Ana

Sabtu, 07 September 2013

Lektor Sebulan




            Selama 4 minggu di bulan Agustus 2013 ini, saya selalu bertugas sebagai lektor dalam ibadah di gereja. Sebenarnya, yang menjadi jadwal saya hanya 2 kali. Dua kali yang lainnya itu menggantikan orang terjadwal yang tidak datang.

            Selain karena dijadwalkan, saya juga cukup sering diminta sebagai lektor. Ada yang mengatakan, suara saya terdengar jelas dan tegas dengan penggalan kata yang tepat. Saya juga dianggap cukup tenang dan berwibawa untuk berbicara sebagai penatua. Tentu saja saya bersyukur dengan kepercayaan ini. Mereka yang berkata demikian sepertinya tidak tahu ada apa sebenarnya di balik ketenangan saya. Saya juga rasanya jadi tidak pede untuk berbagi sesuatu hal di balik membaca leksionari ini.


Gugup dan Gagap

            Sejak kecil, saya selalu gugup bila harus berbicara di depan banyak orang. Kegugupan itu masih ada hingga sekarang. Saya menjadi gugup bila harus menjadi lektor, membacakan teks kitab suci di depan banyak orang. Untuk menghilangkan kegugupan itu, biasanya saya berdoa dan mengambil napas panjang berkali-kali.

            Kegugupan saya, sering kali berbuah kegagapan dalam berbicara. Atau, bila tidak gagap, jadinya malah berbicara terlalu cepat. Ujungnya sama saja, tidak jelas terdengar. Hal-hal yang membuat saya makin tidak pede untuk berbicara di depan orang banyak. Masih ditambah lagi, artikulasi saya memang kurang jelas, mungkin karena lidah saya yang pendek. Itu belum termasuk kalau saya habis makan es. Ketika lidah saya menjadi dingin terkena es, maka yang terdengar biasanya adalah suara yang cadel.

            Kalau sudah begitu, bagaimana mungkin saya menjadi lektor yang dapat berbicara dengan tenang? Rasanya benar-benar gak mungkin. Tapi kenyataannya tidak begitu. Saya menjadi lektor dalam 4 kali kebaktian berturut-turut.


Bersiap Diri dan Berdoa

            Ketika masih berusia remaja menjelang pemuda dulu, saya pernah diundang untuk mengikuti pelatihan menjadi lektor. Tidak banyak yang saya ingat dari pelatihan ini. Dari yang tidak banyak itu, yang saya ingat adalah membacakannya harus terdengar jelas dan kecepatannya sama dari awal sampai akhir. Ternyata, orang cenderung untuk berbicara makin lama makin cepat bila berbicara di depan umum seorang diri.

            Kalau saya dijadwalkan sebagai lektor, biasanya saya berlatih dulu di rumah. Saya akan berlatih di depan kaca sambil membaca teksnya. Saya juga berkali-kali membaca teksnya supaya tahu penggalan kalimatnya. Selanjutnya, saya akan membayangkan diri saya sebagai orang yang mendengarkan. Nah, ini dia sebenarnya kuncinya. Sebagai pendengar, saya lebih menginginkan mendengar suara yang cukup pelan, tidak terburu-buru, namun terdengar jelas. Maka itulah yang keluar dari diri saya.


Kekuatan Doa

            Kekuatan doa sangat nampak dalam tugas menjadi lektor ini, terutama untuk ketenangan saya. Bayangkan saja, orang yang biasanya mempersiapkan diri sebegitu rupa, sering “ditembak” dadakan untuk menjadi lektor. Ada kalanya, saya baru membaca teks sesaat sebelum kebaktian dimulai. Bahkan, teksnya baru saya baca tak jauh dari pintu masuk ketika menjelang prosesi. Gugupnya sudah gak karuan kalau tidak berdoa memohon ketenangan.

            Ketika pelayan firman berdoa mehonon pertolongan Roh Kudus, saya pun berdoa untuk hal yang sama. Saya minta pertolongan Roh Kudus supaya diberikan ketenangan dan kemampuan untuk dapat membacakan dengan jelas. Selama beberapa kali, Tuhan menolong saya.


Bersuara dan Dalam Hati Ternyata Beda

Namun, ada kalanya saya salah membaca. Kadang-kadang, saat membacakan dengan suara, ada 1 kata atau 1 baris yang terlewat. Di saat-saat seperti ini saya sering merasa menjadi beku. Bingung mau ngapain. Sampai-sampai pernah rasanya saya mau ngabur aja. Gagap dan gugup masih ditambah dengan rasa malu.

Sepertinya hal ini terjadi karena kemampuan saya membaca lebih cepat daripada kemampuan bersuara. Sehari-harinya, saya memang lebih sering membaca tanpa suara. Sedangkan, membaca dengan bersuara hanya saya lakukan seminggu sekali. Itu pun bila sedang bertugas lektor.

Sampai saat ini, saya hanya bertugas menjadi lektor hanya ketika dijadwalkan, atau diusulkan oleh orang lain. Rasanya belum pede untuk mengajukan diri. Entah ini artinya rendah hati atau rendah diri. Yang jelas, saya cukup pede untuk mengajukan diri sebagai kolektan. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini