Pada
rapat lingkungan di akhir tahun 2013, saya ditunjuk menjadi ketua panitia
perayaan natal lingkungan. Acara ini memang rutin kami adakan untuk mempererat
persekutuan kami. Seperti juga tahun sebelumnya, kami mengadakan cara ini di
bulan Januari.
Perayaan
di bulan Januari, yang artinya setelah Natal tanggal 25 Desember, kami pilih
lebih karena alasan praktis. Himbauan untuk merayakan Natal setelah minggu
adven yang ke-4 dan juga banyaknya jemaat yang sibuk atau tidak di Jakarta di
akhir tahun menjelang tahun baru menjadi pertimbangan utama kami. Bila kami
memaksakan mengadakan acaranya di akhir Desember, kemungkinan yang bisa hadir
tidak banyak. Demikian pula halnya dengan yang mengurusinya.
Saya
ditunjuk menjadi ketua hanya sebulan sebelum perayaan dilaksanakan. Tepatnya
pada minggu pertama bulan Desember 2013. Dengan waktu persiapan hanya sebulan,
menurut saya sangat kurang waktunya. Apalagi selama ini saya selalu
mempersiapkan segala hal dengan baik. Satu bulan rasanya agak mustahil.
Berbekal
keyakinan kalau Tuhan akan memampukan orang yang dipilihnya untuk melakukan
tanggung jawab, saya menerima tanggung jawab ini. Teman-teman saya juga
berjanji akan mendukung sesuai dengan kemampuan mereka. Saya mencoba
merencanakan segala sesuatu sambil terus berkoordinasi.
Karena
kesibukan di akhir bulan Desember 2013, panitia baru bisa saya kumpulkan di
awal bulan Januari 2014. Kami berkumpul hanya 2 kali sebelum pelaksanaan.
Koordinasi selanjutnya kami lakukan dengan telpon, SMS, BBM, email, dll.
Pertemuan sangat jarang kami lakukan.
Musim Hujan
Bulan Januari adalah musim hujan.
Selama beberapa tahun ini, musim hujan tidak juga berarti musim banjir.
Genangan air adalah pemandangan biasa di bulan Januari. Hujan dan genangan air
itu pulalah yang menjadi bagian dari acara kami.
Graha GBI, tempat kami emngadakan
acara, terletak di Jl. Ahmad Yani. Jalan yang sering disebut bypass ini, beberapa ruasnya memang
sudah langganan tergenang air. Apesnya, genangan air juga terjadi di depan
gedung tempat acara kami berlangsung.
Sebagai ketua panitia, ini cukup
membuat saya sakit perut kepikiran. Genangan air di kompleks rumah kami membuat
listrik terpaksa harus dipadamkan. Bagaimana kalau listrik di gedung
dipadamkan? Bagaimana kalau tidak ada genset? Bagaimana kalau orang-orang yang
pegawai gedung itu tidak bisa datang untuk bekerja karena banjir? Wah,
macam-macamlah yang membuat saya kepikiran.
Saya meminta adik saya, yang juga
sebagai seksi perlengkapan, untuk melakukan survey tempat ke sana. Dia
menggunakan sepeda untuk mencapai tempat itu. Sebenarnya tempat itu cukup dekat
dari rumah kami, namun karena genangan ari di mana-mana, perjalanan jadi makin
susah. Genjotan sepeda terasa makin berat.
Terhalang Genangan
Dari pagi hari, atau tepatnya dini
hari, saya sudah mendapatkan kabar kalau beberapa orang jemaat tidak akan
datang karena terhalang oleh genangan air. Ada yang jalan rumahnya yang
tergenang, ada juga yang sampai bagian dalam rumahnya pun tergenang. Saya menerima
berita ini dengan mencoba untuk tenang sambil berdoa.
Tidak hanya jemaat yang terhalang
genangan air, para pengisi acara dan panitia juga mengalaminya. Saya sudah
sedikit panik ketika MC mengabarkan kalau rumahnya terkena banjir. Pendeta yang
seharusnya berkhotbah mengatakan mungkin terlambat karena harus berjuang
menembus banjir. Daerah tempat tinggalnya dan tempat acara memang cukup jauh
danharus melintasi daeah banjir.
Berita terhalang genangan yang
membuat saya paling panik dan sakit perut adalah tentnag konsumsi. Konsumsi
untuk acara ini disediakan oleh seorang jemaat yang berbaik hati menyumbangkan
makanan. Dia memesan makanan yang katanya enak di daerah Kelapa Gading. Saat itu,
genangan di daerah Kelapa Gading jauh lebih parah bila dibandingkan dengan
Cempaka Putih. Catering itu menghubungi si ibu penyumbang konsumsi, mengatakan
kalau mereka membatalkan semua kiriman karena terhalang oleh genangan air.
Wah, bayangkan saja bagaimana
paniknya jadi ketua panitia. Makanan adalah salah satu hal terpenting bila
mengadakan acara di siang hari. Saya berusaha untuk tetap tenang dan memikirkan
solusinya. Saya juga menunda memberi tahu ibu-ibu seksi konsumsi tentang
masalah ini. Ibu-ibu itu pasti lebih panik dari saya.
Berserah
Akhirnya saya hanya bisa berserah
dan berdoa. Sudah selayaknya sebagai ketua panitia saya bersyukur atas yang
terjadi kemudian. MC datang tepat waktu. Pendeta bisa sampai dengan selamat
walaupun terlambat. Keterlambatan ini juga dialami oleh banyak orang yang
berusaha datang. Saya dan teman-teman panitia akhirnya memang memutuskan untuk
menunda dimulainya acara.
Yang sangat membuat lega adalah
konsumsi. Ibu yang menyumbangkan konsumsi itu akhirnya bisa menemukan rumah
makan yang bisa menyediakan 100 porsi makanan untuk siang hari itu. Nasi kotak
yang dipesan mendadak itu sudah tiba di tempat acara sebelum jam makan siang. Menurut
semua orang yang memakannya, makanan ini enak. Kami juga harus bersyukur karena
pesanan makanan ini bisa kami kurangi menjadi 100. Awalnya jumlah porsi yang
kami pesan adalah 150.
Syukur dan Terima Kasih
Pada akhirnya, yang bisa saya
sampaikan hanyalah rasa syukur dan terima kasih atas berlangsungnya acara ini.
Dengan persiapan yang minim dan keadaan alam yang tidak seperti biasanya, acara
bisa berlangsung dengan lancar. Ungkapan rasa syukur dan terima kasih itulah
yang mewarnai kata sambutan saya di penghujung acara. {ST}