya selalu membuat tulisan dan komentar dengan nama asli saya. Apakah nantinya kebencian manusia rasis itu akan menghampiri saya dengan melacak nama asli saya? Entahlah.
            Saat saya membuat tulisan ini, saya menjadi makin yakin, kalau menanggapi orang yang tidak perlu ditanggapi itu rasanya pilihan yang tepat. Terserah dia saja untuk menggunakan waktu dan pikirannya untuk membenci orang yang berbeda dengan dia. Saya tidak perlu memberikan reaksi apa pun. Iya, kan? {ST}

Popular Posts

Isi blog ini