Ana

Kamis, 22 Agustus 2013

Penjual Koran Pejuang




            Dalam renungan reflektif yang dibawakan oleh Mayjen TNI (Purn) Darpito Pudyastungkoro di perayaan HUT RI di GKI Kwitang, beliau menceritakan pengalamannya ketika bertemu seorang anak kecil. Anak kecil berpakaian kumuh itu berjualan koran secara asongan. Pak Darpito yang iba hatinya memberikan selembar uang kepada anak ini. Tak diduga, uang itu ditolak oleh si anak. Dia mengembalikan uang tersebut seraya mengatakan kalau dia adalah penjual koran, bukan pengemis.

            Saat itu, saya langsung teringat pada pengalaman saya sendiri. Beberapa tahun yang lalu, saya juga pernah “ditolak” oleh seorang penjual koran. Penolakan ini justru membuat saya makin menghargai penjual koran itu. Penjual itu punya harga diri dan tidak bermental pengemis. Orang-orang seperti inilah yang layak disebut pejuang yang sebenarnya.

            Bagi jemaat dan simpatisan GKI Kwitang, mungkin banyak yang mengenal (atau pernah melihat tapi tidak mengenal) penjual koran yang saya maksud. Bapak penjual koran ini memang beredar di seputar Kwitang. Kursi roda yang ada atapnya adalah kios jualan sekaligus kendaraannya.

            Suatu kali, ketika saya baru turun dari halte Tranjakarta di daerah Kwitang, saya bertemu dengan bapak penjual koran ini yang sedang mangkal tak jauh dari halte. Saya membuka tas untuk mengecek telepon genggam saya. Saat itu, saya juga melihat beberapa lembar uang dua ribuan di tas saya. Saya mengambil lembaran uang itu dan memberikan uang saya kepada bapak di kursi roda itu.

            “Maaf, saya jualan koran, bukan pengemis,” demikian kata bapak itu sambil melihat wajah saya dengan agak jutek.

            “Oh, kalo gitu, saya beli koran,” lanjut saya lagi.

            Transaksi berlangsung dengan cepat. Kali ini wajah bapak penjual koran tidak sejutek sebelumnya, terutama ketika mengucapkan terima kasih. Saya pun melangkah pergi dengan membawa 1 edisi koran harian yang juga menjadi langganan keluarga kami.

Pejuang Itu Telah Pergi

            Saya menganggap bapak ini pejuang bukan hanya karena kostum yang sering digunakannya. Bapak ini memang sering menggunakan kostus ala tentara. Jaket loreng dan atribut tentara sering terlihat di badannya. Kadang saya berpikir apakah dia veteran yang terlantar. Ditambah pula dengan kakinya yang tidak utuh seperti manusia normal. Kursi rodanya menjadi penanda paling jelas untuk keterbatasan kakinya ini. Mengingatkan pada keadaan para veteran Amerika setelah perang Vietnam.

Sebenarnya, saya tidak tahu nama bapak ini. Namun setelah kejadian penolakan itu, kami jadi lebih sering bertegur sapa. Baru-baru ini, seorang abang ojek yang mangkal di Kwitang mengabarkan pada saya kalau bapak ini telah pergi meninggalkan kita. Beliau langsung dimakamkan tak lama ketika meninggal. Perjuangan sang pejuang itu telah selesai. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini