Ana

Jumat, 30 November 2012

Daun Bambu yang Berdesau




            Daun bambu adalah salah satu daun yang saya kagumi. Bila dikeringkan, daun ini bentuknya tak berubah. Lagi pula kadar airnya sedikit, sehingga tidak perlu waktu lama untuk menjadi kering. Bentuknya yang lancip, dapat dengan mudah dipadukan dengan daun lainnya.
            Saya tidak hanya mengagumi daunnya yang sudah dipetik, tapi juga daun yang masih di pohon. Terutama bila pohonnya tertiup angin. Bunyi yang berdesau merupakan musik yang merdu bagi saya.
            Sayangnya, tidak semua orang bersepakat dengan saya. Cukup banyak yang beranggapan mistis bahkan horor tentang pohon bambu. Pohon bambu yang ada penunggunya adalah kabar yang berdar di mana-mana. Karena itu, tak jarang saya dianggap aneh ketika terpukau mengagumi pohon bambu. {ST}

Kamis, 29 November 2012

Akhirnya Menemukan Sate dan Tongseng Prei di Matraman


Seporsi sate Prei



            Hampir sebulan setelah menemukan “Sate Prei yang LagiPrei”, kami mencoba lagi untuk ke tempat itu. Karena sudah tahu lokasinya, langsung saja kami menuju ke sana. Perjalanan tidak lagi ditempuh dengan mata melotot mengamati pinggir jalan.
            Kali ini, Sate Prei buka. Kami pun dengan girang melangkah ke dalam ruangan warung itu. Ruangannya tidak terlalu besar, hanya terdiri dari 4 meja. Dindingnya kusam dan terkesan tua karena asap sate yang selalu beredar di ruangan itu.
Irisan cabe rawit sebagai pelengkap masakan

           Masakan di warung ini dimasak dengan cara tradisioan, menggunakan tungku arang yang dikipas-kipas dengan tangan. Cara ini diyakini oleh beberapa orang akan membuat masakan lebih enak dibandingkan dengan memasak menggunakan bahan bakar gas atau minyak tanah.

Tungku dan pikulan tempat memasak
            Selain sate, kami juga memesan tongseng, menu masakan dari kambing lainnya. Umumnya penjual kambing yang menjual sate, juga menjual tongseng dan gulai. Kami memesan 1 porsi sate dan 2 porsi tongseng. Seporsi tongsengnya dengan orderan super pedas.

            Sate yang kami idam-idamkan sejak lama itu ternyata rasanya tidak seperti yang kami bayangkan. Mungkin, karena kami sudah pernah menyantap sate di tempat lain yang rasanya lebih enak, jadi, sate ini rasanya…biasa saja.

Tongseng Prei
            Yang cukup berkesan adalah tongsengnya. Tongsengnya enak sekali, rasanya pas. Kuahnya gurih manis, ditambah sedikit pedas. Makin terasa nikmatnya ketika disantap saat hujan. Hawa dingin terkalahkan oleh hangatnya tongseng prei. Kami tetap menamai tempat makan ini “Prei” walaupun nama resminya bukan itu. {ST}

