Ana

Minggu, 25 Agustus 2013

In Memoriam Sumarlan Margono




Bpk. Sumarlan Margono adalah orang yang cukup berpengaruh dalam hidup saya. Tidak hanya dalam kehidupan saya, tetapi juga pada banyak orang yang mengenal dan dikenal olehnya. Tentu saja pengaruhnya dalam hal yang baik. Beliau menjadikan hidupnya sebagai panutan tidak hanya dalam perkataan, tapi juga dengan perbuatannya.
Selama beliau sakit, hampir 3 minggu, saya belum pernah sekalipun datang menengoknya di RS. Kesibukan dan perjalanan ke luar kota menghambat kunjungan saya. Kamis, 25 Juli 2013 adalah waktu yang tepat untuk datang. Hari itu, tidak ada agenda dan jadwal lain yang harus dipenuhi.

Opa Marlan
            Kalau dilihat dari usianya yang tidak jauh dari bapak saya sendiri, ditambah pula saya berteman dengan anak Pak Marlan, sepantasnya saya memanggil Pak Marlan dengan sebutan “Om”. Namun, saya lebih sering memanggilnya dengan sapaan “Opa”. Entah karena sosoknya yang cocok sebagai opa, karena dia sudah memiliki beberapa cucu, atau karena saya yang merasa sok muda sampai merasa pantas sebagai cucu.

Datang di Waktu yang (Tidak) Tepat?
            Malam itu, saya tiba di RS Persahabatan sudah menjelang jam 7 malam. Saya mengira, jam besuk di RS itu sampai jam 7 atau jam 8, ternyata hanya sampai jam 6 sore. Maka, saya pun tidak dapat bertemu langsung dengannya yang saat itu sedang terbaring di ruang ICU. Saat itu, saya merasa tidak datang di waktu yang tepat. Dengan sedikit menyesal, saya berpikir, “Mestinya tadi datang lebih cepat.”
            Makin malam, keadaan Pak Marlan semakin parah. Kabarnya, secara medis, dia sudah tidak dapat ditolong lagi. Keluarga sudah menyiapkan diri untuk semua kemungkinan, termasuk bila Tuhan memanggilnya. Dan ternyata benar saja, Tuhan memanggilnya malam itu. Kali ini saya berpikir kalau saya datang di waktu yang tepat.

Problem Gue Banget
            Saat itu, saya memutuskan untuk tidak pulang dulu. Secara tulus, saya memang mau membantu keluarga ini, walaupun belum tahu bagaimana caranya. Masih teringat ucapan Pak Marlan yang tak pernah terlupakan, “Kalo ada apa-apa, jangan segan-segan nelpon saya, ya…. Tau, kan, nomernya?” Pak Marlan sampai berkata demikian karena dia tahu, saya dan adik-adik sering ditinggalkan oleh orang tua.
Dia juga pernah bilang, “Tentu gak mudah menjadi kepala keluarga sebelum waktunya, bekerja dan menjadi penatua sekaligus.” Saat itu, saya hanya bisa mengucapkan terima kasih. Saya betul-betul berterima kasih atas pengertiannya. Apa yang dia sampaikan, kan, “problem gue banget”. Belum tentu ada orang yang mengerti, apalagi dengan tambahan tanggung jawab sebagai penatua yang mengetahui terlalu banyak rahasia.
Belakangan saya baru tahu kalau ternyata beliau juga memasukkan nama saya dalam daftar orang-orang yang didoakan dalam syafaatnya. Ada tambahan bonusnya pula. Beliau mendoakan saya untuk mendapatkan jodoh yang seiman.

Sampai Maut Memisahkan
            Pak Marlan dan Bu Asa adalah pasangan idola se-GKI Kwitang. Dengan usia yang sudah tidak lagi muda, kemesraan mereka mengalahkan remaja-remaja yang baru jadian. Berjalan sambil bergandengan tangan adalah hal yang sering terlihat dari pasangan ini. Kemesraan mereka benar-benar terlihat dan menginspirasi banyak orang. Tak heran beberapa orang (termasuk saya) lebih mengidolakan pasangan ini dibandingkan dengan Angelina-Brad.
            Malam itu, ketika saatnya tiba bagi Pak Marlan untuk pergi ke rumah penciptanya, saya turut menjadi saksinya. Pasangan idola ini akhirnya terpisahkan oleh maut. Sungguh mengharukan menyaksikannya. Mereka telah memenuhi janji itu, “….sampai kematian memisahkan kita.”

Mencoba Memberikan yang Terbaik
            Pak Marlan terdaftar menjadi jemaat GKI Kwitang yang tempat tinggalnya di Lingkungan I, sama dengan lingkungan saya. Maka, pelayanan kebaktian untuk pemakamanannya menjadi tanggung jawab Majelis Jemaat GKI Kwitang, terutama yang di lingkungan I.
Ini adalah kesempatan bagi saya untuk memberikan pelayanan yang terbaik. Saya turut ambil bagian menjadi penanggung jawab kebaktian di malam kedua beliau disemayamkan. Dengan evaluasi dari kebaktian malam sebelumnya, saya menyiapkan kebaktian kedua dengan lebih baik. Saya meminjam keyboard, menghubungi pemusik dan “mengganggu” pendeta yang sedang sidang klasis hanya untuk menanyakan daftar lagu. Saya juga meminta bantuan seorang teman fotografer untuk mendokumentasikan.
Pelayanan terbaik yang saya coba berikan ini, sebagai tanda terima kasih saya pada pengertian perhatian beliau kepada saya ketika hidupnya. Di saat yang sama, saya juga jadi “tersentil” untuk pelayanan saya yang lain. Apakah saya juga akan memberikan yang terbaik ketika orang yang meninggal tidak sebaik Pak Marlan?

Rest in Peace
            Saat ini, Pak Marlan sudah menyelesaikan tugasnya di bumi ini. Tentunya beliau sudah beristirahat dengan tenang bersama Sang Pencipta, sudah terbebas dari segala macam penyakit dan masalah. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan kekuatan dan kesabaran untuk melanjutkan kehidupan. Rest in Peace, Opa Marlan. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini