Ana

Minggu, 28 April 2013

GKI Kwitang: Dua Singgasana di Balik Mimbar



            Bagi jemaat yang sering mengikuti kebaktian di GKI Kwitang, mungkin ada yang bertanya-tanya, apa saja yang ada di balik mimbar bersar gereja tua itu. Apa yang terjadi ketika pengkhotbah terlihat “menghilang” dari mimbar. Itu adalah pertanyaan saya bertahun-tahun yang lalu, ketika saya selalu duduk di bangku jemaat, yang menghadap ke mimbar.
            Sekarang, ketika saya menjadi penatua dan sering duduk di “kandang” di samping mimbar, baru saya bisa melihat “siaran langsung” apa saja yang terjadi di balik mimbar itu. Ternyata, ada 2 buah kursi besar berjok merah di baliknya. Kursi besar yang terlihat seperti singgasana inilah yang menjadi “tempat persembunyian” pengkhotbah bila sedang tak terlihat di mimbar.
            Saya sempat bertanya-tanya juga mengapa ada 2 buah kursi di situ. Sampai-sampai saya agak berimajinasi tentang singgasana raja dan ratu di sebuah kerajaan. Sampai suatu kali saya mengikuti ibadah yang pelayanan mimbarnya dilakukan oleh 2 orang, barulah terlihat gunanya buat apa. Saat itu, ketika salah seorang pendeta sedang berdiri, yang lainnya duduk memperhatikan, sambil duduk di salah satu “singgasana” itu tentunya. {ST}

Daun Cantik #119





Selasa, 23 April 2013

Pendeta Perempuan Pertama di GKI Kwitang





Tanggal 22 April 2013 terjadi kemeriahan besar di GKI Kwitang. Terlihat beberapa perempuan mengenakan kebaya warna merah. Mungkin sebagian orang akan menebak kalau gereja tua ini pasti sedang merayakan hari Kartini, yang jatuh sehari sebelumnya.
Selain para perempuan berkebaya, banyak juga yang menggunakan toga dan stola merah. Nah, ini dia yang luar biasa. Biasanya, dalam sebuah kebaktian, hanya ada 1 orang yang menggunakan toga, yaitu pendeta yang berkhotbah. Yang sekarang ini? Puluhan pendeta, tua dan muda, terlihat berbaris rapi di depan pintu gereja. Mereka sedang bersiap-siap mengikuti jalannya prosesi penahbisan seorang pendeta. Pendeta perempuan pertama di GKI Kwitang, Pdt. Lindawati Niman.
Sebelum dipanggil untuk melayani di GKI Kwitang, Pdt. Lindawati Niman melayani di GKI Kebon Jati, Bandung. Beliau melayani di sana selama 17 tahun. Saat ini, Bu Linda – panggilan akrabnya – juga adalah ibu dari 2 anak perempuan yang cantik-cantik. Anak-anak ini, dan juga bapaknya, turut menyertai kepindahan Bu Linda ke Jakarta, ke GKI Kwitang.
Keberadaan Pdt. Lindawati Niman di GKI Kwitang adalah sebuah perjalanan panjang. Sudah bertahun-tahun lamanya hal ini menjadi pergumulan jemaat GKI Kwitang. GKI Kwitang, yang sebagian besar jemaatnya adalah perempuan, tentunya memerlukan sosok seorang perempuan pula sebagai gembalanya. Ini bukan masalah diskriminasi.
Tak dapat disangkal, banyak pula pelayanan bagi perempuan yang juga memerlukan perempuan. Misalnya saja untuk konseling. Cukup banyak perempuan yang sedang mencurahkan perasaannya akan menangis, mulai menangis sesenggukan sampai histeris. Untuk menenangkan, biasanya diperlukan pelukan. Nah, tidak semua pendeta dapat memberikan pelukan hangat tanpa rasa canggung. Tentunya akan canggung bila seorang ibu muda cantik yang sedang curhat kemudian dipeluk oleh seorang pendeta yang dipanggil dengan sebutan “Bapak”. Itu hanya 1 contoh kecil. Kebutuhan ini terjawab dengan adanya sosok Pdt. Lindawati Niman yang juga memiliki keahlian di bidang pastoral.
Tim pengadaan pendeta yang dibentuk bertahun-tahun yang lalu sudah berusaha sebaik-baiknya untuk menjadikannya sebuah kenyataan. Usaha ini memerlukan waktu dan semangat yang tidak sedikit. Banyak kendala menghadang ketika usaha mewujudkan ini dilakukan. Bahkan, ada seorang anggota timnya yang tidak dapat menyaksikan terwujudnya keberadaan pendeta perempuan di GKI Kwitang sampai akhir hayatnya.
Saya adalah orang yang cukup beruntung, dan saya sangat bersyukur atas hal itu. Pada pelayanan saya sebagai sekretaris majelis, saya dapat menjadi saksi penahbisan pendeta perempuan pertama ini. Bahkan, saya juga dipercaya untuk menerima piagam peneguhan, mewakili Majelis Jemaat GKI Kwitang. Untuk hal yang 1 ini, saya menyiapkan diri dengan memakai kebaya. Untuk dandanan, yaa…secantik yang saya bisa, lah. Gak pake acara nyalon, sih. Gak sempat!
Semoga keberadaan Pdt. Linda di jemaat GKI Kwitang bisa membawa perubahan yang baik, yang diperlukan oleh jemaat, sehingga persekutuan makin bertumbuh. Semoga Pdt. Linda dapat cepat menyesuaikan diri dengan jemaat yang beraneka ragam ini. {Pnt. ST}

Daun Cantik #114





Minggu, 21 April 2013

Bawang Kupas untuk Menghindari Tangisan




                Mengupas bawang merah, apalagi dalam jumlah yang banyak adalah salah satu perjuangan di kala memasak. Gas yang dikeluarkan sang bawang pada saat dikupas, membuat mata menjadi pedih. Bawang merah memang menjadi bumbu andalan bagi banyak masakan Indonesia. Termasuk juga menjadi andalan bagi menu di rumah kami.
                Selagi kecil dulu, saya dan anak-anak perempuan lainnya memang diajarkan untuk masuk ke dapur, belajar memasak dari para senior. Untuk tahap paling awal, biasanya mendapat tugas untuk mengupas bawang. Nah, untuk tahap ini, saya menjalaninya bertahun-tahun, bahkan sampai saya beranjak dewasa.
Saya bahkan masih menjadi pengupas bawang sampai sekarang. Suatu hal yang membuat saya sering menjadi bahan ledekan. “Gak naik-naik pangkat!” begitulah sebutan yang kerap saya terima. Sementara yang lain sudah menjadi petugas “sreng sreng” di depan kompor, saya masih saja menjadi pengupas bawang.
Suatu kali ketika berkunjung ke pasar tradisional dekat rumah, saya bertemu dengan penjual bawang yang sudah mengupas bawangnya. Untuk jasa mengupas ini, tentu saja harga jualnya menjadi lebih mahal. Lebih mahal Rp. 1000,- per kilo gramnya. Untuk kali ini, saya tidak menawar harga terlalu “jahat”, mengingat perjuangan dan air mata yang harus dikeluarkan untuk menghasilkan bawang yang sudah dikupas. {ST}

Daun Cantik #112





Popular Posts

Isi blog ini