Ana

Selasa, 31 Desember 2013

Jalanan Jakarta #31





Hutan Bakau #31





Pohon Cabe yang Bangkit dari Kematian






                Pohon cabe ini ditanam di dalam pot yang diletakkan di balkon samping kamar saya. Beberapa waktu yang lalu, pohon cabe ini terlihat kering kerontang. Itu karena saya lupa menyiramnya selama beberapa hari. Wajar saja jika si pohon cabe, makhluk hidup yang tidak bisa berpindah itu, menjadi mati.
                Berita kematiannya membuat penghuni rumah saya sedikit heboh. Pohon cabe itu sebelumnya pernah sangat subur dan menghasilkan buah yang banyak. Cabe juga adalah makanan favorit Mamah, sang pemilik pohon cabe. Maka, saya pun bersiap-siap kena omel oleh sang pemilik pohon yang saat itu sedang ke Palangkaraya.
                Sabtu pagi di akhir bulan Desember  2013, saya menemukan pohon cabe itu tidak lagi mati. Ada tunas baru berdaun hijau yang tumbuh dari batang pohon kering itu. Betapa senangnya saya melihatnya. Pohon cabe ini telah bangkit dari kematian. {ST}

Daun Cantik #367





Panji Amabar Pasir #11





Senin, 30 Desember 2013

Jalanan Jakarta #30





Hutan Bakau #30





Panji Amabar Pasir di Omahkebon




                Omahkebon, sebuah guesthouse di Kampung Seni Nitiprayan ini sudah lama beredar di ruang dengar saya. Guesthouse milik Kak Sondang ini memang cukup sering menjadi bahan perbincangan kami. Aulanya yang belum jadi itu digosipkan akan menjadi tempat istimewa untuk acara istimewa.


Naik Taksi

                Perjalanan kami dari penginapan ditempuh dengan taksi. Tentu saja kami harus mengatakan tujuan kami mau ke mana. Petunjuk yang kami dapat, Omahkebon berada di Nitiprayan. Maka alamat inilah yang kami sampaikan kepada supir taksi. Supir taksi kemudian menanyakan beberapa petunjuk lain yang (tentu saja) menggunakan arah timur, barat, selatan dan utara. Daripada bingung, lebih baik langsung menghubungi pemilik Omahkebon.




Panji Amabar Pasir

                Kesempatan untuk berkunjung ke Omahkebon adalah kesempatan yang istimewa. Apalagi pada kunjungan kali ini juga ada pertunjukan berjudul Panji Amabar Pasir. Pertunjukan ini sungguh luar biasa. Yang membuatnya luar biasa adalah tempat pementasannya. Tempat pentasnya berpindah-pindah, mulai dari tempat pembuatan batu bata di sebelah depan, bangunan yang belum jadi, tanah lapang, sampai dengan di sawah.

                Panji Amabar Pasir yang mengisahkan tentang sebuah keluarga bertransmigrasi ke Kalimantan. Lakon ini diperankan oleh Kalanari Theatre Movement yang dibentuk oleh keinginan untuk menjadikan teater bukan semata sebagai pencipta pertunjukan atau sekedar melakukan kerja artistik, namun juga mengemban visi dan misi mengembangkan kebudayaan masyarakat dengan mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan.


Bahasa Jawa

                Hampir keseluruhan pertunjukan teater ini menggunakan bahasa Jawa, baik dalam dialognya, maupun dalam tembangnya. Awalnya sempat nggak mudeng juga. Lama-lama, jadi ngerti sendiri. Entah itu karena panggilan darah leluhur yang berasal dari tanah Jawa, atau karena mengartikan sendiri. Dalam urusan seni, boleh-boleh saja, kan, mengartikan sendiri.


Mengikuti Mas Pembawa Lampu


               Adegan yang berpindah-pindah membuat fokus penonton juga berpindah-pindah, kadang dekat, kadang jauh. Di awal-awal pertunjukan, saya belum bisa menikmati pertunjukan dengan baik. Kadang-kadang orang yang ada di depan saya sangat tinggi dan tebal (lemu maksudnya), dan tidak transparan. Tentu saja adegannya tidak terlihat sama sekali. Saya harus berpindah posisi untuk bisa mendapatkan sudut pandang lain. Sempat terpikir juga untuk naik ke atas pohon seperti Zakeus dari abad pertama Masehi itu.

 
                 Ketika “panggung” berpindah untuk ketiga kalinya, saya menemukan trik khusus supaya bisa melihat lakonnya dengan baik. Saya mengikuti mas pembawa lampu sorot yang kebetulan berbaju kuning cerah. Mas inilah yang menjadi petunjuk bahwa panggung akan berpindah.




 Ranting Hidup
               Salah satu hal yang saya kagumi dari pertunjujan ini adalah ranting hidupnya. Jalan cerita yang mengisahkan keluarga yang bermigrasi ke Kalimantan yang penuh hutan digambarkan dengan ranting-ranting yang melekat di badan para pelakon. Tampilannya sangat menakjubkan dan keren. Saya sudah mengaguminya sejak mereka latihan di sore hari. Saat pertunjukannya, lebih keren lagi. Lihat aja fotonya!


Perjuangan Mereka

                Setelah pertunjukan selesai, pendukung acara dan penonton tidak langsung bubar. Masih ada acara selanjutnya, yaitu diskusi di pendopo Omahkebon. Diskusi ini juga menandakan kalau pementasan ini belum berakhir. Panji masih akan berkembang lagi, dan terus berkembang, kata Ibed Surgana Yuga, sang sutradara.

                Dalam diskusi ini, mereka juga berbagi cerita tentang perjuangan mereka mewujudkan pertunjukan ini. Latihan yang dilakukan di alam terbuka membuat mereka sedikit tergantung pada cuaca. Inovasi dan perubahan dilakukan terus menerus. Proses masih terus berjalan sampai saat-saat terakhir mereka mentas. {ST}


Berita Panji Amabar Pasir di Bobo Online:

Popular Posts

Isi blog ini