Ana

Kamis, 28 Februari 2013

Kebenaran Spontan yang Dianggap Tak Sopan




            Pagi ini, saya memasuki lift bersama dengan sekelompok anak-anak kecil yang mau berkunjung ke salah satu kantor redaksi. Anak-anak ini berusia 4-5 tahun. Mereka masih bersekolah di TK.

            Selain tingginya hanya sepinggang orang dewasa, ada beberapa ciri anak-anak lainnya pada rombongan ini. Mereka berseragam lucu ala anak TK, bawa botol minum lucu, berwajah lucu, dan juga berkomentar lucu. Komentar-komentar lucu itu terlontar ketika mereka menunggu lift bersama dengan saya.

            Ketika masuk ke dalam lift, semua anak mendadak diam, seperti juga orang dewasa pada umumnya. Sampai akhirnya seorang dewasa, yang tampaknya turut mengiringi anak itu berkomentar memecah keheningan.

            “Sesak, ya?” kata si mbak sambil melihat ke bawah, ke arah segerombolan anak-anak yang terpusat di sudut lift itu.

            “Abis, Mbak gendut, sih. Jadinya sesak,” kata seorang anak dengan polosnya.

            Seorang dewasa lainnya, yang datang bersama anak-anak itu, langsung menegur anak yang baru saja bicara.

            “Gak boleh ngomong gitu, ya…” kata Mbak itu sambil menunjuk dengan jari telunjuknya.

            “Kenapa gak boleh?” anak itu balik bertanya dengan wajah polos.

            Saya yang mendengar hal itu, akhirnya tidak tahan, dan tertawa sambil menutup mulut. Polos banget komentarnya. Namun, saya jadi berpikir juga. Anak itu, kan, berkata sesuatu yang benar, tapi kok dilarang. Wajar kalau dia bertanya.

            Suasana menjadi hening kembali. Tiba-tiba si Mbak yang tadi melarang “gak boleh ngomong gitu” memecah kesunyian.

            “Karena itu gak sopan,” demikian katanya. Rupanya dia sejak tadi berpikir untuk menjawab si anak kecil lucu nan polos.

            Sepertinya itu memang jawaban yang tepat. Tepat untuk si anak kecil dan juga untuk orang dewasa yang ada di lift itu. Belum tentu semua yang benar itu baik ketika diungkapkan. Saya mengangguk mengerti sambil berjalan keluar lift, meninggalkan anak-anak kecil itu, yang masih melanjutkan perjalanan ke lantai paling atas. {ST}

Daun Cantik #59





Rabu, 27 Februari 2013

Hidran di Pinggir Jalan




                Ada saatnya di Jakarta terjadi beberapa kebakaran beruntun. Kebakaran ini terjadi seakan sedang musimnya. Umumnya terjadi di pemukiman padat penduduk. Penyebabnya karena korslet listrik. Beberapa pula karena kompor yang meledug.
                Saat kebakaran terjadi, sering kali pertolongan datang terlambat. Selain karena akses menuju lokasi cukup susah, kadang juga karena kekurangan air. Untuk yang kekurangan air, sebenarnya kita sudah dilengkapi dengan hidran sebagai solusinya. Karena itu, hidran sering ditempatkan di tempat yang mudah terlihat. Warnanya pun dibuat berbeda dengan sekitarnya. Memang sengaja dicat dengan warna menyolok, biasanya warna merah.
                Hidran yang sering kita lihat di pinggir jalan itu memang dibuat untuk menyalurkan air saat kebakaran. Mobil pemadam kebakaran yang kekurangan air dapat “mengisi peluru” di sini. Air dari hidran dapat pula digunakan langsung untuk memadamkan api.
                Namun ternyata cukup banyak hidran yang tidak dapat digunakan. Entah karena airnya tidak keluar, atau karena peralatannya rusak. Cukup banyak orang tidak menganggap penting hidran, apalagi kalau tidak ada kebakaran. Daerah sekitar hidran sering digunakan untuk hal lain, yang membuat hidran jadi tidak terlihat.
                Nah, ini saya menemukan sebuah hidran yang cukup terawat di pinggir jalan. Empat tiang di sekitarnya seakan menjaga sang hidran dari gangguan para penjual kaki lima yang sering menjajah trotoar. Papan penunjuk pun cukup jelas terlihat. Semoga hidran yang 1 ini juga masih dapat digunakan dengan baik, ya… {ST}

Daun Cantik #58





Selasa, 26 Februari 2013

Jarum Menunjukkan Sesuatu yang Aman dan Menenangkan




            Menyetir sendiri di Jakarta, kota yang sering sekali terjadi kepadatan kendaraan bermotor, perlu kemampun khusus untuk dapat menikmatinya. Bila kita tidak dapat menikmatinya, jadinya akan membuat stress dan depresi.
            Selain kemampuan untuk menikmati kemacetan, ada hal lainnya juga yang diperlukan supaya kita tidak terlalu stress, yaitu cukupnya bahan bakar. Walaupun sejumlah SPBU bertebaran di seluruh Jakarta, hal ini tetap harus diperhitungkan.
            Pernah terjadi, saya mengira kalau dengan jarak yang dekat, maka beli bensinnya nanti saja saat sudah dekat rumah. Tanpa dikira, jarak dekat itu harus ditempuh dengan waktu yang lama. Kepadatan kendaraan membuat sejumlah pengguna jalan harus antri, termasuk juga saya di dalam antriannya. Jarum penunjuk yang mendekati bagian dasar yang menunjukkan kosongnya tangki itu membuat saya panik dan berdebar-debar. Aneka rencana cadangan, termasuk membeli bensin eceran, terlintas dalam pikiran.
            Di Senin malam kemarin, saya harus mendatangai seorang kenalan yang meninggal. Jenazah beliau disemayamkan di RD St Carolus di Salemba. Perjalanan menuju tempat ini harus ditempuh dalam waktu yang cukup lama. Bukan karena jaraknya yang jauh, tapi karena macetnya itu, lhooo…
            Ketika tanda waktu sudah menunjukkan jam 7 malam, saya tahu bahwa saya pasti akan datang terlambat di kebaktian. Rasa gelisah karena terlambat mulai datang. Perlahan namun pasti, rasa gelisah itu menggeser rasa kelaparan. Namun, ternyata ada sesuatu yang cukup menenangkan, sebuah jarum penunjuk di dashboard. Jarum itu menunjukkan kalau bahan bakar yang ada di Mocil masih cukup untuk mengarungi kemacetan di sore menjelang malam hari itu. Sebuah jarum yang menunjukkan sesuatu yang aman dan menenangkan. {ST}

Daun Cantik #57





Senin, 25 Februari 2013

Focus on Your Positive Qualities




            Focus on Your Positive Qualities” adalah tulisan yang ada di sampul binder saya. Binder ini adalah pemberian teman saya, seorang buyer stationary di sebuah perusahaan retail terkenal. Binder ini dulunya saya gunakan untuk mencatat hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan saya, yang menjadi buyer juga.
            Tanpa sengaja, tulisan di sampul ini turut mempengaruhi cara saya berpikir dan bertindak. Saya, yang saat itu seorang junior buyer, menjadi lebih fokus hanya pada kelebihan yang saya miliki, ketimbang meratapi kekurangan saya. Kekurangan saya adalah kekurangan pengalaman, yang tentu saja tidak dapat menyusul rekan-rekan senior saya.
            Tulisan lainnya di sampul depan adalah,” If you frequently direct your attention to your good features and qualities, and to the happier parts of your life, you’ll find they increase too.” Tulisan yang awalnya saya anggap sebagai hiasan ini, akhirnya saya lakukan juga, dan ternyata benar, I found they increase too.            Sekarang, saat saya sudah tak lagi menjadi buyer, binder itu masih saya gunakan untuk membuat catatan saya.
            Tulisan di sampul binder ini masih memberikan pengaruhnya pada saya. Tulisan itu pula yang memberikan daya kepada blog ini. Tulisan yang membuat saya fokus pada membuat tulisan, yang ternyata bisa dibilang sebagai my positive qualities. {ST}

Daun Cantik #56





Minggu, 24 Februari 2013

Pengemis Tua yang Selalu Rapi




            Ketika pergi ke kantor di pagi hari, saya sering melewati daerah perbatasan antara Jatibaru dan Tanah Abang. Perjalanan saya, syukurnya, tidak melewati Pasar Tanah Abang yang selalu ramai dan bikin macet. Saya sudah berbelok ke kanan, ke arah barat sebelum mencapai pasar garmen besar itu.

            Pada belokan di bawah jalan layang itu, ada lampu pengatur lalu lintas. Di dekat lampu ini, setiap pagi selalua da seorang bapak tua yang kakinya buntung. Dia mengenakan tongkat dan tampaknya sengaja menggulung celananya supaya semua orang yang melihat bisa segera tahu kalau kakinya buntung.

            Dulu, saya pernah merasa iba pada bapak ini. Di usianya yang sudah tua, masih harus berdiri di pinggir jalan untuk meminta belas kasihan. Apalagi, saat saya melihatnya pertama kali, wajahnya memang terlihat sangat merana.

            Setelah berkali-kali melewati jalan yang sama, saya pun berkali-kali juga melihat bapak tua ini. Terasa ada yang aneh pada penampakan bapak ini. Dia selalu berpenampilan rapi dan berganti baju setiap hari. Agak berbeda dengan peminta-minta lainnya yang pakaiannya itu-itu saja. Mungkin karena tempat mangkalnya dekat dengan pusat garmen terbesar di tanah air. Entahlah. Bapak ini juga terlihat merokok dengan nikmatnya.

            Sesekali, saya juga melihat ada beberapa orang memberikan uang kepada bapak tua ini. Uang yang diberikan tidak selalu recehan, kadang ada juga yang memberikan lembaran biru lima puluh ribuan. Uang yang lebih dari cukup untuk membeli makanan.

            Saya sendiri, sangat jarang memberikan uang pada pengemis. Saya memang agak kesulitan untuk menghargai peminta-minta. Lain halnya dengan pengamen atau pedagang kecil, mereka berusaha, dan saya selalu menghargai mereka. Itu pula sebabnya saya tidak pernah memberi kepada bapak tua yang gemar merokok itu.

            Sampai sekarang, saya hanya setia menjadi pengamat bapak tua ini, belum berbuat apa-apa untuk membantunya. Hal yang sebenarnya tidak ada gunanya. Dan, entah mengapa saya sampai menuliskan hal ini. Apakah ada yang bisa membuat keadaan menjadi lebih baik? {ST}

Popular Posts

Isi blog ini