Ana

Kamis, 31 Januari 2013

Sangkirai Buatan Sendiri



            Sebagai seorang perempuan Dayak, saya memang terpanggil untuk turut melestarikan kebudayan Dayak. Salah satu yang paling menarik bagi saya adalah merangkai manik-manik. Manik-manik Dayak memang cukup terkenal di seluruh penjuru negeri ini. Namun, saat ini cukup banyak anak muda yang tidak tertarik untuk melestarikannya. Tak heran, hanya orang-orang yang cukup tua yang dapat membuatnya.
            Saya cukup beruntung, dapat bertemu orang yang bisa merangkai manik-manik dan mau mengajarkannya. Lebih bersyukur lagi, karena pelajaran ini bisa saya dapatkan secara gratis. Ibu itu sudah merasa cukup bersyukur karena ada orang yang mau meneruskan keahliannya. Ibu itu hanya berpesan, supaya suatu saat nanti, saya harus mengajarkannya kepada seorang perempuan Dayak juga, dan saya juga harus membuat hasil karya saya sendiri.
            Salah satu karya rangkaian manik-manik yang paling rumit adalah membuat sangkirai (penutup dada). Dan, saya bertekad untuk dapat membuatnya. Maka mulailah saya membuat sangkirai dengan teknik seperti yang diajarkan. Sangkirai pertama saya, saya buat dari manik-manik berbentuk bambu berwarna oranye mengkilat. Kalau dilihat sekilas, sangkirai ini tidak berciri Dayak sama sekali. Sangkirai ini sampai sekarang belum saya selesaikan karena keterbatasan bahan dan waktu.
            Sangkirai kedua yang saya buat adalah perpaduan antara warna putih dan emas. Sangkirai ini rencananya akan saya gunakan dalam pernikahan saya kelak. Saat itu, saya memang sedang menjalin hubungan serius dengan seorang laki-laki. Namun, lagi-lagi sangkirai ini tidak selesai. Selain karena hubungan saya akhirnya bubar, saya pun tak puas dengan warna emasnya yang makin lama makin pudar.
            Sangkirai saya yang ketiga, adalah sangkirai dari manik pasir dengan warna-warni khas Dayak. Ada warna hitam, putih, merah, kuning, hijau. Lima warna khas Dayak ini sejak semula memang saya rencanakan untuk menjadi bagian sangkirai ini. Warna-warninya yang kontras membuat saya bersemangat untuk menyelesaikannya. Inilah sangkirai pertama yang saya selesaikan. Sangkirai ini sering turut melengkapi penampilan saya dalam beberapa kesempatan.
             Sangkirai lainnya yang saya buat, berwarna hijau dari manik pasir. Warna hijau yang saya gunakan ada 5 macam, bervariasi mulai hijau muda sampai hijau tua. Sangkirai ini ketika akhirnya sudah terangkai, terlihat kecil bila digunakan oleh orang dewasa. Akhirnya, saya mengumumkan kalau sangkirai ini cocok buat anak-anak. Sangkirai ini laku terjual dalam sebuah pameran yang saya ikuti.

            Selain beberapa sangkirai itu, saya juga membuat sangkirai lainnya dari manik pasir dengan rangkaian yang jarang-jarang. Sangkirai ini cukup mudah dan cepat membuatnya. Warnanya saya campur antara hitam, putih, merah, kuning, hijau. Tak beraturan dan tak mengikuti suatu pola tertentu. Saya berhasil membuat cukup banyak sangkirai jenis ini. Saya menjualnya dengan cukup murah karena bahannya yang tak banyak dan waktu yang diperlukan untuk membuatnya pun tak banyak.
                 Untuk sementara waktu, saya belum dapat menerima orderan untuk membuat sangkirai lagi. Beberapa tanggung jawab membuat saya kesulitan membagi waktu, sehingga cukup susah untuk memenuhi orderan. Semoga suatu saat nanti, saya dapat lebih mengembangkan kemampuan saya merangkai manik-manik. Entah dengan membuatnya sendiri, atau mengajarkannya kepada orang lain. {ST}

Pohon Klengkeng Tanamanku Setengah Hidup


Pohon klengkeng tanamanku, sudah lebih itnggi dari rumah


            Berkunjung ke rumah tempat kita tinggal semasa kecil, selalu membangkitkan kenangan. Demikian pula yang saya rasakan ketika berkunjung ke rumah di Jalan Sudirman, Palangkaraya. Rumah milik almarhum kakek saya yang menjadi tempat tinggal saya sampai saya lulus SMP.
            Sewaktu kecil dulu, saya pernah menanam sebatang pohon klengkeng, yang sering juga disebut dengan lengkeng (atau kebalikannya, ya?). Pohon ini saya tanam dari biji buahnya. Saat itu, buah klengkeng termasuk langka di Palangkaraya. Buah klengkeng hanya bisa kami nikmati kalau ada oleh-oleh dari Jakarta. Rasa manisnya yang saya sukai membuat saya bertekad untuk menanam pohonnya. Tujuannya supaya kalau nanti pohonnya besar dan berbuah, saya bisa makan buahnya sepuasnya langsung dari pohonnya.
            Dengan tekad bulat seorang anak kecil, saya menanam biji klengkeng itu di kaleng bekas permen Fox. Biji-biji itu saya pilih dari beberapa buah yang saya makan, tentu saja buah yang manis rasanya. Saat itu, ilmu tentang sifat tumbuhan biji belum tentu sama dengan tumbuhan induknya belum sampai ke otak kecil saya. Jadi, saya yakin sekali kalau suatu saat nanti, saya akan memakan buanyaaak buah klengkeng dengan rasa yang sama.
Dari beberapa biji yang saya tanam, ada beberapa yang tumbuh menjadi pohon kecil. Saya menyambut tunas kecil ini dengan gembira. Kegembiraan itu saya tunjukkan dengan merawat tunas-tunas itu, menyiramnya setiap hari, mencabuti rumput kecil yang berani tumbuh di dekatnya, sampai memberinya pupuk. Pupuknya ngambil punya ortu saya, yang juga suka bercocok tanam.
Dari beberapa tunas yang tumbuh di kaleng itu, ternyata ada sebuah pohon yang tumbuhnya paling subur. Pohon itu “mengalahkan” pohon-pohon lainnya. Akhirnya, hanya tersisa 1 pohon inilah yang tumbuh di kaleng. Ketika akhirnya pohon ini bertambah besar dan tak muat lagi di kalengnya, saya memindahkan pohon kecil itu ke tanah. Saya dulu mempunyai sebidang tanah kecil sebagai kebun pribadi, di dekat pohon melati.
Kebun kecil saya yang berisi aneka tanaman itu suatu saat dirusak oleh anjing, entah milik siapa gerangan anjing itu. Bunga-bunga tanaman saya berantakan tak karuan. Namun, pohon ini terus bertahan. Akhirnya, saya memindahkan pohon ini ke tempat lain, ke dekat pohon rambutan di bagian samping rumah. Tempat itulah yang menjadi tempatnya bertumbuh hingga bertahun-tahun kemudian.
Setelah pohon itu dipindahkan, dan setelah kebun kecil berantakan, saya menjadi kurang bersemangat lagi berkebun. Pohon itu pun tidak lagi terawat. Dia tumbuh dan berjuang sendirian tanpa pernah saya sirami lagi. Sampai akhirnya saya harus meninggalkan Palangkaraya untuk hijrah ke Jakarta.
Pohon itu terus bertumbuh menjadi besar. Saya tak lupa menengoknya bila ke Palangkaraya, termasuk juga saat bulan Desember 2012 yang lalu. Saat ini, keluarga kami sudah tidak tinggal di rumah itu lagi. Rumah itu akan dijadikan rumah kenangan atas pemiliknya, almarhum kakek saya. Kami tinggal di rumah lain yang letaknya tak jauh dari situ.
Dengan berjalan kaki, saya dan adik-adik berjalan kaki menuju rumah masa kecil kami. Rumah yang saat itu sedang direnovasi, menjadi wilayah tongkrongan para tukang bangunan yang tidak kami kenal. Kami hanya melihat rumah itu dari halamannya. Termasuk juga melihat si pohon klengkeng yang tumbuh di halaman samping rumah.
Saat itu, saya menjadi sedih. Pohon yang saya tanam dulu, daunnya banyak yang kering. Terlihat seperti setengah mati. Langsung terbayang cerita awal mula adanya pohon ini di dunia, di mana saya juga ikut berperan dalam pertumbuhannya. Sambil berjalan berlalu, saya hanya bisa menghibur diri, setengah mati kan artinya juga setengah hidup. Masih ada harapan hidup. Semoga pohon itu terus hidup dan tumbuh menjadi besar. {ST}

Daun Cantik #31





Rabu, 30 Januari 2013

Kedondong Kecil di Kebun Kami



            Di kebun depan rumah kami, dalam sebuah pot yang dulunya adalah drum, ada pohon kedondong kecil yang berbuah kecil. Pohon ini memang jenis pohon yang tidak dapat tumbuh besar, pohon cangkokan yang memang sudah usia berbuah. Dan buahnya ukurannya kecil-kecil, jauh lebih kecil dibandingkan dengan kedondong ukuran normal.
            Buahnya yang kecil seperti buah mainan itu, adalah buah beneran. Rasanya betul-betul kedondong, asem agak manis segar. Sama seperti umumnya kedondong. Kedondong versi mini. Yang membedakan adalah ukurannya. Bijinya yang kecil, kadang bisa dimakan sampai habis, tidak perlu dipisahkan dari daging buahnya.
            Kami cukup sering memanen kedondong di depan rumah ini. Yang paling senang dan bahagia memanennya adalah adik saya. Dia memanennya dengan membawa mangkok kecil, dipetik-petik, dan selesailah panennya. Jadilah timbunan buah kedondong kecil dalam mangkok kecil. {ST}

Daun Cantik #30





Selasa, 29 Januari 2013

Supir Mikrolet Tua yang Murah Hati




            Setiap kali berpapasan dengan mikrolet, ada sedikit rasa waswas melanda. Supir mikrolet sering kali menggerakkan kendaraan yang dikemudikannya tanpa tanda-tanda. Kadang berhenti di pinggir jalan tanpa lampu sen. Atau pernah juga mendadak memacu gas setelah beberapa saat berjalan pelan.

            Saya juga menjadi waspada setiap kali berpapasan dengan mikrolet, termasuk pagi ini. Ketika berpapasan di sebuah pertigaan yang bentuknya agak serong, saya sengaja berhenti untuk memberi jalan kepada mikrolet itu. Ternyata, di luar dugaan, supir mikrolet itu malah menghentikan kendaraannya. Lebih mengherankan lagi, supirnya melambaikan tangan memberikan jalan.

            Saking kagumnya, saya malah tidak menjalankan kendaraan seperti biasanya. Biasanya, bila ada ruang kecil yang bisa dilalui Mocil, saya akan menggerakkan mobil, perlahan maju. Bahkan, kadang majunya tidak perlahan.

            Sekilas saya melihat ke supir di balik kemudi mikrolet, ternyata seorang bapak tua. Kerut di dahinya bisa terlihat cukup jelas dari jarak yang lumayan jauh. Bapak ini juga tidak membunyikan klaksonnya (seperti umumnya supir mikrolet kalau jalanan macet), walaupun jalanan agak macet.

Kekaguman saya itu masih terbawa terus. Ternyata tidak semua supir mikrolet berangasan dan mengemudikan mobil asal-asalan. Dan, saya mendapat kesempatan untuk bertemu dengan salah seorangnya, yang entah siapa namanya. Seorang supir mikrolet yang murah hati, memberikan jalan bagi saya dan Mocil. {ST}

Daun Cantik #29





Senin, 28 Januari 2013

Pengganjal Roda Gerobak




            Menjual makanan dengan menggunakan gerobak bukanlah sesuatu yang asing. Di seluruh penjuru negeri ini, gerobak yang didorong oleh penjualnya untuk menjajakan dagangannya adalah pemandangan sehari-hari. Hampir tidak ada yang menganggapnya istimewa, termasuk saya.
            Satu hal tentang gerobak menarik perhatian saya tanpa sengaja. Saat itu, saya sedang menanti pesanan makanan saya datang. Tak sengaja, pandangan saya berhenti pada bagian roda gerobak.
            Baru terlihat oleh saya kalau roda gerobak itu diganjal pada kedua sisi rodanya. Ganjalannya berbentuk segitiga. Prinsip yang sama sepertinya juga digunakan pada pengganjal pintu. Bentuk ramp segitiga akan membuat roda kembali ke tempatnya semula. Cara sederhana yang cerdas untuk membuat gerobak tak bergerak-gerak.
            Karena penasaran, saya pun bertanya mengapa gerobak itu harus diganjal. Ternyata, gerobak itu memang sehari-harinya mangkal di situ, tidak berpindah-pindah, bahkan di saat tidak berjualan. Rupanya, berkeliling dengan mendorong gerobak sudah merupakan sejarah bagi gerobak yang 1 ini. {ST}         

Popular Posts

Isi blog ini