“Duduknya di sebelah sini, ya…” kata seseorang sambil mengarahkan saya ke
tempat duduk. Saya pun langsung menurut dan duduk di tempat yang ditunjukkan.
Saat itu, saya datang ke sebuah rumah
duka untuk memunaikan tugas sebagai penatua pendamping kebaktian. Biasanya,
setiap tugas sebagai pendamping kebaktian, saya selalu duduk tak jauh dari
pendeta, yang biasanya di sebelah depan. Bertugas sebagai pendamping artinya
juga bertugas sebagai liturgos dan menyampaikan sambutan dari majelis.
Ketika saya melihat sekeliling saya,
terlihat beberapa anak-anak Panti Asuhan Dorkas. Panti asuhan ini juga menjadi
bagian hidup dari almarhum yang disemayamkan di depan kami ini.
Mungkin, orang yang mengarahkan saya
untuk duduk di sini berpikir kalau saya juga anak Dorkas. Saat itu saya memakai
atasan putih dan rok panjang. Sekilas memang seperti pakaian anak sekolah.
Ditambah lagi, wajah saya memang sering terlihat menjadi lebih muda kalau pakai
baju putih.
Saya, yang menyadari kalau duduk di
tempat yang tidak tepat untuk mendampingi ibadah, segera bergerak untuk
berpindah tempat. Pergerakan saya itu agak terhalang karena padatnya tempat
duduk.
“Itu penatua pendamping saya,
duduknya di dekat saya, di depan,” terdengar suara seorang bapak. Bapak itu
adalah pendeta yang bertugas melayani bersama saya. Dia “menjemput” saya yang
terkurung di tengah anak-anak panti asuhan. Anak-anak itu kemudian membuka
jalan untuk saya lewat.
Setelah kebaktian selesai, orang yang
tadi menunjukkan tempat duduk langsung menghampiri saya. Dia meminta maaf
karena tidak tahu siapa saya. Sambil bercanda dia berkata, wajah saya memang
pantas menjadi anak panti asuhan. Entah maksudnya wajah saya terlihat lebih
muda, atau agak memelas bagaikan anak yatim piatu. Entahlah. Yang penting,s
alam damai untuk semua. {ST}