Ana

Sabtu, 10 Agustus 2013

Dikira Anak Panti Asuhan




            “Duduknya di sebelah sini, ya…” kata seseorang sambil mengarahkan saya ke tempat duduk. Saya pun langsung menurut dan duduk di tempat yang ditunjukkan.
Saat itu, saya datang ke sebuah rumah duka untuk memunaikan tugas sebagai penatua pendamping kebaktian. Biasanya, setiap tugas sebagai pendamping kebaktian, saya selalu duduk tak jauh dari pendeta, yang biasanya di sebelah depan. Bertugas sebagai pendamping artinya juga bertugas sebagai liturgos dan menyampaikan sambutan dari majelis.
Ketika saya melihat sekeliling saya, terlihat beberapa anak-anak Panti Asuhan Dorkas. Panti asuhan ini juga menjadi bagian hidup dari almarhum yang disemayamkan di depan kami ini.
Mungkin, orang yang mengarahkan saya untuk duduk di sini berpikir kalau saya juga anak Dorkas. Saat itu saya memakai atasan putih dan rok panjang. Sekilas memang seperti pakaian anak sekolah. Ditambah lagi, wajah saya memang sering terlihat menjadi lebih muda kalau pakai baju putih.
Saya, yang menyadari kalau duduk di tempat yang tidak tepat untuk mendampingi ibadah, segera bergerak untuk berpindah tempat. Pergerakan saya itu agak terhalang karena padatnya tempat duduk.
“Itu penatua pendamping saya, duduknya di dekat saya, di depan,” terdengar suara seorang bapak. Bapak itu adalah pendeta yang bertugas melayani bersama saya. Dia “menjemput” saya yang terkurung di tengah anak-anak panti asuhan. Anak-anak itu kemudian membuka jalan untuk saya lewat.
Setelah kebaktian selesai, orang yang tadi menunjukkan tempat duduk langsung menghampiri saya. Dia meminta maaf karena tidak tahu siapa saya. Sambil bercanda dia berkata, wajah saya memang pantas menjadi anak panti asuhan. Entah maksudnya wajah saya terlihat lebih muda, atau agak memelas bagaikan anak yatim piatu. Entahlah. Yang penting,s alam damai untuk semua. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini