Selasa, 31 Desember 2013
Pohon Cabe yang Bangkit dari Kematian
Pohon cabe ini ditanam di dalam
pot yang diletakkan di balkon samping kamar saya. Beberapa waktu yang lalu,
pohon cabe ini terlihat kering kerontang. Itu karena saya lupa menyiramnya
selama beberapa hari. Wajar saja jika si pohon cabe, makhluk hidup yang tidak
bisa berpindah itu, menjadi mati.
Berita
kematiannya membuat penghuni rumah saya sedikit heboh. Pohon cabe itu
sebelumnya pernah sangat subur dan menghasilkan buah yang banyak. Cabe juga
adalah makanan favorit Mamah, sang pemilik pohon cabe. Maka, saya pun
bersiap-siap kena omel oleh sang pemilik pohon yang saat itu sedang ke
Palangkaraya.
Sabtu
pagi di akhir bulan Desember 2013, saya
menemukan pohon cabe itu tidak lagi mati. Ada tunas baru berdaun hijau yang
tumbuh dari batang pohon kering itu. Betapa senangnya saya melihatnya. Pohon
cabe ini telah bangkit dari kematian. {ST}
Senin, 30 Desember 2013
Panji Amabar Pasir di Omahkebon
Omahkebon,
sebuah guesthouse di Kampung Seni
Nitiprayan ini sudah lama beredar di ruang dengar saya. Guesthouse milik Kak
Sondang ini memang cukup sering menjadi bahan perbincangan kami. Aulanya yang
belum jadi itu digosipkan akan menjadi tempat istimewa untuk acara istimewa.
Naik Taksi

Panji Amabar Pasir
Kesempatan
untuk berkunjung ke Omahkebon adalah kesempatan yang istimewa. Apalagi pada
kunjungan kali ini juga ada pertunjukan berjudul Panji Amabar Pasir.
Pertunjukan ini sungguh luar biasa. Yang membuatnya luar biasa adalah tempat
pementasannya. Tempat pentasnya berpindah-pindah, mulai dari tempat pembuatan
batu bata di sebelah depan, bangunan yang belum jadi, tanah lapang, sampai
dengan di sawah.
Panji
Amabar Pasir yang mengisahkan tentang sebuah keluarga bertransmigrasi ke Kalimantan.
Lakon ini diperankan oleh Kalanari Theatre Movement yang dibentuk oleh
keinginan untuk menjadikan teater bukan semata sebagai pencipta pertunjukan
atau sekedar melakukan kerja artistik, namun juga mengemban visi dan misi
mengembangkan kebudayaan masyarakat dengan mengutamakan nilai-nilai
kemanusiaan.
Hampir
keseluruhan pertunjukan teater ini menggunakan bahasa Jawa, baik dalam dialognya,
maupun dalam tembangnya. Awalnya sempat nggak mudeng juga. Lama-lama, jadi
ngerti sendiri. Entah itu karena panggilan darah leluhur yang berasal dari
tanah Jawa, atau karena mengartikan sendiri. Dalam urusan seni, boleh-boleh
saja, kan, mengartikan sendiri.
Mengikuti Mas Pembawa Lampu
Adegan yang berpindah-pindah membuat fokus penonton juga berpindah-pindah, kadang dekat, kadang jauh. Di awal-awal pertunjukan, saya belum bisa menikmati pertunjukan dengan baik. Kadang-kadang orang yang ada di depan saya sangat tinggi dan tebal (lemu maksudnya), dan tidak transparan. Tentu saja adegannya tidak terlihat sama sekali. Saya harus berpindah posisi untuk bisa mendapatkan sudut pandang lain. Sempat terpikir juga untuk naik ke atas pohon seperti Zakeus dari abad pertama Masehi itu.
Ranting Hidup
Salah satu hal yang saya kagumi dari pertunjujan ini adalah ranting hidupnya. Jalan cerita yang mengisahkan keluarga yang bermigrasi ke Kalimantan yang penuh hutan digambarkan dengan ranting-ranting yang melekat di badan para pelakon. Tampilannya sangat menakjubkan dan keren. Saya sudah mengaguminya sejak mereka latihan di sore hari. Saat pertunjukannya, lebih keren lagi. Lihat aja fotonya!
Salah satu hal yang saya kagumi dari pertunjujan ini adalah ranting hidupnya. Jalan cerita yang mengisahkan keluarga yang bermigrasi ke Kalimantan yang penuh hutan digambarkan dengan ranting-ranting yang melekat di badan para pelakon. Tampilannya sangat menakjubkan dan keren. Saya sudah mengaguminya sejak mereka latihan di sore hari. Saat pertunjukannya, lebih keren lagi. Lihat aja fotonya!
Setelah
pertunjukan selesai, pendukung acara dan penonton tidak langsung bubar. Masih
ada acara selanjutnya, yaitu diskusi di pendopo Omahkebon. Diskusi ini juga
menandakan kalau pementasan ini belum berakhir. Panji masih akan berkembang
lagi, dan terus berkembang, kata Ibed Surgana Yuga, sang sutradara.
Dalam
diskusi ini, mereka juga berbagi cerita tentang perjuangan mereka mewujudkan
pertunjukan ini. Latihan yang dilakukan di alam terbuka membuat mereka sedikit
tergantung pada cuaca. Inovasi dan perubahan dilakukan terus menerus. Proses
masih terus berjalan sampai saat-saat terakhir mereka mentas. {ST}
Berita Panji Amabar Pasir di Bobo Online:
Langganan:
Postingan (Atom)
Popular Posts
-
Rotan adalah salah satu sumber daya yang banyak tumbuh di Kalimantan. Tumbuhan ini tumbuh liar di hutan. Ada pula y...
-
Di rumah kami ada burung tekukur yang dipelihara dalam sangkar di depan rumah. Burung tekukur ini pernah dikira sudah ...
-
Kacamata kuda adalah istilah yang sering digunakan sebagai kalimat kiasan. Orang yang memakai kacamata kuda artinya ...
-
Jeroan adalah makanan dengan banyak peminat di Indonesia. Bagian dalam hewan ini umum dijadikan bagian menu masakan. Di...
-
Butuh bujang alias rumput belulang sangat akrab dengan masa kecil saya di Kalimantan. Bagian buah dari tumbuhan ini be...
-
Saat berkunjung ke Bali, salah satu yang wajib dinikmati adalah tariannya. Saya juga menyempatkan dan mencari kesempa...
-
Kidu-kidu adalah masakan yang khas Karo yang terlihat seperti sosis. Penyajiannya biasanya dengan dipotong-potong seh...
-
Saya ingat sekali AC pertama yang ada di rumah kami. Saat itu saya masih kecil, masih bersekolah di SD, menjelang S...
-
Buah salak biasanya berisi 3 bagian. Kalau belum matang benar, biasanya ada bagian buah yang ukurannya besar, ada yang...
-
Daun bambu adalah salah satu daun yang saya kagumi. Bila dikeringkan, daun ini bentuknya tak berubah. Lagi pula kadar ...
Isi blog ini
-
▼
2013
(1325)
-
▼
Desember
(134)
- Jalanan Jakarta #31
- Hutan Bakau #31
- Pohon Cabe yang Bangkit dari Kematian
- Daun Cantik #367
- Panji Amabar Pasir #11
- Jalanan Jakarta #30
- Hutan Bakau #30
- Panji Amabar Pasir di Omahkebon
- Daun Cantik #366
- Panji Amabar Pasir #10
- Jalanan Jakarta #29
- Hutan Bakau #29
- Gule Kepala Ikan Utuh
- Daun Cantik #365
- Panji Amabar Pasir #9
- Jalanan Jakarta #28
- Hutan Bakau #28
- Siaran di Radio
- Daun Cantik #364
- Panji Amabar Pasir #8
- Jalanan Jakarta #27
- Hutan Bakau #27
- Whatsapp dan Orang Tak Dikenal
- Daun Cantik #363
- Panji Amabar Pasir #7
- Jalanan Jakarta #26
- Hutan Bakau #26
- Ketika Komputer Hang
- Daun Cantik #362
- Panji Amabar Pasir #6
- Jalanan Jakarta #25
- Hutan Bakau #25
- Daun Cantik #361
- Panji Amabar Pasir #5
- Jalanan Jakarta #24
- Hutan Bakau #24
- Pakaian Layak Pakai
- Daun Cantik #360
- Panji Amabar Pasir #4
- Jalanan Jakarta #23
- Hutan Bakau #23
- Merawat Pisau Dapur
- Daun Cantik #359
- Panji Amabar Pasir #3
- Jalanan Jakarta #22
- Hutan Bakau #22
- Menikmati Kemacetan dengan Memotret
- Daun Cantik #358
- Panji Amabar Pasir #2
- Jalanan Jakarta #21
- Hutan Bakau #21
- Berkunjung Kembali ke Rumah Makan Mini
- Daun Cantik #357
- Panji Amabar Pasir #1
- Jalanan Jakarta #20
- Hutan Bakau #20
- Penjajah, Pergi Sanaaaa!!!!
- Daun Cantik #356
- Jalanan Jakarta #19
- Hutan Bakau #19
- Kan, Bapaknya yang Mau Punya Anak”
- Daun Cantik #355
- Jalanan Jakarta #18
- Hutan Bakau #18
- Daun Cantik #354
- Jalanan Jakarta #17
- Hutan Bakau #17
- Jam Jemur Bayi
- Daun Cantik #353
- Jalanan Jakarta #16
- Hutan Bakau #16
- Ambulans Gratis
- Muka Baru di Jalanan
- Daun Cantik #352
- Jalanan Jakarta #15
- Hutan Bakau #15
- Jarang Ganti Tas
- Daun Cantik #351
- Jalanan Jakarta #14
- Hutan Bakau #14
- Blog Obat Waras
- Daun Cantik #350
- Jalanan Jakarta #13
- Hutan Bakau #13
- Makan Biskuit di Kereta Api
- Daun Cantik #349
- Jalanan Jakarta #12
- Hutan Bakau #12
- Kehidupan Pelaju
- Sebagaimana Tersebut di Atas
- Daun Cantik #348
- Jalanan Jakarta #11
- Hutan Bakau #11
- Ibu Rumah Tangga dan HIV
- Daun Cantik #347
- Jalanan Jakarta #10
- Hutan Bakau #10
- Ludo
- Daun Cantik #346
- Jalanan Jakarta #9
-
▼
Desember
(134)