Baca juga:
Sate Prei yang Lagi Prei
Keroncongan Tak Selalu Kelaparan 
 


Rabu, 28 November 2012

Sate Prei yang Lagi Prei



            Keluarga kami punya kegemaran berburu makanan. Nampaknya kegemaran itu sudah mendarah daging. Sudah beberapa keturunan di keluarga kami tercatat dan terkenang sebagai pemburu aneka makanan. Kegemaran ini yang sering menjadi sarana kebersamaan kami.
            Kadang kala, “berburu” makanan itu timbul karena rasa penasaran. Penasaran apa yang dibilang orang, apa yang muncul di TV, atau kami baca di majalah dan koran. Yang namanya makanan, baru mantap bila sudah dirasakan, bukan diceritakan.
            Tanggal 26 Oktober 2012 yang lalu, seluruh dunia sedang merayakan hari raya Idul Adha. Di mana-mana, ada hewan kurban yang disembelih untuk diberikan kepada yang lebih memerlukan. Kami, yang tidak ikut merayakan hari raya ini, turut melihat liputannya di TV. Bahkan, kami juga mendapat bagian daging kambing yang dimasak menjadi sate.
            Ibu saya yang memang sering menghabiskan waktunya dengan menonton TV, sempat melihat liputan tentang penjual sate kambing di daerah Matraman. Dengan bersemangat, dia menceritakan tentang sate ini kepada anak-anaknya. Kami, yang tahu kalau Mamah ini mengidap hipertensi, tentu saja ribut dengan keinginannya menyantap daging kambing.
            Akhirnya, kami membuat kesepakatan, Mamah boleh ke tempat jual sate itu, tapi anak-anaknya harus ikut. Anak-anak lah yang akan bertugas sebagai “satpam”, kalau Mamah makan daging kambing terlalu banyak.
            Hari Sabtu, 27 Oktober 2012, saat kami semua tidak wajib untuk bekerja, kami memulai petualangan kami. Kami menuju daerah Matraman, mencari tempat menjual sate ini.
            “Sebelahnya polres Jakarta Timur, di Matraman,” demikian satu-satunya petunjuk yang kami punya.
            Kami bersaudara berpikiran, kalau tempat itu pasti berada di dekat kantor polisi tak jauh dari perempatan jalan Matraman – Pramuka – Salemba – Proklamasi. Ternyata setelah sampai ke tujuan, dugaan kami salah.
            Kami melanjutkan pencarian kami sampai ke ujung lain jalan Matraman. Jalan Matraman berbatasan dengan Jalan Jatinegara. Supir yang mengantarkan kami pun mulai putus asa dan mengambil arah balik tanpa bertanya pada penumpangnya. Ibu saya yang semula paling bersemangat memimpin perburuan ini, akhirnya juga menjadi lesu dan meminta berbalik arah saja.
            Saya masih mempunyai feeling kuat kalau kantor polisi (dan juga tempat jual sate kambing itu), ada di sisi sebelah sana dari jalan ini, mendekat ke arah Jatinegara. Maka, kami mencoba sekali lagi mencari. Akhirnya kami bersorak penuh kemenangan ketika menemukan kantor polisi besar di sisi kanan jalan.
            Dengan bersemangat kami turun dari mobil dan bertanya kepada tukang parkir tentang sate kambing tersebut.
            “Satenya prei, Bu,” kata tukang parkir kepada ibu saya yang memang berwajah Jawa.
            Raut wajah kecewa terlihat di wajah Mamah. Kami? Kami sedang menertawakan tukang parkir yang otomatis langsung berbahasa Jawa ketika melihat Mamah.
            Penjual sate di gang kecil itu ternyata menamakan tempatnya ”Warung Sate Sederhana”. Namun, bagi kami, namanya adalah “Sate Prei”. Suatu saat nanti, kami akan kembali lagi, saat yang jual sate gak prei. {ST}

Baca juga:
Akhirnya Menemukan Sate dan Tongseng Prei di Matraman

Selasa, 27 November 2012

Perempuan Berambut Panjang di Dinding Kamar Warna-Warni




            Di rumah yang saya tempati, rumah keluarga kami, kamar saya ada di lantai 2. Kamar terbesar di lantai 2 ini sudah saya huni selama bertahun-tahun. Di kamar ini, banyak waktu telah saya lewati, dalam susah dan senang.
            Salah satu kegiatan yang saya lakukan di kamar saya adalah mengecat dinding. Kegiatan yang tidak biasa ini saya lakukan karena saya suka, bukan karena tidak ada orang yang bisa diupah untuk mengecat.
            Awalnya, kamar saya bercat putih. Saya memilih cat putih karena saya bingung memilih warna apa yang sebaiknya menjadi warna dominan di kamar saya. Kamar-kamar lain di rumah, ada yang bercat hijau, pink, biru, peach, dll, tergantung selera penghuninya. Sedangkan saya? Saya suka semua warna. Makanya saya sangat kebingungan menentukan pilihan.
            Ketika akhirnya kamar saya dicat putih, saya malah menjadi tidak betah di dalamnya. Warna putih mengingatkan saya akan rumah sakit, tempat yang kurang saya sukai. Perlahan namun pasti, saya mulai menggambar di dinding. Saya menggambar kurva tak beraturan dengan aneka ukuran. Untuk gambar yang cukup besar, saya cat dengan cat air dan cat poster.
            Di tembok yang saya gambar ini, aturannya adalah “tidak ada aturan”. Saya menggambar sesuka saya. Awal dan akhirnya tidak saya pikirkan jauh hari, tetapi saat itu juga. Just in time.
            Agak sedikit beda dengan pewarnaannya, ada aturannya. Saya memilih memadukan warna-warna kontras berdekatan. Maka jadilah sebuah karya seperti puzzle yang tak beraturan. Sebuah karya yang sangat menghibur mata saya yang sangat suka warna.
            Ternyata, tidak semua orang seperti saya. Cukup banyak juga yang menggelengkan kepala melihat karya saya. Bahkan, ada juga yang “ngabur” karena geli. Entah bagian mananya yang bikin geli.
            Beberapa tahun yang lalu, saya pernah menggambar figur seorang perempuan di atas gambar puzzle ini. Seorang perempuan itu berambut panjang dan sedang duduk tertunduk. Saya menggambarnya dengan menggunakan crayon glow in the dark. Figur perempuan yang saya maksudkan sebagai foto diri ini baru terlihat ketika ruangan gelap.
            Suatu saat, ada seorang teman yang menginap di rumah. Dia menginap di kamar saya, bersama dengan saya. Seperti juga saya, teman yang ini lebih suka tidur dengan lampu redup atau bahkan gelap sama sekali. Saat itu, akhirnya kami mematikan lampu kamar sehingga kamar menjadi gelap gulita.
            Dalam kegelapan itu, muncullah sesosok perempuan berambut panjang dari dinding. Figur perempuan yang saya gambar itu memang terlihat sangat cemerlang di tengah gelap gulita. Teman saya langsung menarik-narik tangan saya sambil berteriak-teriak ketakutan. Saya yang kaget ikut berteriak. Setelah tahu apa yang membuatnya berteriak, saya malah tertawa terbahak-bahak.
“Itu kan gambar gue. Keren, kan?” Saya bertanya di sela-sela tawa.
“Gila! Serem banget gitu!” teman saya berkata histeris sambil memukul-mukul kecil dan melanjutkan omelannya.
            Dengan masih tertawa senang, akhirnya saya menghidupkan lampu. Figur perempuan di dinding menghilang bersama nyala terang, menjadi puzzle warna-warni. Akhirnya, malam itu kami tidur dengan lampu terang benderang.
            Karena banyaknya orang yang ketakutan, akhirnya saya memutuskan untuk memudarkan gambar ini dengan cara menggosoknya dengan kain. Sekarang, setelah bertahun-tahun, figur perempuan berambut panjang itu sudah tak terlihat lagi bekasnya. Selain karena sengaja dibua pudar, mungkin juga karena tertutup debu-debu. {ST}

Senin, 26 November 2012

CD Kosong untuk Tatakan Cangkir




“Lu punya CD kosong?”
“Gak punya. Emang buat apaan?”
“Buat tatakan cangkir.”
“Hah?”
“Kan, kalo tatakan gelas udah ada. Tatakan cangkir blom ada.”
Demikianlah percakapan ajaib di sebuah kantor. Kisah ini adalah kisah nyata yang sebenarnya tidak cukup penting untuk dicatat. Apakah ada juga yang membacanya? {ST}

Popular Posts

Isi blog ini